Akhirnya saya punya waktu seperti ini, bisa berdekat-dekat dengan
buku dan pena, sambil mendengarkan Original Soundtrack “(500) Days of
Summer” : The Temper Trap, The Smiths, Mychael Danna and Rob Simonsen,
Regina Spektor, Black Lips, Doves, Hall & Oates, Carla Bruni, Feist,
Simon & Garfunkel, Wolfmother, Mumm-Ra, She & Him, dan Meaghan
Smith. Kopi hitam sudah dari tadi siaga satu dan di sebelahnya terlihat
ada Lucky Strike Light. Playlist saya tambah dengan Zooey Deschannel :
Sugar Town, dan saya mulai menulis....
***
Pada
mulanya adalah kegiatan lisan : berbicara, tertawa, tersenyum, teriak,
dan berbisik. Tapi terkadang, yang hanya terucap dan yang teringat akan
lenyap perlahan ditelan waktu, atau terbang disapu angin, ketika
semuanya tidak bisa dibuka dalam lembaran-lembaran yang tertulis. Ini
adalah sebuah usaha pemindahan media ingatan kolektif, yang awalnya
hanya berarak di tempurung kepala masing-masing dan berjejalin sebagai
sebuah cerita panjang dalam semesta masalalu. Kalau pun kamu tidak
berminat untuk mengenang yang telah berlalu, tetap saja kamu tidak bisa
menghapusnya secara permanen, seperti Clementine (Kate Winslet) dan Joel
(Jim Carrey) dalam film “Eternal Sunshine of The Spotless Mind”. Ini
bukan sebuah ajakan untuk mengendap di masalalu, karena setiap yang
telah terlewati hanya pantas dijadikan arsip dalam lemari sejarah
masing-masing pribadi, dan dibuka sekali-kali jika dirasa perlu atau
sebagai penawar rindu dikala sunyi. Jangan memilih menetap di masalalu,
karena akan membuatmu menjadi kereta tua yang tak akan pernah sampai
kepada tujuan. Sebaik-baik cara adalah dengan bergerak ke depan,
berpencaran seumpama sinar yang berlomba menembus ruang hampa cahaya.
Bukankah dunia ini ajang perlombaan? : fastabiqul khairot. Saya hanyalah
mencatat kembali apa-apa yang telah kita lewati, niatnya sederhana saja
: mudah-mudahan menjadi media silaturahmi, menyatukan yang terpisah,
dan menghimpun yang terserak. Bukankah kita sekarang sudah punya
tanggungjawab hidup masing-masing?, di tempat yang berlainan terkadang
kita lupa bahwa ada hak yang sebaiknya dipenuhi, salah satunya adalah
menjalin komunikasi dengan sahabat.
Tentu mencatatkan
kembali berbagai peristiwa tidak sesederhana niatnya, sebab waktu
bukanlah materi yang bisa difosilkan, dia juga tidak bisa di pause, dia
terus menggelinding ke depan meninggalkan siapa saja yang memilih diam
atau mundur. Juga karena tidak semua orang berkenan jika sebagian
pengalaman hidupnya dituangkan dalam tulisan, terlebih karena kata-kata
punya keterbatasan, dia tidak sepenuhnya bisa menyelami dasar hati
manusia. Tapi saya telah memilih jalan ini, menulis, mencoba menyimpan
beberapa kejadian dalam himpunan huruf, karena saya yakin bahwa :
Scripta Manent Verba Volant—yang tertulis akan mengabadi, yang terucap
akan berlalu bersama angin.
Antara tahun 1998-1999, saya
lipat hanya dalam 16 hari. Kenapa 16 hari?, kamu pasti punya tafsir
sendiri untuk menjawabnya. Untuk kamu yang mungkin tengah terbaring
karena sakit, atau tengah sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk, atau
tengah istirahat setelah seharian menyalakan bara api dalam diri, atau
tengah bermain dengan anak-anakmu, atau tengah menanti pasangan hidup
yang mengabadi, atau tengah murung didera kesulitan hidup, atau apa pun
yang tengah kamu lakukan, catatan ini datang kepadamu.
***
Jakarta
sedang gemuruh oleh demonstrasi, Soeharto di ujung tanduk. Titik pijar
semakin memanas waktu kerusuhan melumpuhkan ibu kota : Hayam Wuruk,
Gadjah Mada, Senen, dan Kota hancur dijarah massa, dan puncaknya ketika
berbagai elemen mahasiswa bersatu menduduki gedung parlemen. Tapi itu
adalah pekerjaan orang-orang dewasa, karena bagi saya yang masih
berseragam putih-biru, semuanya terasa datar saja. Berita di koran dan
di kotak ajaib tidak berpengaruh apa-apa, apalagi demam Piala Dunia di
Prancis begitu kuat : coupe de monde. Samba di hajar Ayam Jantan 3 gol
tanpa balas. Zidane kian bersinar, persis seperti kepalanya yang
menderita erosi parah. Di tengah suasana seperti itulah saya lulus dari
Madrasah Tsanawiyah, dan bersiap memasuki dunia baru, dunia putih-abu,
dan siapa sangka kalau saya akan bertemu dengan kawan-kawan seperti
kalian :
Hari ke (15)
Mamen maju ke
podium dengan pakaian gaya Bung Karno hasil pinjaman dari anak Paskibra,
di sampingnya berdiri dengan setia saudara Irvan Sapari yang mukanya
dingin tanpa ekspresi bagai seorang Paspampres. Laporan atau sambutan
sang ketua Gelar Seni tersebut tidak terlalu lama, setelah kembali ke
belakang, hajatan kelas satu yang wali kelasnya Bu Zakiah Asma Yunita
tersebut segera dimulai. Dekorasi dibuat seadanya karena daya kreatif
dan keuangan cukup memprihatinkan, tapi efeknya pohon cemara di samping
gedung kepala sekolah menjadi korban. Malam hari Herlan dan beberapa
gelombolannya mengendap-ngendap dalam gelap dan membabat pohon segitiga
tersebut. Kebun di samping ruang praktek biologi pun menjadi sasaran,
beberapa pohong pisang dan daun pohon singkong disikat pisau dapur.
Begitulah akhirnya, dekorasinya hanya pohon cemara, daun pisang, daun
singkong, kertas crape warna merah-putih, dan papan tulis yang menjadi
korban vandalisme kapur warna-warni dengan tulisan utama :
GENERASIKU….?.
Ruangan senam menjadi saksi bahwa di sana
Ronald pernah bermain band dengan kawan-kawannya, selain itu Suci juga
pernah bernyanyi bertiga membawakan lagu RSD. Sementara Esti, Mira, dan
rombongan kesenian tradisional berlenggak-lenggok diiringi gamelan dan
gong. Ruangan memanjang itu tiba-tiba menjadi ramai oleh bunyi
harmonisasi dan sedikit fals, apalagi waktu seorang anak yang postur dan
wajahnya hampir menyerupai Mat Solar a.k.a Bajuri maju ke depan para
penonton yang lumayan banyak. Dengan lengan penuh dengan Tato temporal,
kacamata hitam mirip BL, kopiah hitam bladus yang sedikit miring, baju
tanpa lengan dan celana sontog, dia maju ke depan dituntun kawannya
karena dia mau berpura-pura buta macam Asep Irama. Lalu dengarlah apa
yang dia nyanyikan :
“Untukmu yang duduk sambil diskusi /
untukmu yang biasa bersafari / di sana di gedung DPR / wakil rakyat
kumpulan orang hebat / bukan kumpulan teman-teman dekat / apalagi sanak
family / di hati dan lidahmu kami berharap / suara kami tolong dengar
lalu sampaikan / jangan ragu jangan takut karang menghadang / bicaralah
yang lantang jangan hanya diam……”
Bu Haslinda yang berdiri
di pinggir ruangan rona mukanya terlihat aneh waktu melihat Mat Solar
tampil, entah kenapa?. Tapi saya berani menjadi saksi bahwa Pak Eko guru
PPKn yang duduknya paling depan kasih tepuk tangan paling keras waktu
Mat Solar menyelesaikan lagunya. Dan datanglah pertunjukkan terakhir,
acara puncak : Kabaret.
Kabaret ini dilahirkan dengan
susah payah. Panitian inti yang dipimpin oleh Mamen berdiskusi alot
waktu membuat skenario, banyak betul interupsi mewarnai rapat. Saya
sendiri hanya bisa mendengar dari balik pintu karena tidak termasuk
menjadi panitia inti. Setelah skenario selesai, maka selanjutnya adalah
merekam suara untuk mengisi cerita. Dan tak ada tempat yang lebih bagus
untuk acara kumpul tanpa kebo selain rumah cap ayam jago di daerah Ciaul
tidak jauh dari SMA 3. Sebenarnya bukan karena rumahnya, tapi
kawan-kawan pun pasti sudah faham betul kenapa tempat itu sering
terpilih menjadi semacam bascamp, tidak lain dan tidak bukan adalah
karena di sana kita bisa menjadi Arnold Schwarzenegger dengan rahang
melebar dan gigi gemeretak. Berterimakasihlah kepada sukro yang telah
membuat kita jarang mengantuk karena terus mengunyah makanan keras
tersebut, dan kita bisa dengan penuh konsentrasi menyelesaikan rekaman
untuk kabaret. (Sampai di sini saya mau minta maaf kepada seluruh
komponen yang telah dengan gaya membuat rekaman kabaret, karena kaset
tersebut hilang bin raib, atau lebih tepatnya kena razia waktu saya
pulang kampung dan meninggalkan lemari tanpa dikunci di sebuah mesjid
yang indah mengkilat di Kebonjati).
Adegan atau dialog
mana yang paling diingat dari kabaret tersebut?, mungkin si Adit dengan
kacamatanya yang entah sudah minus berapa, akan dengan lantang menjawab
: “waktu saya menjadi preman, kawannya si Abank dan si Ryan !!”. Atau
mungkin mas Anton akan menjawab : “yang jelas waktu saya jadi gurulaaah,
wong saya dandanannya keren banget waktu itu” (Mas Anton berperan
sebagai seorang guru dengan dandanan baju batik lengan panjang, kopiah
hitam, kacamata hitam, celana ngatung bin cingkrang, dan logat Jawa yang
agak aneh). Tapi kawan-kawan pasti mufakat kalau adegan yang ratingnya
tinggi adalah waktu Amie terkejut setengah teriak dan berkata : “Apa,
Fransisco Dinner ?!”, tapi tragisnya kata-kata itu disadur dengan sangat
baik dan elegan oleh saudara Haris Babat Akhmad Basuki dengan : “Apa,
P****k k****r ?!”. Kabaret ditutup dengan lagu Project Pop dan tepuk
tangan terdengar lagi, suaranya semakin keras dan panjang.
Gelar
seni adalah proyek guru kesenian untuk mengadakan kompetisi di antara
anak-anak kelas satu, dan kelas kami tidak pernah dijagokan alias
underdog, hal tersebut karena di kelas kami tidak ada satu pun yang
berjiwa seni macam kakak beradik Butet Kartarajasa dan Djaduk Ferianto,
tidak ada orang seperti itu, yang ada dan bahkan sangat banyak adalah
orang-orang yang berkarakter RW 06 alias rewog (Mohon maaf untuk semua
kata-kata yang memakai Bahasa Sunda, translatenya tidak tersedia :
hoream nulisna, artikeun we sorangan). Tapi bakat seni harus minggir
dulu waktu itu, sebab lihatlah kami akhirnya keluar sebagai juara
setelah sukses menyingkirkan kelas 1-8 yang dimotori oleh bung Fadly,
seorang yang berhasil membuat ruangan 1-8 menjadi gelap seperti di dalam
bioskop. Dan hadiahnya pun sangat romantis : sebuah asbak berkepala
Semar.
Hari ke (14)
“Terpujilah
wahai engkau ibu bapak guru / namamu akan selalu hidup dalam sanubariku /
bagai prasasti terimakasihku untuk pengabdianmu”. Kalau mendengar lagu
itu saya suka ingat guru-guru zaman SD, merekalah guru-guru yang
sederhana dan bersahaja. Tapi masih ingatkah kau kawan guru-guru waktu
SMA?.
Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Begawan Ekonomi
SMANSA adalah seorang laki-laki tua yang sering memakai jaket Sampoerna
Ijo dan sepatu Butterfly. Perawakannya kurus kering dan tidak terlalu
tinggi, tapi meskipun begitu kalau urusan protes dan mengutuk
pemerintahan otoriter Orde Baru, dialah juaranya. Kadang-kadang waktu
menerangkan di depan kelas materi pelajaran entah ke mana, yang ada
hanyalah kekesalannya kepada Soeharto dan kroninya. Pak tua yang
berinisial AR tersebut pernah muntab, marah tingkat tinggi di depan
kelas kami. Penyebabnya adalah ucapan lugu dan polos dari seorang kawan
yang memakai kacamata minus, waktu pak AR bersemangat menerangkan
sedikit teori ekonomi, kawan saya tiba-tiba bersuara dengan merdu :
“cindeten”. Maka muntablah beliau, laci meja guru dibantingnya dengan
tenaga penuh, ditambah dengan hamburan penghuni bonbin dari mulutnya.
Tapi marahnya sempat jeda beberapa detik, karena tanpa sepengetahuan
beliau, di dalam laci yang dibanting itu ternyata tersimpan sebuah Al
Qur’an, beliau segera mengamankan kitab suci itu ke atas meja, lalu
melanjutkan amarahnya.
Beberapa hari setelah itu,
anak-anak kelas mulai memperlihatkan gelagat kurang baik , mereka
ternyata sangat berbakat mengerjai guru. Dan korban pertamanya adalah
guru Bahasa Inggris : Bu Ana. Kawan tentu belum lupa, bahwa ruangan
kelas 1-6 adalah dia yang sudah lapuk dan sering bocor kalau hujan besar
menghantam. Nah, di suatu pagi yang manis dan masih sangat awal, saya
tiba di kelas dan mendapati Ryan Irung, Abank, Culonk, Sapto, dan Mamen
tengah berunding serius bagai anggota parlemen yang sedang menggodok
undang-undang anti pornografi. Kedatangan saya disambut dingin, mungkin
takut konsentrasinya buyar, karena ini memang persoalan serius. Saya
mendekati mereka dan terdengar Mamen angkat bicara : “Wah, moal baleg
euy ieu mah diajar ge, kelas baseuh kieu, percuma urang ge moal semangat
diajarna”. Abank langsung mengamini : “Heueuh Men, urang satuju, tapi
kumaha mun bu Ana datang?”. Ryan Irung langsung menyambar : “Gampang,
urang sabotase we”. Sapto ikut nimbrung : “Gampang kumaha sia teh Irung
?!”. Dengan gaya bagai Mc Gyver, Ryan Irung menjawab : “ Yeuh dangukeun
ku maraneh, mempeung bu Ana can datang, meja jeung korsi kelas urang
acak-acak, terus tihang bendera urang simpen di tengah-tengah, pan engke
mun ngaberesan lila meureun, tah urang ngaberesanna ulah gagancangan,
tenang we, ameh ke mun kelas geus beres, waktu bahasa inggris geus
beak!!”. Tiba-tiba Culonk berteriak : “Anjiir, si Irung brilian euy
idena, hade sia Irung, satuju aing!!”.
