Barangkali tidak kurang dari dua kali saya pernah melihat mobil
tangki itu. Pertama di sekitar Monas, malam hari waktu pulang ke arah
Pulo Gadung dengan Transjakarta. Yang kedua di Bandung, di gerbang
komplek Batu Nunggal, tepat dari pinggir jalan yang bernama Jalan Waas.
Mobil tangki berisi air itu bertuliskan “Dinas Pertamanan dan
Pemakaman”. Taman dan makam. Kenapa dua urusan ini digabungkan dalam
satu organisasi?. Bukankan taman terkait dengan hal-hal keindahan, dan
makam berurusan dengan kematian, sesuatu yang sering dipersepsikan
menakutkan?.
Bre Redana sempat menulis, bahwa keindahan dan kematian umumnya hanya
dilakukan di ranah filsafat. Para filsuf suka menghubung-hubungkan
keduanya, katanya. Dia menambahkan, “apakah pencipta struktur birokrasi
pemerintahan di Indonesia ‘seprogresif’ para filsuf pemikirannya?”
Pertanyaan itu, di benak saya, sekarang perlahan mulai mencair. Saya menyangka, jangan-jangan yang memutuskan penamaan dinas itu adalah seseorang yang pada malam pergantian tahun duduk di jemuran, melihat kembang api di udara, dan ber-solilokui, nggremeng, bicara sendiri; dalam hati. Dia melihat ulang masalalunya.
Pertanyaan itu, di benak saya, sekarang perlahan mulai mencair. Saya menyangka, jangan-jangan yang memutuskan penamaan dinas itu adalah seseorang yang pada malam pergantian tahun duduk di jemuran, melihat kembang api di udara, dan ber-solilokui, nggremeng, bicara sendiri; dalam hati. Dia melihat ulang masalalunya.
Goenawan Mohamad, dalam Caping edisi 26 November 2013 menulis,
“Kadang-kadang orang merasa perlu untuk lepas dari sejarah, telanjang
kembali di pulau imajiner yang tak bercatat, karena peradaban bisa
menakutkan.”
Tapi memang hanya sebatas “merasa perlu”, sebab pada kenyataannya tak
seorang pun bisa melepaskan diri dari jubah sejarah yang telah
ditorehkan dan mengiringinya. Kita tak bisa lagi “telanjang” seperti
waktu baru lahir, sebab jubah sejarah diciptakan seiring pergerakan
waktu, dia adalah satuan saat yang diisi dengan laku badan dan pikiran.
Laksana air, sejarah mengalir perlahan, dia menghentak jika hanya ada
angin sebagai kehendak.
Setiap pribadi mempunyai setapak jalan untuk dilalui sang sejarah,
dan terhenti ketika dijemput mati. Maka masalalu tak jarang dianggap
penting untuk mengukur sejauh mana “air” mengalir dan “angin”
menghentak. Sebagian orang menyebutnya evaluasi, untuk kemudian
melahirkan resolusi. Dari evaluasi ke resolusi biasanya terjadi lompatan
yang cukup mengagumkan, berisi tentang rencana-rencana hebat yang akan
dilakukan. Namun tak jarang resolusi hanya sebuah orgasme akhir tahun
yang kemudian mati mengenaskan karena kehilangan konsentrasi.
Bibit-bibit yang akhirnya tewas disembelih waktu itu pada mulanya
disemai dari melihat masalalu. Yang terentang di belakang, sesungguhnya
adalah kumpulan peristiwa manis dan pahit. Beauty and death. Taman dan makam. Langit jiwa manusia niscaya benderang dan mendung di sepanjang tahun, dia begitu dinamis.
Para mahasiswa melemparkan topi ke udara sambil berpakaian ala Rama
Aiphama demi mengalirkan perasaan gembira telah lepas dari “tirani”
kampus. Sebagian sibuk berfoto dan cipika-cipiki dengan teman-teman
perempuannya. Kelak foto dengan baju kedodoran itu akan dipajang di
ruang tamu dengan bangga. Ibunya bergumam, “inilah anakku, dia lulusan
terbaik dan bukan sarjana roti wahai kau Iwan Fals!.” Namun tak lama
kemudian mahasiswa itu merunduk lesu sebab panggilan kerja belum juga
datang, sementara kiriman dari orangtua sudah dihentikan. Cuaca begitu
cepat berubah. Di titik ini kita tak memerlukan seorang filsuf untuk
menghubungkan bahwa memang taman begitu dekat dengan makam.
Pada masalalu ada kenangan-kenangan manis yang sayang untuk dibuang,
ada pula harapan-harapan yang mati terkubur mengenaskan. Manusia hidup
di antara dua situasi tersebut. Ada kesuksesan karir, cinta berlabuh di
pelaminan, kehadiran anak, dan liburan yang menyenangkan. Namun
sekaligus juga ada aib pribadi yang melongsorkan moral, kegagalan
wawancara kerja, cinta kandas tersuruk-suruk, dan jatah cuti yang habis
tidak dipakai untuk berlibur. Cuaca riwayat kehidupannya senantiasa
berubah, dia seperti ingin membenarkan sebuah ungkapan “bahwa yang abadi
hanyalah perubahan.”
Saya teringat pada nama jalan waktu melihat mobil tangki milik Dinas
Pertamanan dan Pemakaman di Bandung. “Waas” adalah bahasa Sunda yang
secara harfiah berarti terkenang kepada yang pernah dialami. Sekilas scene
saya berdiri di Jalan Waas dan membaca tulisan di mobil tangki itu
menjadi terkesan puitik. Seperti simbol-simbol yang dihadirkan untuk
berlaku adil dalam memperlakukan masalalu.
Beberapa saat setelah masalalu tiba-tiba menjadi masakini, dan
masadepan pun telah menunggu. Rangkaian tiga masa inilah yang ditumbuhi
taman dan makam. Resolusi kita susun untuk membuat taman, tapi ketika
terlahir premature atau bahkan diaborsi, resolusi pun berubah menjadi makam.
Saya tak hendak mengucapkan Selamat Tahun Baru. [ ]
No comments:
Post a Comment