Dan waktu itu pun
tiba, bu Ana mendapati murid-muridnya tengah bergerombol di depan kelas
sambil ramai entah membicarakan apa. Beliau masuk ke kelas dan diam
sejenak, lalu keluar lagi dengan senyumnya yang pahit, sepertinya beliau
tahu apa yang sesungguhnya terjadi : “Anak-anak, sekarang cepat
bereskan kursi dan mejanya, juga jangan lupa keluarkan air dari kelas
sampai kering”. Anak-anak baik, rajin, dan pintar langsung merespon
ucapan bu Ana tersebut, sementara gerombolan Trouble Maker pura-pura
tidak mendengar dan meneruskan obrolan. Bu Ana sekali lagi berkata :
“Ryan, cepat bawa teman-teman kamu itu ke kelas, bantu yang lain!”. Ryan
dan gerombolan Trouble Maker lalu dengan langkah malas menuju kelas,
tapi mereka tidak membantu membereskan kursi dan meja, tapi hanya
bersikap layaknya mandor kuli bangunan. Karena kesal melihat Ryan dan
gerombolannya hanya tunjuk-tunjuk saja, Adit protes : “Ah, maneh mah
Ryan ngadon nitah wae ka batur, ari maneh sorangan teu ngabantuan !!”.
Protes Adit dengan cepat dibalas : “Gandeng siah Bolor !!”. Lalu waktu
terus beranjak, menyeret jarum jam ke angka 8.45, menandakan jam
pelajaran Bahasa Inggris telah habis, bertepatan dengan selesainya
pekerjaan membereskan dan mengeringkan kelas. Sebelum keluar bu Ana
berdiri di depan kelas, tapi tidak berucap apa-apa, beliau hanya
tersenyum pahit lagi, lalu keluar. Senyum itu, senyum pahit itu, nanti
pada sebuah titik relativitas waktu, akan memakan korban.
Tapi
kawan, tak ada yang lebih romantis melebihi guru fisika. Tentu kawan
masih ingat, siang itu perut penuh sehabis makan bakso mas Broto, waktu
matahari berada tepat di atas ubun-ubun, sementara angin berhembus
pelan, dan pohon-pohon rindang tumbuh di pinggir kelas 1-6, amboi…itulah
waktu terbaik untuk mengantuk. Sementara pak guru yang bernama Mr.(L)
berdiri di depan kelas menerangkan rumus fisika yang terdengar timbul
tenggelam, kepala saya pun mulai tidak seimbang, kadang condong ke kiri,
kadang juga ke kanan, ngantuk yang sebenar-benarnya, seperti kanker
memasuki stadium 4. Di sebuah menit yang kurang baik, tanpa sadar saya
menguap dengan cukup keras : “hoaaaaaahh…”. Seketika Mr.(L) menghentikan
kegiatannya, dan sepersekian detik kemudian dia mengarahkan
pandangannya ke tempat duduk saya, lalu berteriak sangat keras : “Hai,
Babon !!!”, dia menunjuk saya, lalu menunjuk pintu, sebuah gesture yang
maknanya kurang lebih : “Gancang kaluar siah, sibeungeut heula ka cai
!!”. Kurang ajar betul, dia panggil saya babon, kalau saja tidak takut
kena DO, sudah saya hajar dia. Tapi : “Astaghfirullah”, saya tidak boleh
marah seperti itu, walau bagaimana pun belian adalah guru saya, yang
pasti tidak ada maksud untuk mempermalukan saya di depan anak-anak.
Akhirnya saya bisa keluar, bisa meninggalkan pelajaran membosankan itu,
setelah menutup pintu dari luar, saya tidak ke toilet, tapi melarikan
diri ke ceu Emay : pesan es jeruk dan sebatang cigarette.
Saya
duduk di bangku pinggir warung, sementara ceu Emay dan ceu Ipah sibuk
menghitung uang dan membereskan dagangan yang kurang rapi. Angin kembali
bertiup pelan, daun-daun tua jatuh perlahan sebelum akhirnya dipeluk
tanah yang kering. Sebuah pohon rambutan di luar tembok sekolah terlihat
seperti monster yang sedang ngantuk. Besok akan kembali datang, seperti
waktu yang mengulang dirinya setepat-tepatnya dan selama-lamanya. Dan
saya sedikit pun tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Semua masih
misteri.
***
Musim tawuran. STM AMS menyerang SMANSA. Bentrok tak terhindarkan.
Korban jatuh dari kedua belah pihak. Dede Erwan terluka. Anak-anak kelas
1 pulang ketakutan, nama sekolah yang selalu menempel di lengan sebelah
kanan banyak yang dicopot, yang kebetulan memakai batik merapatkan
jaketnya sampai ke kerah. Pasar Pelita, Ramayana, dan Odeon siaga satu.
Anak-anak penderita rabun jauh alias bolor sedikit diuntungkan, karena
musuh tak mungkin menyerang anak yang tampangnya seperti Bill Gate. Dari
peristiwa bentrok inilah, kemudian muncul trend berjalan gaya AMS,
sebuah trend berjalan yang selalu mengundang tawa.
***
Hari ke (13)
Matahari
baru naik sepenggalah, hangat sinarnya menerobos ventilasi mesjid Ar
Rahmah yang tidak jauh dari lembah sekolah. Dua ekor tupai berlompatan
di dahan pohon kemiri, sementara sisa-sisa embun terlihat bening
menggantung di daun pohon akasia. Di Dhuha yang hangat itu beberapa
orang akang-akang RMBU meninggalkan kelas menuju Ar Rahmah, tentu bukan
berarti mereka malas lalu membolos, melainkan karena bapak atau ibu
gurunya tidak bisa hadir. Di Dhuha yang syahdu itu, mereka perlahan
melepaskan sepatu dan segera diganti dengan bakiak, lalu melangkah
menuju bak tempat mengambil wudhu. Kang Rangga yang pertama kali
menyentuh keran air, kemudian perlahan diputar, perlahan dia berucap :
Bismillaahhirrohmaannirrohiim….air keluar dari bak, tapi kali ini kang
Rangga kaget bukan buatan dengan teriak yang tertahan : Astaghfirullah
!!.
Satu hari sebelum Kang Rangga kaget :
Pulang
sekolah hujan turun deras. Langit pucat seperti orang yang menderita
anemia. Anak-anak perempuan berkumpul di depan ruang praktek biologi,
menunggu hujan reda. Sementara sebagian anak laki-laki masih berada di
dalam kelas, mungkin sedang diskusi mata pelajaran matematika. Saya
sudah di luar, karena tak berselera untuk membahas rumus. Saya duduk di
depan kelas 1-6 bersama anak-anak marginal, anak-anak yang berada di
bawah garis kemiskinan prestasi akademik. Mereka termarginalkan bukan
karena lemot bin adidas, melainkan karena cara belajar yang berantakan
dan malas yang akut.
Hujan semakin deras, rumput teki yang
berada di depan kelas mulai terendam air. Anak-anak marginal melamun
sambil mulai menyalakan cigarette setelah kelas tetangga steril dari
guru. Haris Babat yang baju seragamnya jarang dimasukkan melempar wacana
: “Yan, mun maen bola sigana rame yeuh. Geus lila pan urang tara
huhujanan, mun nyleding ge geunah sigana?”. Ryan Irung seperti mendapat
pemantik : “Wah, heueuh nya, bola aya pan?”. Tanpa menjawab, Rano yang
duduk di sebelah Haris Babat langsung pergi menuju kelas, kemudian
muncul lagi dengan bola plastik sudah ditangan : “Euy, nungguan naon
deui?, hayu ah!!”, bola kemudian di lempar ke lapangan basah yang berada
di depan ruang Biologi. “Waaah, hayu ah, turun kabeh barudak !!”, Mamen
berteriak kasih komando, dan lihatlah anak-anak akhirnya terjun ke
lapang yang basah, becek dan berlumpur. Beberapa detik sebelum bola
dibagi, dari kelas terdengar teriakan yang bertabrakan dengan suara
hujan : “Wooii, ngiluan urang euy !!”, Yogi Bamay dan mas Anton berlari
menuju lapang. Maka lihatlah pertarungan tidak seimbang antara dua kubu,
mirip pertarungan antara Queens Park Rangers Vs Manchester United, atau
seperti di World Cup 2010 : Korea Utara Vs Portugal.
Korea Utara :
1. Jump punk
2. Mamen
3. Culonk
4. Mas Anton
5. Andri Jubed
6. Ronald
7. Rano
Portugal :
1. Haris Babat
2. Sapto
3. Herlan
4. Ryan Irung
5. Yogi Bamay
6. Abank
7. Rizqa
Sementara
di pinggir lapang yang terlindungi oleh atap bangunan, duduk empat
orang dengan pandangan sendu karena kecewa tak bisa ikut serta dalam
pertandingan. Dian Ujun tak mungkin pulang ke rumah dengan baju kuyup
seperti kucing kedinginan, karena rumahnya sangat jauh, berada di luar
tapal batas antara Kota dan Kabupaten : Padabeunghar. Fikri alasannya
kurang jelas, antara takut dimarahi ibu atau malu takut ketahuan
akang-akang RMBU. Irvan Sapari lain lagi, dia takut sakit demam, karena
besok ada latihan Paskibra yang cukup berat : baris-berbaris dengan
teriak dan gertak di bawah gigitan mentari siang. Kawan tentu sudah
faham, kenapa Adit tidak bisa ikut? : kacamata minus 12 yang tebalnya
sudah menyaingi keler kue lebaran, sangat tidak memungkinkan dia berlari
dengan lincah dan akan kesulitan menguasai bola. Anak-anak perempuan
yang tadi bergerombol di depan ruang praktek biologi, sudah pindah ke
dekat warung koperasi.
Pertandingan berjalan tidak seimbang,
apalagi kubu Portugal dihuni pemain-pemain nasional kelas 1-6, waktu itu
skill Haris Babat tidak jauh beda dengan Edwin van der Sar, Abank
meskipun tubuhnya kecil, tapi lincahnya mirip Andy Cole. Yogi Bamay yang
selalu mengklaim dirinya kembaran Beckam, lebih cocok kalau dia mirip
dengan Paul Gascoigne yang sama-sama bertubuh gempal. Lapang yang sudah
licin dan berlumpur menjadi media yang baik untuk menjatuhkan musuh,
beberapa kali saya sukses menghajar Yogi Bamay. Meskipun kemenangan
akhirnya berpihak kepada Portugal dengan skor 6-1, tapi yang keluar
sebagai Man of The Match adalah gelandang bertahan Korea Utara yang
berposisi di sayap kanan : Rano Rafiudin Al Mubarok. Penampilannya
memang bertenaga kerbau dan licin bagai belut. Beberapa pemain Portugal
susah melewati dia, tapi sayang di sayap kiri ditempati Andri Jubed yang
kurang kokoh menjaga pertahanannya, sehingga gawang Korea Utara jebol 6
kali !!, tapi untunglah di kubu Korea Utara masih ada si Jump punk yang
skill individunya sangat mirip dengan Dennis Bergkamp, sehingga mampu
menciptakan 1 gol hiburan.
Dan hari pun menjadi sore setelah pertandingan itu, hujan sudah reda,
anak-anak perempuan sudah pada pulang, mereka tidak berminat untuk
menonton anak-anak bermain bola. Lalu para pemain menyerbu tempat wudhu
mesjid Ar Rahmah untuk membersihkan diri. Karena yang antri banyak,
sementara air hanya keluar dari keran yang tentunya sangat memakan waktu
lama untuk menunggu giliran, maka Rano habis kesabarannya. Dengan
sebuah gerakan coming from behind, tiba-tiba dia naik ke bibir bak dan
menceburkan diri ke penampungan air untuk wudhu itu, bagai Archimedes
ketika menemukan teori tekanan sambil berteriak : “Eureka !!”. Anak-anak
pun akhirnya mengikuti jejak beliau, maka air bersih nan suci tempat
Kang Rangga dan akang-akang RMBU mengambil wudhu, menjadi keruh oleh
lumpur dan serpihan-serpihan rumput, keruh yang sebenar-benarnya, keruh
pekat bagai bajigur.
Walaupun mayoritas anak-anak kelas 1-6
jarang berinteraksi dengan akang-akang dan teteh-teteh RMBU, tapi ada
beberapa fragmen yang mungkin masih kawan-kawan ingat. Tapi, apa sih
RMBU itu?, karena lupa, saya mencoba mencarinya di Google dan Yellow
Pages, nyatalah bahwa RMBU itu adalah semacam organisasi remaja-remaja
yang kerasan nongkrong di mesjid dan sekitarnya. Akang-akangnya atau
yang dikenal juga dengan panggilan ikhwan : kelihatannya sholeh, kalau
berpapasan dengan lawan jenis alias bukan muhrim pandangannya menunduk
seperti sedang mencari uang yang hilang, perkataannya halus dan
cenderung pelan, tenang, dan pembawaannya ramah, air mukanya kebanyakan
bersih dan bercahaya karena sering disiram air wudhu, dan jarang sekali
saya melihat mereka marah.
Teteh-tetehnya atau biasa dipanggil
akhwat tidak jauh beda sikap dan kepribadiannya. Kalau akhwat mau
berkomunikasi dengan ikhwan, biasanya tidak pernah sendirian, tapi
selalu ditemani oleh akhwat yang lain. Dan cara berkomunikasinya pun
tidak pernah bertatapan langsung, tapi selalu dibatasi oleh tembok
mesjid, kalau pun tidak ada pembatas, mereka selalu berkomunikasi sambil
menunduk, begitulah cara mereka berkomunikasi dengan lawan jenis.
Mereka kelihatannya anggun dengan terus berusaha menjaga pandangan,
jilbabnya panjang dan rapi. Pernah saya bertanya-tanya waktu itu :
kenapa mereka mau-maunya berpakaian seperti itu?, sementara anak-anak
perempuan yang lain tengah gembira dengan rok pendek abu-abu dan kaos
kaki putih sebatas lutut bagai pemain sepakbola, dan jawabannya saya
temukan dalam buku “Mencari Senyum Tuhan” karya Dr. Miranda Risang Ayu,
di buku itu saya temukan paragraf ini :
“Dan kuturunkan kain ke
dadaku. Kuturunkan dia supaya ikut tunduk pandanganku. Kuturunkan kain
dari ubun-ubun menyungkup rambutku, supaya terlindung dan selamat aku,
dari terik matahari ketika kerontang, pedih musim ketika dingin, serta
gerayang panas mata dan tangan orang-orang yang berhati lemah yang
berkeliaran sepanjang jalan. Kuturunkan kain ke sekujur tubuhku sapaya
terjaga aku, tidak saja dari gangguan orang-orang yang aku temui tetapi
juga dari godaan dalam diriku sendiri yang ingin bertingkah. Kain ini
menyelematkan aku serta orang-orang disekelilingku dari daya tarik
keperempuananku yang mungkin menipu. Dan kain panjang ini menjadi
kulitku, diriku, identitasku. Tidak lagi bisa kulepas dia, apalagi
kubiarkan dia direnggut dari diriku. Dengan kain ini aku berkata
“tidak” kepada masa lalu yang lemah, kepada hubungan sosial yang
eksploitatif, serta struktur ekonomi, sosial, dan politik yang tidak
adil, memperbodoh manusia dan menghancurkan diriku sendiri. Kuturunkan
kain menutupi tubuhku supaya aku bisa mengucapkan salam kepada dunia,
bukan hanya dengan mulut tetapi juga dengan seluruh diri”.
Remaja Mesjid Bahrul Ulum, demikianlah nama organisasi akang-akang dan
teteh-teteh tersebut. Nah, dengan komunitas seperti itulah kami pernah
berinteraksi, ikut pengajian sebentar, atau ikut latihan nasyid, atau
ada yang lebih mengesankan seperti tragedi Sapto :
Anak-anak
sedang ramai menghakimi saya, kemarin mereka tersiksa 3 jam bersama
akang-akang RMBU. Mereka merasa tertipu, pengajian yang awalnya
diprediksi hanya setengah jam, menjadi molor 5 kali lipat karena ada
acara semacam outbond di lembah sekolah. Dan gawatnya saya adalah yang
mengajak mereka ke pengajian tersebut. Dasar karena mereka itu mentalnya
mental bermain dan jalan-jalan tak jelas, maka acara pengajian bagai
sebuah derita berkepanjangan. Yang paling bersemangat menghakimi, siapa
lagi kalau bukan si Ryan Irung, dengan rambut belah tengah dan hidung
kembang kempis yang dapat menghilangkan selera makan, dia berucap :
“Heh, Jump punk koplok, teu baleg sia mah, pangajian teh badis we tilu
taun. Ngomong we sia mah setengah jam, yeuh suku aing nepika
singsireumeun lila teuing sila !!.” Si rizqo ikut menyambut dengan
setengah gagap dan suaranya terdengar agak cempreng : “Heueuh sia mah
Jump punk, a..a..aing ge panas bujur diuk wae dina kampret, eh
ka..ka..karpet !!”. Culonk tak mau kalah : “Engke mah mun si Jump punk
ngajakan deui pangajian tong daek barudak, mending ge ka imah si Herlan
ngadahar sukro !”. Yang lain pun ikut menghakimi, semua bersahut-sahutan
seperti kokok ayam di pagi hari.
Lalu tiba-tiba datanglah
Sapto, muka Bajurinya muncul dari balik pintu kelas. Dia kemudian ikut
bergabung dengan kawan-kawan yang lain, dan tahulah dia bahwa anak-anak
sedang membahas masalah pengajian kemarin. Tanpa disuruh dia tiba-tiba
angkat bicara : “Heup, heup heula euy, urang boga carita yeuh”. Si Abank
langsung menyela : “Naon sia deuih Sapto, batur mah keur nyarekan si
Jump pung, maneh ngadon rek nyarita!!”. Sapto membalas lagi : “Yeuh, ieu
mah carita ge lain sembarang carita”. Abank mulai tertarik : “Carita
naon kitu?”. Sebelum berucap lagi, Sapto mengeluarkan puntung cigarette
merk Djarum Super, dan anak-anak mulai mengerubunginya, saya terbebas
untuk sementara : “Arjirr, urang era bieu bagoy. Urang kan indit ti imah
jalan sawah, sabari nempo pare jeung ngararasakeun hawa isuk nu seger,
urang nyundut Super. Eta pas keur ngeunah-ngeunah nyedot roko, ti
pengkolan Gedong Panjang datang kang Roby, mangkaning haseup rokok can
dikaluarkeun, anjirr meni engap euy nahan haseup. Tuluy kang Roby
ngomong “Assalamu’alaikum”, piraku ku urang teu dijawab?, nya kapaksa we
ku urang dijawab “eh, wa’alaikumsalam kang Roby..”, tah pas urang
ngomong kitu…haseup roko ngebul euy kaluar tina lambeuy simkuring…anjirr
eraaa bagoy !!”.
“whuaha..ha..ha..ha..ha…”, anak-anak kertawa
keras, si Culonk sampai berguling-guling, sementara Mamen memegang
perutnya terpingkal-pingkal. Sebuah hiburan di pagi hari yang
menyegarkan.
Hari ke (12)
(Apakah waktu SMA ada yang
pernah jatuh cinta? : jawabannya pasti ada. Tapi tak usahlah saya catat
di sini, yang merasakannya pasti lebih faham bagaimana cara
memperlakukan memory itu. Saya tidak mau memasuki wilayah merah jambu,
sebab agak sedikit sensitif. Silahkan putar memory masing-masing kalau
berminat mengingat kembali, tapi kalau tidak mau silahkan buang saja ke
tong sampah).
Cukup hanya puisi berikut yang mewakilinya, sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono :
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada”.
Hari ke (2)
Pagi-pagi
sudah disuruh lari lagi ke Kerkop. Kuburan orang-orang keturunan
Tionghoa itu pernah melihat saya waktu berlari ngos-ngosan di bawah
bentakan anak-anak OSIS sialan. Selesai berlari lalu dibariskan di
lapang basket sesuai kelasnya masing-masing. Saya berdiri agak di depan,
lalu menengok ke belakang : Ya Allah menyedihkan sekali…wajah anak-anak
seperti kepiting rebus, merah keungu-unguan, keringat berleleran di
pelipis, nafas tidak teratur, tapi untung saja tidak ada yang bengek.
Kemudian kami, anak-anak 1-6 digiring ke kelas yang berada di sisi
lembah, tepat di samping base camp lama ekskul pecinta alam. Konon kelas
tersebut menurut paririmbon pernah menjadi lokasi orang gantung diri,
bulu kuduk saya tiba-tiba meremang.
Angin bertiup dari lembah menyapa pohon-pohon besar yang menjulang,
serta semak-semak gelap tempat hidup keluarga biawak. Tiga hari dalam
acara MOS (Masa Orientasi Siswa), tidak ada satu guru pun yang
menampakkan mukanya di kelas, yang selalu berdiri di depan papan tulis
adalah para panitia yang mayoritas anak-anak OSIS. Inilah waktu yang
tepat buat para senior untuk mencengkramkan kukunya yang tajam. Tapi di
kelas kami, kuku senior itu terlihat indah, sebab yang sering masuk
bukanlah kang Uce Depp, atau Ana Boxer, melainkan teh Leti Narulita. Dan
rasakanlah, dia rupanya salah masuk kelas, sebab yang dihadapinya
adalah bocah-bocah hiperaktif seumpama cacing kepanasan. Andri Jubed,
Abank, dan Sapto selalu merepotkan teteh yang kulitnya putih bagai lobak
tersebut. Sementara yang lain ribut susah diatur, saya, Fikri, dan Rano
malah duduk tertib tanpa banyak cakap, sebab di kelas itu kami tak
punya kawan sealmamater waktu di SMP, lagi pula celana biru kami
potongannya panjang, tidak pendek, tidak pula sontog, sebab kami berasal
dari Madrasah Tsanawiyah dan SMP Islam. Kami bertiga seperti santri
kampung yang kehabisan ongkos di tengah kota. Tapi nanti waktu akan
menjawab, kemana kami akan bergulir, dan bagaimana kelakuan kami
sebenarnya.
Kalau teh Leti sudah keluar, itu artinya kami harus
siap-siap menuju ke ruang senam, sebuah ruangan yang mirip kamp
penindasan. Waktu itu kami belum kenal dengan yang namanya pak Ajat
“dicaram teuas”, bu Ari guru agama, pak Moged, bu Nurcahya, pak Budi
guru geografi, juga pak Heri guru Bahasa Indonesia yang legendaris, yang
kalau beliau mengajar, pasti saya tidak mengerti. Guru-guru kami itu
belum menampakan mukanya, mereka seperti sengaja sedang dipingit oleh
Mr. Vredi Kastam Marta sang Kepala Sekolah. Dan tiga hari pertama kami
masuk sekolah, Mr. Vredi mempercayakan kami kepada anak-anak OSIS,
anak-anak birokrasi organisasi formal yang sedikit pun saya tidak
berminat menjadi anggotanya. Bukan karena saya tidak suka berorganisasi,
tapi menurut saya, organisasi macam begitu terlalu jumud, dan tidak
menantang. Tapi setiap orang punya minat yang berlain-lainan, dan mereka
berhak menentukan pilihannya.
Jauh sebelum David Beckam pindah ke LA Galaxy, karir dia sebenarnya
telah hancur, dipermalukan oleh sepatu Nike berwarna kuning stabilo.
Sepatu itu baru dibeli, usianya belum genap dua minggu. Sepatu yang
kalau saja dia bernyawa dan bisa berbicara, pasti dia tak akan tinggal
diam, tapi akan berteriak minta tolong karena tak kuat menahan beban
yang beratnya di atas rata-rata.
***
Rano membolak-balik
halaman Al Qur’an, dia sedang mencari surat Al-Isra dan surat Luqman.
Tadi ba’da sholat subuh, pak Engkus, salah satu imam mesjid An
Nuur-Kebonjati, yang selalu mengisi acara kuliah subuh membahas mengenai
“Keutamaan berbakti kepada orangtua”. Sebenarnya Rano juga ikut hadir
di mesjid, tapi jiwanya tidak ada di sana, entah kemana, sebab dia
tertidur pulas di sebelah saya, tapi untung tidak mendengkur. Maka
setelah kuliah subuh bubar, di kamar tidur dia memeriksa ayat-ayat yang
berhubungan dengan tema kuliah subuh yang dia lewatkan itu.
“Surat
naon tadi teh Pes?”, yang ditanya tak menjawab, karena suara nasyid
Izzatul Islam lebih keras daripada suara pertanyaan. Rano kemudian
mendekati tape, mengecilkan volumenya dan bertanya lagi : “Tadi surat
naon nu dibahas ku pak Engkus?”, barulah orang yang ditanya mendengar.
“Eta surat Al-Isra jeung Luqman”, jawab Ipes sambil mendekati tape,
berniat membesarkan volumenya. Rano kemudian menghampiri Al Qur’an lagi,
tapi dia masih bingung, dan bertanya lagi : “Ayat sabaraha euy?”, tapi
yang ditanya malah mengambil peralatan mandi lalu turun ke bawah,
ditangga dia sempat berteriak : “Kawantu sare wae maneh mah, teangan
soranganlah!”. Setelah sedikit bekerja keras, akhirnya ayat yang
dimaksud ketemu juga. Dalam hati Rano membaca terjemahan ayat tersebut :
”Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23)
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS Al-Isra : 24)
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Selesai mandi, Ipes bergegas lari,
hari sudah mulai siang. Di kamar, dia mendapati kawannya yang tadi
membolak-balik halaman Al Qur’an, tengah tertidur pulas. Dia tak banyak
bicara, tapi segera memakai baju seragam, membereskan buku di dalam tas,
lalu berdiri di depan cermin : menyisir rambut dengan 10 jari. Yang
tengah tidur makin lelap, malah terdengar ada suara dengkur yang halus.
Tadinya Ipes mau meninggalkan kawannya itu, tapi kalau jalan ke sekolah
sendirian rasanya tidak seru, maka dibangunkanlah kawannya dengan
cipratan air : “Hudang euy, sakola moal?!”, Rano tak terusik sedikit
pun, sialan betul. Ipes ambil air lagi, sekarang agak banyak : ”Woooii,
hudang euy, geus beurang, hayu sakola!!”, Rano menggeliat sedikit,
menguap, lalu tidur lagi. Amboi…usaha kedua tidak manjur, kemudian Ipes
membawa gelas yang penuh oleh air, sambil menyiramkan ke muka kawannya,
dia berteriak : “Kahuruaaann…kahuruaaann….kahuruaaann!!!”, Rano bangun
terperanjat, lalu loncat dari tempat tidur dan berlari ke bawah.
Hari ke (11)
Sepanjang
jalan Rano terus menggerutu : “Ah, maneh mah ngareureuwas wae!”. Kami
terus berjalan menuju pertigaan Bank BNI, tempat angkot mangkal.
Anak-anak SMANSA sudah bergerombol menunggu angkut ungu no. 27, aroma
macam-macam dari deodorant menjajah penciuman. Kalau posisi tempat duduk
sudah terisi 57, plus yang duduk di dekat pintu, plus yang menggantung
di bibir pintu, barulah angkot meluncur. Perbincangan di dalam angkot
selama perjalanan ke sekolah tidak jauh dari PR dan tugas yang belum
dikerjakan : karena malas atau karena pusing tidak mengerti, dan
solusinya apalagi kalau bukan nyontek kepada anak-anak jagoan kelas,
anak-anak yang selalu berada di garda depan prestasi akademik.
Tidak
sampai sepuluh menit, angkot sudah tiba di pintu gerbang sekolah, atau
kalau sopirnya malas paling hanya sampai di dekat mesjid Bahrul Ulum.
Sekitar 10 meter sebelum tiba di kelas 1-6, perut biasanya sudah terasa
mules, sebab membayangkan rebutan nyontek yang ribut dan kompetitif.
Bukan apa-apa, sebab di kelas 1-6 dominasi anak-anak malas begitu kuat
dan mapan, jadi buku contekan milik para jenius biasanya menjadi
bulan-bulanan para pekerja serangan fajar. Dengarlah itu, suara ribut
mereka sudah eksis di pagi hari yang manis : “ke heula atuh bel urang ge
can beres !!”, terdengar Culonk membentak. Tapi tak lama ada yang
membalas : “gantian atuh sia teh, maneh mah geus nomer lima, urang mah
can hiji-hiji acan !!”, sangat jelas itu adalah suara si Abank. Dan
dengarlah, suara siapakah ini? : “Aduuh sia ngenah pisan nurun teh duaan
we nyah?, tuh tingali sia teh umat hiji genep loba keneh nu can beres,
gancang nulisna gantian !!”. Suara rebutan bahan contekan terus saja
bersahut-sahutan. Saya yang juga belum membuat PR harus lebih bekerja
keras, sebab sebentar lagi guru fisika akan segera datang. Dan benarlah,
baru saja saya menyelesaikan nomor satu, bu Neneng, guru fisika itu
telah berdiri di depan kelas. Inilah dia guru fisika yang sebenarnya,
beliau adalah guru fisika kelas 1-6, sedangkan Mr (L), yang pernah
meneriaki saya “Babon” hanyalah guru pengganti sementara, sebab waktu
itu bu Neneng pergi menunaikan ibadah haji.
Pelajaran kemudian
segera dimulai, dan Alhamdulillah PR ternyata tidak dikumpulkan,
anak-anak hanya disuruh mengerjakan soal-soal itu di papan tulis. “Ayo
siapa yang mau ke depan?” bu Neneng membuka penawaran awal seperti di
rumah lelang Christy. Pagi itu anak-anak marginal tiba-tiba budeg semua,
mereka pura-pura tidak mendengar penawaran bu Neneng dengan sok sibuk
menulis di buku. Dan yang ke depan, yang menyelesaikan soal-soal fisika
itu, siapa lagi kalau bukan anak-anak yang bagai sudah kenyang oleh
bimbingan belajar. Nah, di tengah suasana seperti itulah Rizqa membuat
ulah : sebuah sikap ABG labil yang sedang puber dengan eksekusi yang
sangat purba.
Kawan tentu belum lupa : sebelum mendapat gelar
Hajjah, guru fisika itu tidak memakai kerudung dan kalau mengajar sering
memakai rok yang yang tidak terlalu panjang. Maka kalau beliau sedang
duduk di kursi guru, kawan-kawan saya yang laki-laki banyak yang
berdebar-debar, termasuk si Rizqa. Waktu Fikri berdiri di depan papan
tulis untuk mengerjakan soal nomor 3, dan bu Neneng duduk manis di
kursinya, tiba-tiba Rizqa dengan sengaja menjatuhkan pensilnya, reflek
bu Neneng bertanya dengan rona muka penuh selidik : “Rizqa, sedang apa
kamu?!”, sang tersangka dengan gagap yang akut mencoba mengelak :
“Eng..eng..enggak bu, i..i..i..ini mau ngambil pul…pul..pulpen”. Usaha
mas gagap gagal total !!.
Waktu terus berlalu, anak-anak rajin
bergantian menyelesaikan soal-soal fisika, sementara geromboran marginal
asyik dengan dunianya masing-masing : ada yang masih nyontek, ada yang
mengantuk, ada yang ngobrol NBA, dan ada juga yang bolak-balik ke
toilet. Tapi memang hari itu adalah hari yang penuh dengan pelajaran
berbau IPA. Setelah fisika usai, biologi sudah menanti di jam
berikutnya. Bu Zakiah sudah stanby di ruang praktek biologi. Inilah dia
ruangan yang penuh dengan hewan melata yang sudah diawetkan, dan sang
primadona : apalagi kalau bukan ular. Ruangan yang seharusnya menjadi
tempat menggali ilmu itu ternyata di tangan anak-anak meginal berubah
menjadi tempat olok-olok dan bercanda.
Korban pertama adalah Mikroskop. Waktu bu Zakiah lengah karena terlalu
serius mengawasi anak-anak rajin, Sapto mulai membuat ulah : rambut Adit
yang ditumbuhi beberapa uban dia cabut dan dipindahkan ke tempat benda
atau objek yang biasa dilihat dengan mikroskop. Nyatalah uban yang kecil
itu ketika dilihat dengan pembesaran beberapa kali, berubah menjadi
sebuah gading gajah yang menawan. Sapto berseru dengan volume yang
dikontrol dengan baik : “Anjiiirr, buuk si Adit jiga gading gajah kieu
euy !!”. Culonk yang duduk di sebelahnya tentu penasaran dengan penemuan
brilian itu : “Piraku sia teh, cik nempo aing !”. Culonk pun berseru
dan tertawa keras, sebuah tawa yang tanpa disadarinya telah mengundang
perhatian bu Zakiah, dan pesta gading gajah pun untuk sementara
dihentikan, walaupun tawa kecil masih menggelitik perutnya. Setelah
eksperimen uban, maka benda-benda lain pun bergantian dijadikan kelinci
percobaan : dari air ludah sampai isi pensil mekanik. Tapi tak ada yang
lebih heboh dari percobaan itu selain benda yang menjijikkan : upil.
Saya lupa lagi, siapa orangnya yang waktu itu sangat tega mengambil
penduduk hidung tersebut. Dan waktu benda itu dilihat lewat mikroskop,
maka anak-anak berseru bergantian : “Edaaan, jiga batu di bulan euy!!”.
Bu
Zakiah dan anak-anak rajin mungkin sudah tidak peduli lagi, sebab
ketika anak-anak marginal itu ribut, beliau anteng saja dengan
kesibukannya. Tawa anak-anak semakin kencang ketika terjadi peristiwa
Aditya Heriyadi : seperti yang sudah saya bilang, di ruangan praktek
biologi itu penuh sekali dengan keler kue yang isinya sudah bertukar
dengan berbagai macam hewan, dan mayoritas adalah ular. Anak-anak dari
awal sudah tahu bahwa isi keler tersebut ular, tapi beda dengan si Adit.
Kacamatanya yang sudah minus 12 karena konon dia pernah tertabrak motor
waktu sekolah di SD, yang menyebabkan penambahan minusnya sangat cepat.
Dia tidak tahu karena pandangannya agak kabur, maka demi memenuhi rasa
pensaran, dia dekati keler tersebut dengan sangat pelan, selangkah demi
selangkah, megendap-ngendap dan mengatur nafas sehalus mungkin, sampai
jarak tinggal setengah meter pun dia belum yakin betul dengan hewan
tersebut, dan tepatlah pada jarak kurang lebih 15 cm, dia akhirnya
berteriak : “Ooooww, oray geuning !!”. Tawa pun pecah. Bu Zakiah ikut
tersenyum.
Hari ke (10 )
Jam 08.35, matahari masih
hangat, sehangat pisang molen yang belum lama diangkat oleh ceu Ipah
dari penggorengan. Guru geografi belum juga datang. Kelas riuh oleh
mulut yang hampir semuanya terbuka dan bersuara. Di kondisi seperti
itulah, ide terbaik adalah main bola di samping kelas yang lahannya
mirip tegalan karena sangat dikuasai oleh eurih alias rumput liar yang
agak tajam. Bola plastik sudah digenggam Abank si Bocah Tua Nakal, dia
lalu berdiri di depan kelas lalu mengetuk-ngetuk papan tulis dengan
penghapus sambil berdehem : “Ehm..ehm..”, dan anak-anak tak perlu lagi
penjelasan, mereka pun berhambur ke samping kelas untuk beradu skill
mengolah si kulit bundar dari plastik. Kelas tetangga (1-5) tak dapat
diganggu, sebab sedang dibantai pelajaran matematika. Mau menantang
kelas 1-7 tak berani, sebab di dalamnya Wakasek berambut tomboy sedang
gagah mengajar.
Di dekat pohon-pohon rindang, 18 orang bocah
laki-laki di bagi dua. Semuanya ikut main bola, tak ada lagi blok antara
si rajin dan si malas. Sembilan bertarung melawan sembilan, maka kau
dengarlah itu, suara ribut bagai di stadion Siliwangi. Dua tim saling
adu kecepatan dan skill dribble. Teriakan meminta bola dari striker,
atau marah dari kiper karena beknya kurang sigap menahan laju serangan
musuh, atau rintih kesakitan dari para pemain yang cidera. Tapi suasana
meriah, hangat, dan manis itu harus memakan korban, sebab kelas-kelas
tetangga yang tengah belajar, tengah melakukan kegiatan tranfer ilmu,
jadi buyar konsentrasinya. Kelas 1-5, 1-7, dan 1-8 menjadi korban
terdekat dari ramainya pertandingan.
Ketika pertandingan
memasuki menit-menit yang menentukan, menit yang sangat menegangkan,
tiba-tiba dari arah kelas 1-7, guru Bahasa Inggris berjalan dengan
angkuh dan rona muka muntab, penuh kemarahan. Ya, Bu Christine sang
Wakasek bidang kesiswaan hendak membubarkan dengan paksa pertandingan
yang sangat seru tersebut. Anak-anak yang melihat gelagat kurang baik
tersebut langsung kabur, berhamburan ambil langkah seribu. Sementara
anak-anak tunggang-langgang meninggalkan gelanggang, saudara Irvan
Sapari yang posisinya sebagai kiper dan kebetulan membelakangi kelas
1-7, tidak tahu bahwa bahaya sedang mengintainya. Dia santai saja,
bahkan masih sempat berseru : “Wooooii, rek kamarana?, pan can beresan
!!”, tapi anak-anak tak menghiraukan seruannya. Dan ketika jarak bu
Christine dengan saudara Irvan Sapari tinggal 3 meter, barulah bocah
malang itu tahu bahwa dirinya tengah menjadi pesakitan. Dengan secepat
kilat dia pun kabur, lari yang sebenar-benarnya, bukan buatan kawan,
larinya seperti seorang penderita diare menuju wc umum. Fisiknya yang
kuat sebagai seorang Paskibra membantunya melakukan langkah seribu itu.
Para
tersangka pembuat keributan yang tadi bermain bola tercerai-berai,
sebagian ada yang ke warung, dan sebagian lagi masuk kelas. Bu Christine
belum stabil, amarahnya tidak turun sedikit pun, bahkan makin bertambah
setelah tahu bahwa salah satu tersangkanya adalah anak Paskibra.
Sementara di kelas, para tersangka mau berusaha mengelabui pengejarnya.
Sapto yang keringatnya masih berleleran, rambut kumal, dan badannya
masih berbau hangus, berpura-pura menagih infaq laku akang-akang RMBU
kalau ada berita dukacita : “yang mau infaq, silahkan…silahkan…”,
sambil tangannya memegang bungkus kapur tulis yang sudah kosong berwarna
hijau bergambar kepala sarjana, untuk diisi dengan uang. Ketika bu
Christine masuk kelas, teriakan Sapto semakin keras agar efek actingnya
dapat menawan hati si pengejar. Tapi kawan dengarlah ini : “Jangan
pura-pura nagih infaq kamu, ibu juga tahu kamu semuanya habis main bola,
bikin ribut saja, kalau tidak ada guru diam di kelas !!!”, beliau lalu
keluar sambil menendang pintu kelas dengan sepatu highheel-nya.
Anak-anak diam sejenak, setelah itu ribut lagi, dan keluar kelas lagi.
Kali ini meraka hanya duduk-duduk saja di depan kelas, tak berani
meneruskan pertandingan, apalagi saudara Irvan Sapari, dia masih pucat
dan berkeringat dingin. Tak disangka sedikit pun olehnya, anak-anak
menjadikan dirinya sebagai tumbal ibu Wakasek. Sebagian yang tadi
bersembunyi di warung tukang bubur telah kembali ikut bergabung,
semuanya nongkrong di depan kelas. Tapi lagi-lagi Abank si Bocah Tua
Nakal sudah dengan gagah berdiri di dekat pintu sambil memegang si
plastik bundar, dia kembali bersuara : “Ehm..ehm..”, dan kali ini
anak-anak tak menanggapinya. Dia berusaha lagi, suaranya semakin
dikencangkan dan dibuat seberat mungkin : “Ehhmmm….ehhmmm…”, anak-anak
tak bergeming.
Di tengah suasana kaku itulah tiba-tiba seorang
bintang palsu berdiri dan menyambut bola dengan tangannya, lalu dilempar
ke lapang yang ada di depan kelas 1-5. Ya, Yogi Aldila Karmana si
Beckham palsu telah menggulirkan bola, dan lihatlah aksi dia selanjutnya
: Sendirian dia menggocek bola di atas rumput teki yang mulai menghijau
lagi setelah beberapa hari ini diguyur rahmat hujan. Sepatu Nike baru
yang berlogo contreng berwarna kuning stabilo menari-nari mempermainkan
si kulit plastik. Waktu itu tidak turun hujan, tidak juga ada petir yang
menyambar-nyambar, tidak juga angin kencang yang bertiup. Komposisi
alam berada pada hakikatnya yang syahdu, hangat, dan tenang. Tapi entah
kenapa tiba-tiba Beckham wannabe ini kehilangan keimbangan, tubuhnya
yang tadi meliuk-liuk tiba-tiba oleng, limbung, dan “Bluggh!!” :
seperti suara karung beras yang dilemparkan dari atas truk. Ternyata
sepatu Nikenya menginjak pinggir si kulit plastik. Karirnya hancur
seketika, bukan main malunya si Beckham ini, setelah bangkit dari
pengkhianatan sepatu, dengan beberapa tanah yang mengotori seragam
putihnya, dia akhirnya jongkok di depan kelas 1-5, sendirian. Sementara
anak-anak berguling-guling tertawa, mereka tak memperhatikan wajah mas
Beckham yang terlihat murung dan kelabu.
***
Sebelum
sepakbola indah gaya total football dibubarkan secara paksa oleh Bu
Christine, dan sebelum mas Beckham karirnya hancur, di kelas 1-6 sudah
mulai terdengar nama-nama asing yang sebelumnya tidak pernah saya
dengar. Saya yakin betul, haqqul yakin, bahwa di buku absen kelas 1-6
tidak ada yang namanya M****m, S****n, W***u, Y***f, dan Iim. Nama-nama
itu tidak pernah terdengar sama sekali, tapi entah kenapa sedari tadi
pagi gerombolan marginal mulai menyebut-nyebut nama itu. Culonk telah
berganti nama menjadi S****n, Haris Babat menjadi M****m, Sapto berubah
menjadi W***u, dan bung Ryan Irung menjadi akrab dengan panggilan 11
Meter. Kejadian ini membuat Rano kaget bukan main. Sambil berucap :
“Alhamdulillah, untung saja anak-anak tidak tahu nama Bapak saya”, dia
diam-diam berniat untuk menelusuri kitab suci tentang keutamaan berbakti
kepada kedua orangtua. Dan esok harinya, setelah bangun dari tidur yang
cukup pulas, dia mulai membuka lembar-lembar Al Qur’an.
***
Kalau saya siang itu, kira-kira jam 12.45, duduk di bangku bus way, dan
pergi ke arah Salemba sambil mendengarkan SORE, bukan berarti saya
sedang mencari ilham, sebab Ilham kawan saya sedang kuliah lagi di
UNPAD, bukan pula sedang memancing inspirasi. Tapi benar-benar karena
ingin membeli National Geographic di daerah Matraman, tentu saja sebuah
majalah yang masih di segel dengan bandrol 50,000 rupiah. Sudah
berkali-kali saya melihat majalah itu, dan onde mande gambar-gambarnya
bagus semua, tentu para fotografernya sudah pada lihai macam Darwis
Triadi. Kali ini saya ingin belajar lagi Geografi dan Antrophologi,
ingin mengunjungi gunung-gunung tinggi, lembah-lembah yang manis,
sungai-sungai yang deras, ingin menyapa suku-suku pedalaman, atau ingin
tahu makhluk apa saja yang ada di dalam kambium. Bus way terus laju,
sementara SORE terus berbunyi : No Fruits for Today, Etalase, Bogor
Biru, Apatis Ria, Setengah Lima, dan Somos Libres.
Sebelas tahun
yang lalu, kira-kira jam 12.45, saya tidak sedang duduk di bangku bus
way, tapi sedang duduk layu di dalam kelas. Mata anak-anak hampir
semuanya sudah bertenaga 5 watt, apalagi yang duduk di dekat jendela,
angin sejuk yang berhembus melewati pohon asem membuat matanya semakin
redup. Pak Budi guru Geografi sedang bersemangat menerangkan
fenomena-fenomena geosfer di papan tulis, guru muda lulusan IKIP Bandung
itu, eh maaf…UPI maksud saya, terus saja merayu anak-anak dengan
ilmunya yang masih hangat karena belum terlampau lama beliau melepaskan
toga.
***
Hari ke (4)
Akhirnya MOS selesai, sudah
saatnya kami bertemu muka dengan guru-guru yang semuanya baru, sebab
semua guru waktu SMP tidak ada yang mengajar di sini. Kelas pun pindah,
yang asalnya berada di dekat lembah, kini agak naik ke atas, sangat
strategis karena bertetangga dengan kantin dan tanah kosong tempat
bermain bola. Susana kelas masih agak kaku, hanya satu dua orang saja
yang mulai cair dengan kawan baru. Sampai di sini belum kentara betul
mana yang rajin, mana yang setengah rajin, mana yang pura-pura rajin,
dan mana yang menderita malas akut. Buku tulis semuanya baru, mayoritas
bermerek Sinar Dunia, Kiky, dan Mirage, buku Leces sudah tidak musim.
Guru
yang pertama kali masuk bukan wali kelas, tapi guru matematika.
Rasakanlah itu, mantap sekali, hari pertama sudah dihajar pelajaran
berhitung !!. Namanya bu Sumi, tapi anak-anak sering memplesetkannya
dengan sebutan Schumacher, si pembalap F1. Rupa-rupanya ibu pembalap ini
ingin mengetahui sejauh mana kapasitas murid-murid barunya dalam
pelajaran berhitung, maka lihatlah beliau menulis banyak soal di papan
tulis dan menawarkan kepada anak-anak untuk rebutan mengerjakannya di
depan, siapa yang paling cepat unjuk tangan maka boleh mengerjakan satu
soal.
Waktu itu, ketika suasana pergaulan belum cair, yang
sering menyelesaikan soal-soal matematika bukanlah para jagoan akademik
yang sering menghuni sepuluh besar, melainkan anak-anak marginal yang
karena malas akhirnya sering menjadi penghuni zona degradasi. Andri
Jubed, Ronald Kaunang, dan bung Sapto adalah mereka yang paling gemar
menunjukkan kemampuannya di depan bu Sumi. Sementara Fikri Muhammad,
Mira Dianti Rachman, Dinar Lestari, Siska Ambarsapari, Lisna, Neng
Anita, dan pasukan sepuluh besar lainnya, waktu itu seperti para
pendekar sakti dari Bukit Tenggarong yang dengan sengaja diam,
menyembunyikan kuku-kuku tajamnya, menghidden kemampuannya. Demikianlah
tabiat para pendekar itu, mereka membisu di awal, dan setelah sekolah
berjalan memasuki hari ke tujuh, barulah mereka menguasai papan tulis
sampai caturwulan ke-3 habis di penghujung.
Saya walaupun bukan
pendekar sepuluh besar, tapi ikut diam juga, bukan untuk menyembunyikan
jurus-jurus jitu, melainkan sedang membayangkan sebuah payung : pagi itu
hujan turun deras, langit dikuasai awan kelabu, dan dari
tanda-tandanya, sepertinya hujan akan berlangsung lama, bisa jadi sampai
nanti siang, sampai sekolah bubar, padahal saya tidak membawa payung,
dan itu artinya nanti pulang sekolah akan basah kuyup apalagi kostan
saya cukup jauh : Cibaraja-Cisaat. Demikianlah, pikiran saya tidak
berjejak di kelas, tapi sudah melayang jauh ke depan, ke jam bubar
sekolah. Tapi itu tidak berlangsung lama, sebab suara bu Sumi
menghentikan lamunan : “Hai, kamu belum pernah ke depan ya?”, dia
menunjuk ke arah saya. “Siapa bu?”, pura-pura tidak tahu. Dari belakang
terdengar ada yang berbisik : “Maneh dokter titah ka hareup!”, di awal
masuk sekolah bung Ryan Irung masih memanggil saya “dokter” hanya karena
saya memakai kacamata. Baiklah, akhirnya saya berdiri dan dengan gagah
berani menghampiri papan tulis, apa sih susahnya “bagi kurung?” : saya
habisi soal itu dalam satu menit.
Setelah jam matematika habis,
barulah wali kelas kita datang. Logat Jawanya amat kental, dan akan
terdengar aneh kalau beliau menyebut nama-nama hewan dan tumbuhan dalam
bahasa latin. Beliau memang guru biologi, dan menjadi sangat terkenal
karena sering menyebut-nyebut nama penyakit yang sering menyerang
piranti vital : Raja Singa. Ryan Irung menjadi bulan-bulanan wali kelas,
dia sering diolok-olok mengidap penyakit memalukan ini, tetapi pada
kenyataannya siapa pun tidak tahu, hanya Tuhan, Ryan Irung, dan Raja
Singa yang tahu keadaan yang sesungguhnya. Tapi tak usahlah kita
berbanyak cakap membahas penyakit ini, karena siapa pun tentu tidak ada
yang mau diserang dan menjadi korban kejahatan Raja Singa.
Lalu
guru-guru yang lain masuk bergantian, semuanya terkesan datar saja,
tidak ada first impression yang kuat. Apalagi guru sejarah, karena
kurikulum yang dijaga ketat oleh Depdiknas, maka pelajaran sejarah tidak
jauh dari sekitar : pemberontakan PKI Madiun, BPUPKI, Perjanjian
Renville, pemberontakan PETA, long march Pasukan Siliwangi, serangan
umum 1 Maret, dan yang sejenisnya. Atau kalau mau loncat ke belakang,
maka akan dibahas : zaman megalitikum, punden berundak-undak, kapak
batu, tulisan di dinding gua, hidup nomaden, dan sebangsanya.
Pelajaran sejarah jauh dari kesan menantang, seolah-olah ilmu itu
dibatasi oleh tembok yang sangat kuat, dan kita tidak bisa menembusnya,
seperti terjebak dalam kuldesak. Kalau saja waktu itu saya tidak bertemu
dengan buku karangan Ahmad Mansyur Suryanegara, pasti minat saya pada
Sejarah Pergerakan Indonesia akan hangus dan tak berbekas. Beruntunglah
generasi sekarang, keran ilmu sejarah telah dibuka dengan bebas.
Buku-buku yang dulu dianggap haram kini dapat diakses dengan mudah.
Buku-buku seperti Tetralogi Buru yang dulu peredarannya disekap Jaksa
Agung, kini dapat diapresiasi sebagai salah satu referensi sejarah,
terlepas dari pro dan kontra. Pelajaran sejarah ini pasti jadwalnya jam
pertama pada hari senin, setelah upacara bendera, sebuah padu-padan yang
sempurna bukan?.
Tidak sampai memakan waktu berbulan-bulan,
suasana kelas mulai cair, bahkan sesekali ada gelombang pasang. Ini
salah satunya tentu tidak terlepas dari celetukan mas Anton yang
menyudutkan Ryan Irung. Dari hari pertama semanjak celana panjang khas
SMU sah untuk untuk dipakai, mas Anton selalu menentang arus : celana
panjangnya selalu ngatung alias cingkrang. Dulu waktu mereka masih
berseragam SMP, celana potongan sontog selalu kena razia, kain celana
pendek yang dipakai bocah laki-laki tidak boleh di bawah lutut, semuanya
harus di atas lutut, kalau tidak percaya tanyakan saja sama bung Sapto,
beliau pernah kena razia. Nah, waktu mas Anton memakai celana ngatung,
maka anak-anak pun mengolok-oloknya bahwa dia memakai celana sontog.
Celana sontog memang selalu kentang, kena tanggung.
Di sebuah
jenak waktu, ketika bu Zakiah menulis nama-nama latin hewan unggas di
papan tulis, yang tentu saja nama-nama latin itu susah untuk diingat,
Ryan Irung memulai aksinya ; dengan melirik sedikit ke arah mas Anton,
dan sedikit senyum jahil yang menyebalkan, dia berteriak dengan syahdu :
“Bu..bu…, Anton celananya sontog!!”. Kontan kelas menjadi ramai,
anak-anak mulai tertawa. Sekilas mas Anton seperti seorang petinju yang
kalah TKO, karena kami menyangkanya dia akan diam saja seperti biasa.
Tapi kawan, beberapa detik sebelum bu Zakiah menenangkan kelas dengan
membalikkan badan, serta gerakan yang slow motion seperti di film
Matrix, tiba-tiba mas Anton melancarkan serangan balik yang sangat telak
: “Bu…bu…, Ryan hidungnya sontog !!”. Skak mat. Ryan Irung tak
berkutik, dia hanya menunduk kelu, hidungnya kembang-kempis, sementara
kelas semakin gaduh.
Setelah pelajaran biologi selesai, tawa
anak-anak belum sepenuhnya reda, masih ada saja sisa tawa yang mirip
kuda. Mas Anton terlihat tersenyum cerah persis seperti cahaya matahari
waktu dhuha. Sementara Ryan Irung sudah tidak terlihat di kelas, rupanya
dia terduduk lesu di pinggir kelas. Anak-anak mencoba menghiburnya,
tapi tetap saja dia murung. Dengan pelan dia mulai berkata : “urang teu
nyangka sauetik-eutik acan, eta si mas Anton sakitu lungguh, kalem, tapi
cicing-cicing oge geuningan auuuuuu…!!”. Anak-anak tak mengerti, hampir
bersamaan kemudian bertanya : “naon maneh teh cicing-cicing auuuuu…!!”,
dan langsung dia jawab : “heueuh, cicing-cicing pi*nj*ngeun !!”. Tawa
pun pecah, tapi bung Ryan Irung tetap saja murung.
Hampir tujuh
orang yang mengerubunginya : Abank, Culonk, Sapto, Mamen, Haris Babat,
Rano, dan saya. Semuanya seolah-olah menjelma menjadi Mario Teguh atau
Andri Wongso yang menghujaninya dengan kata-kata hikmah dan motivasi
penuh semangat. Sementara anak-anak sibuk menghiburnya, yang dihibur
malah diam saja dan perlahan mukanya terlihat agak merah, rona mukanya
seperti sedang menahan sesuatu, aneh sekali dan mencurigakan. Dan tiga
detik kemudian, Sapto mencium sesuatu yang busuk, hidungnya
mengendus-ngendus : “Hmmff..hmmff..asa hanyu kieu euy, hanyu
naonnyak??”, yang lain ikut-ikutan mengendus, dan memang kawan, bau
busuk itu semakin terasa mencucuk hidung. Ketika anak-anak sibuk dengan
serangan bau busuk yang tiba-tiba itu, dengan muka yang semakin merah
dan sedikit meringis, Ryan Irung bangun dari duduknya dan berlari
kencang ke arah toilet. Anak-anak kemudian berseru : “Tungiiir, rek
kamana maneh?!!”, dan Ryan Irung menjawab sambil berteriak : “bamang
yopooorrr…!!!”. Nyatalah sekarang, siapa pelaku penebar bau busuk itu,
para penghibur telah dikhianati gas beracun beraroma closet. Anak-anak
marah dan jengkel bukan kepalang : “S***n, pantesan hanyu cubluk, si
jurig geuningan yopor !!!”, terdengar Mamen menyumpah. Lalu
bersahut-sahutanlah serapah yang lain :
“#%^**&^%#@^$#@^&*(&(*^&%.....!!!!!!”.
Demi
membalas tuntas kelakuaan bung Ryan Irung, akhirnya tujuh orang yang
dikhianati itu menyusun sebuah rencana jitu, sebuah langkah konkret
untuk menyalurkan kekesalan : Tumpuk Cue !!. Kawan, tentu acara yang
satu ini pada awalnya belum populer, dan boleh dibilang dari aksi balas
dendam inilah sejarah Tumpuk Cue di bermula. Masa sih sudah lupa?,
Tumpuk Cue adalah aksi menjatuhkan seorang korban hingga telungkup atau
terlentang di lantai atau di atas meja, lalu satu-persatu para pelaku
menindihnya dengan diawali sebuah loncatan yang manis, persis seperti
seleberasi seorang pencetak gol yang ditindih kawan-kawannya.
Rencana
telah matang, yang ditunjuk sebagai eksekutor alias yang menjatuhkan
korban adalah siapa lagi kalau bukan Sapto Bajuri, sementara yang lain
bersiap dengan jurus-jurus loncatan yang variatif. Inilah saatnya
membuat si penebar gas baracun menjadi manusia yang paling menderita
sesak nafas !!. Anak-anak semuanya masuk kelas, pintu kelas sengaja
ditutup dari dalam biar terkesan ada guru yang sedang mengajar, biar si
Ryan Irung bersegera masuk kelas. Padahal di dalam para pembalas dendam
sedang bersiaga dengan rencananya. Sapto sengaja berdiri di pinggir
pintu untuk melancarkan serangan yang mendadak dan mengejutkan.
Sementara yang lain sudah oke di posisinya masing-masing : Mamen dan
Haris Babat berdiri dekat papan tulis, saya duduk di kursi guru, Culonk
duduk di kursi paling belakang bagai disengaja agar terkesan cool
seperti intel, Abank dan Rano duduk di atas meja untuk sebuah loncatan
yang unforgettable.
Suasana kelas dikondisikan sunyi seperti
sedang dalam konsentrasi penuh belajar. Kelas dikuasai para pembalas
dendam, anak-anak perempuan yang protes langsung dibungkam dengan
sedikit rayuan dan gertakan. Lima menit sudah berlalu, tapi tanda-tanda
kedatangan si Ryan Irung belum ada. Memasuki menit ke tujuh, tiba-tiba
terdengar bunyi sepatu dari luar. Sapto menyimpan telunjuknya di bibir
dan membuka lebar kupingnya, artinya tak lain adalah : “tong gandeng
euy, korban geus datang!”. Bunyi langkah kaki semakin dekat dan jelas,
anak-anak semakin berdebar-debar, beberapa orang menahan nafas, yang mau
buang angin sengaja ditahan dulu. Rano dan Abank yang tadi duduk di
atas meja sekarang sudah berdiri, bunyi langkah semakin nyaring, dan
jarak tinggal lima meter….empat….tiga….dua….satu…. : “Assalamu’alaikum”,
bu Ari guru agama, dengan Jilbabnya yang rapi muncul dari balik pintu.
***
Dialog Imajiner
Delapan bulan saya kost di Cibaraja-Cisaat.
Karena jaraknya terlalu jauh dengan sekolah dan merasa tidak betah,
akhirnya saya pindah ke Kebonjati, tinggal di Mesjid An Nuur bersama
Rano dan anak-anak SMP Islam An Nuur. Maka setiap pagi saya tidak lagi
naik angkot 08 (Cisaat-Pasar Pelita), tapi cukup hanya berjalan ke
pertigaan di depan Bank BNI, atau berjalan membelah jalan Jend. Ahmad
Yani, melewati Kota Paris, lalu turun ke bawah menuju pertigaan dekat
rel kereta api, menunggu angkot yang datang dari arah Ramayana. Setiap
hari begitu, berdua dengan bung Rano yang kakinya jarang bertemu dengan
kaos kaki dan baju jarang dimasukkan.
Persisnya saya lupa lagi,
entah caturwulan berapa atau entah kelas berapa?, Suci Marisa atau Ucie
(jangan lupa belakangnya pakai huruf “e”, biar lebih gaya) pindah rumah
ke Cianjur. Maka kalau berangkat sekolah, saya dan bung Rano sering
melihat dia turun dari bis jurusan Bandung-Sukabumi, turun di jalan
Siliwangi. Kawan tentu masih ingat, dia adalah yang sering berambut
pendek yang depannya agak panjang, jadi kalau menunduk sedikit, rambut
bagian depannya itu akan menutupi mukanya, persis seperti gorden kamar
di waktu maghrib. Ada lagi ciri lainnya : sepatu hitam, kaos kaki putih
selutut, dan kuku tangan sering dikasih warna cerah bagai es krim.
Sekali waktu saya sempat membayangkan sebuah dialog imajiner dengan bung Rano, dialog tentang betapa hebatnya sekolah kami :
R : “Pes”
I : “Naon?”
R : “Naha si Ucie sok datang ti arah Bandung, pindah kitu imahna?”
I : “Piraku maneh teu apal?, pan geus dua minggu imahna pindah Bandung, ka Kopo”.
R : “Masya Allah, imah di Bandung ngadon sakola ka Sukabumi?!!, pan di Bandung loba meureun SMA, naha teu pindahnya??”
I
: “Hei bung, di Bandung mah euwueh sakola nu alus, garoreng kabeh,
tidak ada yang berkualitas. SMANSA Sukabumi teh sakola pang alusna
sa-Jawa Barat !!”
R : “Ah, nu bener euy?!, sing baleg ah!! ”
I
: “Dibejaan maneh mah kalahkah malikan. Yeuh dangukeun, malahan menurut
kabar terbaru dari Dikti, SMANSA Sukabumi teh anyeuna geus jadi sakola
percontohan, geus jadi nu pang alusna sa-Indonesia !!”
R : “Oh
kitu?, pantesan si Ucie ngabelaan berangkat jauh-jauh ti Bandung ka
Sukabumi. Tapi urang mah asa karunya euy, ti imahna jam sabarahanya?,
jigana keur tunduh keneh si eta wayahna geus berangkatnya?”
I :
“Ari seorang pelajar yang baik mah kudu kitu atuh, kudu daek peurih
heula. Tidak peduli berangkat sekolah dengan kondisi masih lulungu dan
mata masih cepel, yang penting keur kahareupna, demi masa depan yang
gilang gemilang !!”.
R : “Salut urang mun enya kitu mah !!.
Tentu
saja dialog itu tidak pernah terjadi, karena Rano tidak pernah bertanya
seperti itu, lagi pula Ucie tidak pindah ke Bandung, melainkan hanya ke
Cianjur. Mengenai kualitas SMANSA Sukabumi, kawan-kawan tentu dapat
menilai dan merasakannya sendiri, berada di peringkat berapa sekolah
kita itu.
***
Apa menariknya melumuri orang dengan telur dan tepung, pada tanggal dan
bulan yang sama ketika dia dilahirkan oleh ibunya dengan segenap
perjuangan, dengan darah, bahkan nyawa sekalipun?. Maka saya tidak
pernah berminat dengan perayaan ulangtahun yang konyol itu, yang
menghambur-hamburkan butir-butir telur dan tepung terigu untuk
ditaburkan ke kepala, muka, dan badan oranglain. Saya lebih memilih
acara makan-makan, setelah sebelumnya diawali dengan beberapa potong
do’a. Kawan, kau pun boleh mengingat kembali, bahwa kita sekelas pernah
pergi ke Balandongan, ke ulangtahunnya Amie (kenapa ya ujung namanya
harus ada huruf “e” ?, persis kaya Uchie). Anak-anak senang bukan
kepalang, karena mereka bisa makan-makan sampai kenyang, dan bercanda
yang sepertinya tiada ujung. Tapi saya perhatikan tidak ada yang kasih
kado, kecuali satu orang, nama orangnya saya lupa lagi. Kalau saja waktu
itu Dewi Lestari sudah membuat buku “Filosofi Kopi”, tentu akan sangat
menarik jika sebuah tulisannya yang berjudul “Lilin Merah” dibawa serta
ke Balandongan :
“Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang
tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke
dalam, menembus rahasia terciptanya waktu. Keheningan mengapungkan
kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah,
mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin
yang membuat kita berkaca, suka atau tidak pada hasilnya. Lilin merah
berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru
berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar
tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet
do’a tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan
hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa,
menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.
Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun tiap hari.”
***
Hari ke (5)
Saya
tidak tahu, siapa sebenarnya yang pertama kali memanggil Siska dengan
sebuah panggilan yang begitu anggun : So You Know. Anak-anak laki-laki
selalu memanggilnya begitu selama hampir satu tahun penuh. Kalau
diperhatikan, memang interaksi dia dengan anak-anak laki-laki, terutama
yang marginal, terkesan seperti dua kutub magnet yang saling menolak.
Dia sering kena olok-olok dan ejekan yang sengit. Bahkan ketika dia
terjatuh di kelas, lalu karena mungkin malu bercampur sakit, dia
menangis serupa bocah yang kehilangan kembang gula, tapi tetap saja para
marginal tidak ada seorang pun yang membantunya untuk bangun, mereka
malah menertawakannya dengan penuh keceriaan. Hanya anak-anak perempuan
yang masih peduli dan membawanya ke ruang guru. Kemudian waktu jam
pelajaran dimulai kembali, dan dia telah keluar dari ruang guru, lalu
masuk kelas dengan masih menyisakan mata yang merah sehabis menangis,
dan anak-anak laki-laki kembali menertawakannya.
Kali ini yang
berdiri di depan kelas adalah guru Bahasa Indonesia yang legendaris.
Masih muda, cara mengajarnya susah dimengerti, dan kumisnya hanya tumbuh
dipinggir saja. Kalau sedang mengajar banyak tersenyum kepada anak-anak
perempuan. Beliau paling gemar menenteng buku LKS (Lembar Kerja Siswa)
yang berwarna biru telor asin, dan ukuran kertasnya lebar di atas
rata-rata. Kalau mengajar hanya buku itu saja yang dipegangnya. Awalnya
beliau tinggal di sekolah, di sebelah ruangan komputer, tapi kemudian
pindah ke daerah gang Ajid, dekat rumah si Abank, tidak jauh dari
kawasan Dago Sukabumi yang banyak dihuni sekolah. Waktu beliau masih
tinggal di sekolah, sebagian anak-anak marginal pernah menginap di
ruangan komputer dan ngaliwet bersamanya. Saya tidak tahu, kenapa
anak-anak bisa dekat dengan pak Heri, sampai kalau kita ketahuan sedang
bakar cigarette pun, beliau tidak pernah marah atau menegur.
Maka
kalau pelajaran Bahasa Indonesia datang, anak-anak santai saja, PR atau
tugas yang belum dikerjakan tidak menjadi beban, sebab gurunya tidak
akan marah. Dan itulah akibatnya, guru yang terlalu dekat dengan murid,
serta gaya yang tidak menyakinkan akan susah membentuk persepsi yang
baik. Kasusnya lumayan heboh, waktu itu pak Heri seperti biasa sedang
mengajar dan sesekali berkeliling ke bangku anak-anak untuk memeriksa
tugas, lalu beliau berkata : “Ayo cepat kerjakan tugasnya, jangan sampai
tidak kehabisan waktu!”, tapi dari belakang terdengar ada yang menyahut
: “Tenang aja pak, Sam Soe pak!”. Kelas pun menjadi gaduh dengan tawa,
dan pak Heri tak bisa mengendalikannya. Wibawanya sebagai seorang guru
longsor, dan beliau mencoba marah, tapi kelas tetap ramai. Pembunuhan
karakter yang sempurna, dan itu tidak boleh terulang lagi.
Setelah
pelajaran Bahasa Indonesia selesai, dan pak Heri telah meninggalkan
kelas dengan kepala tertunduk, kelas menjadi sepi, anak-anak menghilang,
hampir semuanya menghambur ke kantin. Sementara saya dan Mamen hanya
duduk saja dipinggir kelas, sebab perut masih kenyang, tadi pagi sudah
dihajar nasi kuning ceu Emay. Langit cerah, sesekali rombongan awan
kecil berarak melintas. Dahan-dahan pohon rambutan yang berada di luar
pagar sekolah bergoyang manja, ditiup angin siang dari barat. Sambil
ngobrol kami tak berani membakar cigarette, sebab ini hanya jam
istirahat, guru-guru masih mengusai sekolah. Awalnya perbincangan
berjalan tenang dan lancar, kami membicarakan masalah agama dan
humor-humor segar Abu Nawas. Tapi si Mamen ini kadang-kadang menjadi
kurang ajar betul, waktu saya bilang :
“Men, mun ku urang
diperhatikeun, ternyata jelema nu awakna leutik teh lolobana mah pinter.
Contona jiga Habibie, geus sabaraha taun manehna jadi Menristek, terus
manehna oge kan lulusan Jerman, malahan mah lulusna oge Cum Laude alias
exelent. Tong jauh-jauh ieu mah, di kelas urang we, pan nu pang
pinterna kan si Fikri, sarua si eta ge awakna leutik”.
“Ah, tapi
teu kabeh Pes, eta si Abank jeung si Rano kurang kumaha leutik awakna,
pan rankingna mah ancur-ancuran. Tempo we ku maneh raportna, meni hese
manggihan angka tujuh teh, komo dalapan mah hese pisan, da ampir kabeh
nilaina genep.”
“Ulah kitu sia teh bel ka babaturan!”, saya mencoba sengit.
“Da
kanyataanna kitu atuh. Persis jiga kasus kacamata. Ceuk batur ceunah nu
dikacamata teh lolobana mah cerdas. Ah, tapi ceuk urang mah henteu”,
gelagat kurang baik mulai tercium.
“Saha contona?”, saya mencoba bersikap dingin.
“Piraku
teu apal si Adit, kurang kumaha kandelna kacamata si eta, mun
dibeubeutken oge moal peupes saking ku kandel, tapi pan si eta oge
sarua, sabelas-dua belas jeung si Abank, rankingna ampun-ampunan”, penuh
semangat dia menjelaskan, dan Alhamdulilah dia tidak menyerang saya.
Tapi tidak lama, dia bicara lagi.
“Aya keneh Pes conto nu lainna,
lain si Adit hungkul”, dia terlihat seperti tersenyum, senyum yang
ditahankan dan menyebalkan. Saya mulai tak enak hati. Dia kembali
meneruskan.
“Babaturan urang oge aya nu sarua jiga si Adit.
Manehna urang Jampang, teuing Jampang belah mana, pokona mah negara
hieum weh. Ari beungeutna mah jiga seorang Aristokrat euy, teu jauhlah
jeung Kak Seto, tapi ampun pisan, raportna parah, Bahasa Inggris meunang
lima, sesana dikuasai ku genep jeung tujuh”, sialan betul, dia
membongkar nilai raport saya.
“Jurig siah, geus ah, ulah ngabahas nu kitu, mending urang meuli jus mangga, haus yeuh, yu ah!”, saya mengakhiri olok-oloknya.
“Siaplah, tapi urang euweuh duit leutik yeuh, garede kabeh, sagede-gede panto.”
“Geus kalem, loba duit mah.”
Kami
lalu ke kantin, pesan jus mangga dua gelas.Sementara anak-anak mulai
masuk kelas lagi, sebab bel sudah berbunyi, artinya istirahat sudah
selesai. Saya buru-buru menghabiskan jus, sebab tak enak kalau
terlambat, apalagi pelajaran selanjutnya adalah PPKn, pelajaran yang
beraroma moral dan tingkah laku. Tapi apa boleh buat, si Mamen bilang
tak usah buru-buru, santai saja katanya, sebab pak Eko, guru PPKn itu,
masih kata dia, adalah guru paling baik se-Kodya Sukabumi, beliau tak
pernah marah. Begitulah akhirnya, kami sengaja masuk terlambat, dan
bukan karena keinginan saya, tapi si Mamen yang menjerumuskan saya,
kalau diartikan ke dalam bahasa Belanda, kurang lebih : kabawa
sakaba-kaba.
PPKn sudah berlalu setengah jam, waktu kami dengan
sedikit malas akhirnya masuk kelas. Kali ini lagi-lagi saya menjadi
korban. Saya disuruh masuk kelas duluan dan membuat alasan yang mantap.
“Beungeut ente lebih bisa dipercaya daripada urang”, begitu katanya.
Lalu, setelah saya menemukan alasan yang mantap, berjalanlah kami ke
kelas, dan mengetuk pintu sambil mengucap “sepadaaa!”, tapi kurang keras
jadi tidak terdengar oleh pak Eko. Saya ganti ucapannya menjadi
“Assalamu’alaikum”, lalu perlahan membuka pintu. Waktu kepala saya
nongol dari balik pintu, pak Eko bertanya :
“Wa’alaikumussalam, dari mana saja kalian kok bisa terlambat?,” suaranya tenang dan empuk.
“Maaf pak, tadi habis dari perpustakaan. Keasyikan membaca buku jadi
lupa waktu, pas lihat jam, tahu-tahu waktu istirahat sudah habis,” jawab
saya tak kalah tenang dan tak grogi sedikit pun. Si Mamen hanya
manggut-manggut saja di belakang, mukanya dikondisikan seperti seorang
kutu buku. Mungkin karena saya memakai kacamata dan sudah minus satu
koma lima, maka pak Eko bisa yakin bahwa saya seolah-olah seorang kutu
buku, seorang pemuda harapan bangsa yang banyak bergaul dengan buku,
dengan tumpukan kertas yang bisa membuka jendela dunia. Tentu saja
anak-anak 100% tidak percaya, maka dengarlah suara mereka :
“Huuuuuhh, maca buku ti Hongkong, paling oge ti ceu Emay geus
ngaroko!!”, tapi pak Eko tak terpengaruh, karena beliau tidak mau
suudzon kepada siapa pun, termasuk kepada muridnya.
“Ya sudah, cepat duduk”
“Terimakasih pak”. Betul kata si Mamen, pak Eko memang guru yang paling
baik se-Kodya Sukabumi. Tak ada sedikit pun kecurigaan dari garis
wajahnya, tak ada syak wasangka sedikit pun, padahal kami telah
berbohong. Wajahnya betul-betul jernih, penuh dengan gurat prasangka
baik.
***
Pasukan Berani Main
Sepertinya tak ada
satu kelas pun yang dapat melebihi kelas 1-6 dalam hal bermain. Tiap
hari main. Tiap hari jalan-jalan tidak jelas. Pulang sekolah tidak
pernah dipusingkan dengan PR ataupun tugas, semuanya bisa dibereskan
pagi hari waktu serangan fajar : mencontek para pendekar kelas. Tentu
ini hanya berlaku bagi gerombolan Troble Maker saja, sebab sisanya
adalah tunas-tunas bangsa yang rajin dan berdedikasi penuh kepada
pelajaran, dan sebagian anak-anak tanggung : anak-anak yang punya dunia
sendiri, abu-abu, gradasi antara suka bermain dan rajin belajar.
Seperti
pada hari Senin itu, ketika bel pulang sekolah berbunyi, seperti biasa
para marginal tidak langsung pulang, melainkan duduk-duduk santai di
pinggir kelas. Cuaca sedang bagus, sebuah pesawat supersonic terbang
jauh di langit, asap putihnya membentuk garis lurus. Dua layang-layang
terbang rendah, saling menyerang dan membelit, lalu salah satu putus
sebab gelasannya telah rapuh, terdengar suara bocah bersorak di luar
tembok sekolah. Si Abank berniat mau mengejar layangan putus itu, tapi
diingatkan oleh bung Sapto, bahwa beliau bukan seorang anak kecil lagi,
meskipun posturnya demikian. Hari itu tak ada jadwal, acara makan-makan
baru sabtu kemarin diadakan di rumah bung Herlan di Ciaul. Tapi
anak-anak tak putus asa, setiap pulang sekolah pasti akan keluyuran
dulu, dan siang itu akhirnya diputuskan untuk pulang lewat ke
Nanggeleng, lewat sawah, meskipun tetap belum ada rencana acara yang
pasti. Anak-anak membelah gedong panjang, beberapa rumah dilewati, lalu
masuk ke area pesawahan dan berjalan menyusuri setapak sawah, atau kalau
ditranslatekan ke dalam Bahasa Prancis artinya : galengan.
Namanya
juga sawah, tentu ada saja makhluk-makhluk kecil yang berkeliaran macam
kodok, bancet kole, ulat, atau pun ular. Kawan juga tentu tahu, bahwa
tekstur tubuh hewan-hewan itu semuanya menggelikan, sehingga banyak
orang yang segan memegang atau bertemu dengan mereka, seperti kawan saya
: bung Sapto. Dia paling geli dengan kodok, apalagi kodok hijau, dan
saya yakin dia tak pernah sekalipun menyantap swike di warung-warung
yang berjajar sepanjang Astana Anyar, Bandung. Hal ini tentu sangat
dirahasiahan oleh bung Sapto agar jangan sampai ketahuan anak-anak,
sebab kala bocor akibatnya bisa gawat, dia sadar anak-anak punya bakat
jahil yang mumpuni. Tapi seperti halnya perselingkuhan para artis,
rahasia yang dijaga rapat itu akhirnya bocor juga, si Culonk
penyebabnya.
Karena setapak sawah itu lebarnya hanya cukup untuk
satu orang, maka mau tak mau berjalan pun harus berjajar ke belakang,
harus antri seperti di ATM, laku orang-orang Baduy Dalam. Yang berjalan
paling depan adalah bung Herlan, tubuhnya tinggi besar seperti pohon
asem di depan kelurahan, sehingga dia tak mungkin untuk disalip, sebab
kalau coba-coba berani, dipastikan tubuh si penyalip itu akan
terpelanting ke sawah yang berlumpur. Di belakangnya berdiri bung Mamen,
lalu bung Sapto, Culonk, Abank, Jump Punk, Rano, Haris Babat, Rizqa,
Yogi Bamay, dan bung Ryan Irung. Barisan itu kalau dilihat dari jauh,
kira-kira dari jarak 30 meter, tak jauh beda dengan barisan “ABRI Masuk
Desa”, begitu rapi dan teratur. Tapi bagaimana pun rapinya barisan,
insting dan sinyal bercanda tetap kencang, tak berkurang sedikit pun.
Dan lihatlah siapa yang menghentikan langkah barisan itu?.
Culonk
yang posisinya berada di urutan ke empat tiba-tiba jongkok, dan
menghentikan barisannya di belakang. Ketika barisan mau protes, dia
langsung membungkamnya dengan menyimpan telunjuk di bibirnya yang
sengaja dimonyongkan. Sementara tiga orang yang berjalan di depannya
terus melaju : Herlan Balon, Mamen, dan Sapto tak tahu dengan konspirasi
yang sedang disusun di belakang. Culonk kemudian menangkap seekor kodok
yang sedang meloncat-loncat pelan di dekatnya. Lalu dengan gerakan
cepat dia berlari mengejar bung Sapto dan melemparkan kodok itu ke
tubuhnya. Dengan spontan Bung Sapto berlari menjauh sambil teriak :
“Wadaw… Umiii tuluuung..!!!”, dia blingsatan berlari ketakutan. Tapi
Culonk langsung berteriak : “Men, jagaan tah si Sapto, tong sina leupas,
urang bere bangkong !!”, bung Mamen langsung sigap, dengan di bantu
Herlan Balon, mereka menghang-halangi jalan, mencoba menghambat laju
bung Sapto. Sementara korban mulai kebingungan, di belakang si Culonk
mengejarnya dengan kodok di tangan, dan di depan sudah berdiri dua orang
sekutunya. Tiba-tiba Sapto balik kanan, dia mencoba mencari jalan
alternatif, tapi mana ada jalan alternatif. Di sebelah kiri : sawah
dengan lumpur yang kental seperti coklat yang dipanaskan. Dan di sebelah
kanan : kolam ikan yang airnya hijau, juga banyak dihuni oleh kodok dan
bancet kole.
Dia semakin gugup dan kebingungan, sementara si
Culonk sudah semakin mendekatinya. Para sekutu kurang ajar pun semakin
menyeringai menghalangi jalan. Dia semakin terjepit, satu meter lagi
Culonk akan sampai dan pasti akan menghujaninya dengan kodok, di depan
tak bisa di tembus karena bung Herlan berdiri tegap mirip Giant musuhnya
Nobita. Culonk akhirnya berhasil melemparkan kodok untuk kedua kalinya,
kodok meluncur deras menuju muka bung Sapto. Korban berusaha menghindar
dengan loncat ke kanan, sebuah loncatan yang benar-benar manja, dan :
“gejeburrrr…!!!”. Sapto mendarat di kolam ikan yang airnya hijau pekat,
kepalanya menghilang di balik air, gelembung udara terlihat menyembul ke
permukaan, tanda nafasnya masih ada. Beberapa detik kemudian kepalanya
muncul, dia batuk-batuk karena air kolam menyerang rongga mulut dan
hidungnya, istilah kerennya : kabesekan.
Anak-anak ramai sekali,
tertawa dan bersorak, persis seperti pasukan gerilyawan yang telah
berhasil memukul mundur musuh. Tubuh saya menggigil karena tawa, dan
sambil memegang perut sempat juga saya lihat : bung Sapto merangkak
terseok-seok menaiki tebing kolam yang licin, pakaiannya kuyup dan
kotor, mukanya mengundang iba, dan tragisnya tak ada seorang pun yang
membantunya terbebas dari kolam busuk itu. Dan di sinilah salah satu
keajaiban bung Bajuri : setelah berhasil naik, dia pun ikut tertawa,
tidak ada sedikit pun dendam, dan penyakit hati lainnya, seolah-olah dia
sudah kenyang dengan pengalaman hidup dan sudah lama bergaul dengan Aa
Gym. Sebagai bentuk permintaan maaf, anak-anak akhirnya mengantarkan dia
sampai ke rumah. Sepanjang jalan bocah-bocah SD menertawakannya, untung
saja mereka tidak mengaraknya bagai perlakuan kepada orang gila.
Sampai
di rumah, para marginal malah dijamu makan siang. Ibunya tak tahu kalau
anaknya adalah korban kejahatan para begundal. Beliau menyangka bung
Sapto terjatuh karena dikejar anjing galak. Demikianlah, setelah puas
mendzolimi putranya, kami bersantap siang sampai kenyang. Dan pasukan
berani main terus beraksi…
***
Paling tak enak punya nama
pasaran. Waktu pagi-pagi sekali melihat hasil UMPTN di koran Pikiran
Rakyat, begitu banyak yang bernama Irfan, tapi tak satu pun yang angka
registrasinya cocok dengan angka saya : gagal total, Universitas negeri
hanya impian. Lalu test di POLBAN dan PNJ : gagal juga, akhirnya pulang
kampung sebagai seorang pecundang.
Nama adalah do’a, begitu kata
guru ngaji saya di kampung. Dan saya menemukan begitu banyak nama
samaran alias nick name yang sepertinya menempel lekat dengan nama
aslinya. Contohnya nama Abank selalu melekat pada seorang Putra Bayu
Satria Surbakti. Begitu juga dengan nama pasaran, di kelas 1-6 ada
beberapa nama kembar yang terkadang sedikit membingungkan guru. Ada
Indri Arieska dan Indri Tresnawati, Sri dan Sri (dua-duanya saya lupa
nama panjangnya), dan sialan betul, ternyata nama Irfan pun ada dua :
Irfan Teguh Pribadi dan Irvan Sapari. Tapi sebenarnya kalau kalian jeli,
nama saya itu tidak kembar, tidak sama dengan bung Sapari. Nama saya
Irfan, memakai “f” untuk kata “fanta”, sedangkan bung Sapari, nama
depannya adalah Irvan, memakai “v” untuk kata “victory”. Tentu yang
paling membedakan antara saya dengan bung Sapari adalah pada sepatu.
Beliau sering memakai sepatu pantovel, atau yang berbau semi militer,
sebab beliau adalah anggota Paskibra SMANSA. Sedangkan sepatu saya, jauh
lebih keren, keren bukan buatan, kawan pun tentu belum lupa, sepatunya
bintang NBA : John Stockton.
***
Bintang Lima (Sebuah Sisi Melankolik)
Rahman
Sidik alias mamen, boleh saja mengklaim namanya menjadi Mamen Durst,
meniru vokalis Limp bizkit : Fred Durst. Sama halnya dengan Herlan
Balon, boleh saja dia menyukai Helloween, tapi di kamar kedua-duanya
tetap saja bisa ditemukan kaset Dewa tanpa 19, album “Bintang Lima”.
setelah mengeluarkan album “Pandawa Lima”, Dewa 19 kemudian pecah,
personil yang tersisa hanya Dhani Ahmad dan Andra Ramadhan, sisanya
keluar : Erwin Prasetya, Ari Lasso, dan Wong Aksan. Setelah lama vakum,
kemudian muncul lagi dengan album Bintang Lima, dan tambahan dua
personil baru : Tyo Nugros dan Elfonda Mekel aka Once.
Saya
masih ingat, selain Mamen dan Herlan, Yogi Bamay pun ternyata menyukai
album ini. Dia katanya paling suka yang lagu “Dua Sejoli”, saya faham
waktu itu, kenapa bung Yogi suka banget sama lagu yang itu, alasannya
sudah jelas, tapi saya diam saja tak banyak cakap. Maka setiap kali saya
main ke rumah mereka, suara Once sering terdengar. Maka ada suatu masa,
ketika Ciaul, Nyomplong, dan Kebon Cau dikuasai nada-nada melankolik.
Sementara saya sendiri tak bisa menikmatinya di An Nuur, sebab lagu yang
begitu sangat dilarang. Penghuni mesjid hanya boleh mendengarkan
murotal Al Qur’an dan Nasyid. Meskipun begitu, tapi saya masih ingat
lirik yang ini, tapi judul lagunya entah apa, saya lupa lagi :
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku,
meski kau tak cinta kepadaku.
Beri sedikit waktu, biar cinta datang
karena telah terbiasa.
***
“Dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya
Dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya
Dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya.”
(Sapardi Djoko Damono)
***
Mungkin
hanya anak-anak 1-6 yang memanggil guru dengan panggilan “Paman”.
Sebuah panggilan manis yang seolah-olah antara murid dan gurunya
mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, padahal tidak ada sedikit
pun. Waktu itu Word, Excel, Powerpoint, dan kafilah Ms. Office yang lain
belum kami kenal. Monitor komputer terlihat hitam bagai jelaga, sebab
kami hanya belajar DOS. Kalau mau mengetik, baru datang program yang
lain bernama WS, yang ribetnya minta ampun, semuanya menggunakan
keyboard, sehingga harus hapal semua tombol dan fungsinya yang tidak
sedikit. Dan guru mata pelajaran berbau teknologi itu bernama Samsizar.
Nah, karena bernama demikian, maka anak-anak memanggilnya Paman Sam,
beberapa orang memanggilnya Uncle Sam, persis seperti keponakan bebek
memanggil Paman Gober yang kaya raya.
***
Hari ke (6)
Lain
komputer, lain pula Akuntansi. Guru yang sering menerangkan tentang
jurnal ini bergaya sok klasik dengan vespa yang ga unik-unik amat, biasa
banget, standar PNS dekade 90-an akhir. Rambutnya keriting merekat,
tapi akan lebih renyah kalau gaya rambutnya itu kita sebut saja : galing
muntang. Namanya akan mengundang simpati para bobotoh Persib Maung
Bandung sa alam dunya, karena namanya persis dengan nama sang legenda :
Adjat Sudrajat. Tapi bagi kami, anak-anak 1-6, bukan hal-hal seperti itu
yang membuat dia agak terkenal, dongkol sih sebenarnya, yaitu waktu
beliau menyuruh kami membersihkan kelas 1-8, sebuah kelas di mana beliau
menjadi wali kelasnya. Selain itu beliau juga punya beberapa kosa-kata
baru yang dimaksudkan untuk melucu, padahal mah biasa saja. Ya, kosa
kata macam : dicaram teuas, getih luhur, dan begieu. Tentu maksudnya
adalah : dilarang keras, darah tinggi, dan begini.
Lalu kenapa
kami sampai dihukum dengan pekerjaan seperti seorang pembantu rumah
tangga?. Jadi begini, siapa pun pasti tidak akan semangat untuk belajar
kalau materi yang diterangkan susah dimengerti, anak-anak rajin yang
memaksakan diri untuk belajar hanyalah pura-pura semangat, agar bapak
guru tidak merasa kecewa. Mereka memang anak-anak penuh perasaan,
toleransi, tenggang rasa, tepa salira, rajin menabung, tidak sombong,
minum susu dan cuci kaki sebelum tidur. Intinya, mereka adalah kelompok
anak-anak yang tidak akan mengancam IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS (ini singkatan
apa sih, kok panjang banget, udah disingkat tetep aja panjang!).
Tapi
kali ini, mereka menyerah. Pelajaran Akuntansi, yang sebenarnya tidak
terlalu banyak menghitung seperti Fisika dan Matematika, benar-benar
membuat mereka bosan dan jenuh. Jangan tanya para gerombolan marginal,
pelajaran baru berjalan sepuluh menit, mereka sudah TKO : banyak yang
menguap dengan mata berair karena ngantuk yang dahsyat, beberapa orang
mulai melamun, pikirannya sengaja dibawa mengembara jauh meninggalkan
pak Adjat (jangan lupa untuk selalu menyertakan huruf “d”, sebelum huruf
“j”, seperti pada kata “djarum”. Harap maklum beliau kan orang lama,
ejaannya belum disempurnakan oleh J.S. Badudu). Sementara di depan, pak
Adjat masih semangat menerangkat tentang aset, kas, utang, piutang,
biaya tetap, biaya variabel, dan lain-lain.
Setelah melihat,
mendengar, dan merasakan fakta seperti ini, maka pada sebuah siang yang
garang, ketika jadwal sudah berputar kembali ke pelajaran Akuntansi,
waktu angin barat bertiup kencang mencumbu pohon katapang dan pohon
pisang di pinggir kelas, maka semua anak-anak kelas 1-6 desersi dari
kelas alias kabur alias melarikan diri alias hoream untuk belajar
Akuntansi (bukan meniru tersangka teroris jika banyak aliasnya). Dan pak
Adjat yang memang datangnya agak terlambat, akhirnya hanya mendapati
kelas yang kosong, kelas yang sunyi bagai orang sedang merenung, pak
Adjat kalah WO. Amarahnya beliau tabung untuk pertemuan selanjutnya.
Dan
hari pembalasan pun tiba. Sebelum anak-anak kabur lagi, pak Adjat sudah
berdiri menyeramkan di depan kelas. Tanpa basa basi busuk, beliau
langsung berucap : “mau hukuman apa kalian?!”, kelas sunyi tak ada satu
orang pun yang menjawab. “Suruh siapa minggu kemarin pada kabur?!”,
lagi-lagi beliau melepaskan pertanyaan bernada tekanan. “Ryan, coba kamu
jawab !!”, sontak bung Ryan Irung kaget bukan kepalang. Dengan
terbata-bata dia pun terpaksa menjawab : “nggak ada pak, saya seksi
keamanannya”, dia mencoba membela diri dengan membawa-bawa jabatan
satpam ,yang sebenarnya di kelas 1-6 tidak pernah ada jabatan formal
seperti itu. “Justru seksi keamanannya yang harus paling
bertanggungjawab!!”, kali ini bung Ryan Irung tak berkata lagi, kelas
semakin sunyi. Dan vonis pun dijatuhkan : semua warga kelurahan 1-6
wajib mengepel kelas 1-8, hukumnya fardu ain !!.
***
ABSEN :
Saya
yakin, dulu waktu naik ke kelas dua, waktu warga 1-6 pecah karena
dipisahkan oleh kelas baru yang berbeda-beda, tak ada satu orang pun
yang dengan sengaja mem-foto copy absen kelas yang biasa tergeletak di
meja guru. Lagi pula buat apa repot-repot harus mem-foto copy?, kaya ga
ada kerjaan aja. Tapi kalau pada sebuah waktu yang bagus, misalnya saja
saya ikut kuis “Who want to be a milionare”, dan Tantowi Yahya
melemparkan sebuah pertanyaan aneh bagaimana?. Pertanyaanya itu adalah :
“Sekitar tahun 1998-1999, di SMA Negeri 1 Sukabumi terdapat
sebuah kelas yang bernama kelas 1-6. Nama wali kelasnya ada bu Zakiah
Asma Yunita. Dari puluhan murid yang menghuni kelas tersebut, terdapat
seorang siswa yang bernama Yogi Aldila Karmana. Pertanyaannya adalah :
di manakah siswa itu bersekolah waktu SMP?
a. SMP Negeri 2 Sukabumi
b. SMP Negeri 3 Sukabumi
c. SMP Negeri 4 Sukabumi
d. SMP Negeri 5 Sukabumi
Pilihan
bantuan tinggal Call the friend, karena bantuan Fifty-fifty dan Ask the
audience sudah dipakai. Nah, dalam kondisi seperti itulah saya
betul-betul butuh bantuan bung Yogi Bamay, atau kawan-kawan yang lain
sesama warga 1-6 yang mungkin tahu jawaban tersebut. Tapi kalau tidak
tahu nomor teleponnya, dan bahkan lupa lagi nama anak-anak 1-6, saya
harus nelpon siapa lagi?. Untuk mengantisipasi kondisi seperti inilah
akhirnya saya mencoba mengabsen kelas 1-6 (jangan lupa harus berurutan
sesuai alfabet, yang tidak terabsen dan yang namanya kurang lengkap ;
wayahna, suruh siapa namanya susah diingat) :
1. Amie Amalia - (Alumni SMP Begég)
2. Andri - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
3. Anton - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
4. Ari Saptono - (Alumni SMP 9 : sekolahnya kumuh dekat pasar Pelita)
5. Deliana - (Entah alumni mana, lupa lagi, yang jelas pernah sekolah di SMP)
6. Dian Heryanto - (Alumni SMP 1 Sukabumi, rumahnya di Kabupaten)
7. Dinar Lestari - (Sama seperti Deliana)
8. Dita - (Sama seperti Dinar Lestari)
9. Esti - (Kalau ga salah orang Surade : salah satu negara hieum)
10. Fauziah - (Pindah ke Bogor pada caturwulan 2)
11. Fikri Muhammad Abdul Wahab - (Alumni Darul Arqom, Garut)
12. Haris Ahmad Basuki - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
13. Herlan Zaelani - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
14. Ina - (Sama sperti Dita)
15. Indri Arieska - (Sama seperti Ina)
16. Indri Tresnawati - (Sama seperti Indri Arieska)
17. Irfan Teguh Pribadi - (Moal dibeja-beja ah, bisi comel)
18. Irvan Sapari - (Alumni SMP 2)
19. Lisna - (Sama seperti Indri Tresnawati)
20. Lusi - (Sama seperti Lisna)
21. Mira Dianti Rachman - (Kalau ga salah orang Sagaranten)
22. Neng Anita Rosita - (Alumni YASTI, Cisaat)
23. Putra Bayu Satria Surbakti - (Alumni SMP 1Sukabumi)
24. Rahman Sidik - (Alumni SMP 1 Sukabumi)
25. Rano Rafiudin Al Mubarok - (Alumni SMP An Nuur, Kebonjati-Sukabumi)
26. Rizqa Ahmad Yunus - (Alumni SMP 2 Sukabumi)
27. Ronald Kaunang - (Kalau ga salah alumni SMP Sukaraja)
28. Ryan Firmansyah - (Alumni SMP 6 Sukabumi)
29. Siska Ambarsari - (Sama seperti Lusi)
30. Sri 1 - (Sama seperti Siska Ambarsari)
31. Sri 2 - (Sama seperti Sri 1)
32. Suci Marisa - (Alumni Begég)
33. Syukron Soleh - (Alumni SMP 5 Sukabumi)
34. Vianti Nuruldini - (Sama seperti Sri 2)
35. Yogi Aldila Karmana - (Jawaban yang benar ada pada Tantowi Yahya)
Aduh, hampura Dit, ente teu katulis. Hampura pisan euy pak Guru!.
***
Diucapkan atau pun dituliskan, kata-kata tetap saja punya daya gores
yang kuat. Dia tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan ketajamannya.
Apalagi kalau dia dilepaskan di ruang sosial, tempat bersemayamnya
lalu-lintas komunikasi, resikonya pasti selalu mengancam. Tak mustahil
banyak telaga darah yang merasa tersinggung, atau pun merasa dilecehkan.
Kita dilahirkan berbeda, dan ritus perkawanan hanya berfungsi sebatas
mendekatkan yang berbeda itu, lainnya tidak.
Waktu terus
mengulang dirinya setepat-tepatnya dan selama-lamanya. Ramadhan sudah
menunggu di depan, dia tentu tidak akan pernah menolak, ketika banyak
pribadi menitipkan ruhaninya untuk diisi ulang, dia menerima siapa saja
yang mau bermetamorfosis. Inilah waktu yang tepat bagi Part 1 - Part 4,5
untuk merunduk meminta maaf, atas hamburan kata-kata yang mungkin tidak
berkenan.
Perjamuan itu sebentar lagi akan datang, siapa yang
bisa menjamin kita bisa sampai ke Ramadhan tahun ini?, tidak ada.
Selamat menyambut perjamuan sejati.
"Aku hilang bentuk, remuk
Aku mengembara di negeri asing
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling". (Ch. Anwar)
***
Hujan. Di luar terdengar suara merdu : air dan bumi beradu. Dari balik
kaca jendela yang berembun, terlihat samar air jatuh di daun pohon
jambu, di tiang listrik yang kedinginan, di rangka layang-layang yang
tersangkut kabel telephon, di atap rumah tetangga, di kubah mesjid yang
menyembul di kejauhan, dan di pucuk pohon belimbing. Beberapa burung
kecil melayang di udara, gerakannya merobek pemandangan langit yang
pucat. Sementara suara hujan terdengar menghantam sendal jepit dan
sepeda tua yang disimpan di pekarangan rumah, riciknya terdengar jelas
mengalir di selokan kecil dekat kebun belakang. Siapa pun pernah punya
waktu seperti itu, pernah merasa bahwa hujan menyapanya dengan mesra.
Dan kalau senja perlahan dijemput malam, dan malam pun semakin beranjak
mengundang dingin, sementara di luar hujan belum juga berhenti, maka
saya akan memilih jalan seperti ini : lampu kamar dimatikan, selimut
dirapatkan, jendela dipastikan terkunci, dan menyuruh The Corrs
bernyanyi…
…Heaven knows no frontiers
And I’ve seen heaven in your eyes…
***
Hari ke (7)
Hujan.
1998. Bulan sedang November. Saya jongkok dipinggir kelas, di
kiri-kanan, anak-anak pun ikut-ikutan, berjajar seperti anak itik
kedinginan. Hawa dingin sudah dari tadi menyerang, perut pun mulai
berulah, dia minta jalan-jalan ke kantin. Sementara payung terbatas, itu
pun dikuasai kaum hawa, tapi bukan hawa nafsu, melainkan anak-anak
perempuan. Yang tidak bisa menahan lapar dan tak punya payung, terpaksa
lari hujan-hujanan demi mencapai garis finish di warung ceu Emay atau
warung tukang bubur. Hawa dingin mengambang di udara. Pohon lengkeng
yang berada di luar tembok sekolah terlihat bagai ogoh-ogoh yang sedang
bersedih. Saya merenung dan tidak ke kantin, tapi bukan karena saya tak
punya uang, kantong masih tebal saudara-saudara, baru dua hari balik
dari kampung mengambil subsidi bulanan. Saya tengah membayangkan, akan
menjadi apa saya sepuluh tahun yang akan datang?.
Semenjak lahir
sampai merenung di pinggir kelas itu, saya tidak pernah punya
cita-cita. Waktu kecil saya bukan tipe bocah seperti di iklan suplemen
anak yang punya cita-cita standar, harapan banyak orangtua : menjadi
dokter, pilot, polisi, arsitek, tentara, pengacara, ataupun pejabat plat
merah di departemen sarang tikus. Kalau ditanya guru mengenai
cita-cita, biasanya saya menggelengkan kepala, selebihnya diam. Tapi
sebenarnya saya sering punya harapan yang lebih hebat dan lebih romantis
:
• Kalau musim layangan tiba, saya ingin siang lebih lama,
ingin seperti di beberapa negara Eropa yang punya waktu siang lebih dari
12 jam, biar ibu tak menyuruh pulang walaupun sudah jam 20.00, karena
cahaya matahari masih bersinar terang. Terlebih karena masih banyak
layangan musuh yang harus saya kalahkan, dan itu sangat seru (Adu
layangan di film “The Kite Runner” mah lewat, kagak ada apa-apanya)
•
Ingin punya teropong hebat dengan jarak pandang seperti yang digunakan
TNI, biar bisa melihat laut lebih jelas di arah selatan : Ujung Genteng
dan Samudera Hindia.
• Setiap kali bulan puasa, saya paling tidak
bisa menahan haus, apalagi sehabis main layangan di tanah lapang.
Sempat suatu kali saya lupa : haus sudah mencekik kerongkongan, sembilan
layangan musuh sudah saya bantai, matahari garang di atas ubun-ubun.
Saya pulang ke rumah, dan meluncuk ke dapur, lalu “glek..glek..glekk..”,
dua gelas air bening nan dingin mengalis deras membasahi kerongkongan
yang kemarau. Lima detik kemudian : “Astaghfirullah!!”, saya baru ingat,
bahwa saya sedang puasa. Tapi syukurlah, tak lama setelah itu ibu
memberi tahu, bahwa makan dan minum karena lupa tidak membatalkan puasa.
Maka waktu kecil saya pun sering berharap agar lupa sedang puasa dari
terbit fajar sampai terbenam matahari : kenyang, dapat pahala, dan bonus
baju lebaran dua potong, mantap kali genk!!.
Begitu
menakjubkannya misteri waktu, saya tidak tahu sedikit pun akan menjadi
apa saya sepuluh tahun kemudian. Memang rencana jangka panjang dapat
memberikan peta atau gambaran samar mengenai masadepan itu, tapi tak
dapat sedikit pun mendahului nasib. Semua harus diidentifikasi,
dipersiapkan, dijalankan, dan dievaluasi. Dalam kontek seperti ini hidup
adalah pembelajaran tiada akhir, tapi pada perjalanannya pasti selalu
digoda oleh amnesia akut yang pada akhirnya menyeret kita pada kondisi
yang sering kita sebut “tidak ideal”. Tapi asli, waktu saya merenung di
depan kelas waktu hujan itu, saya tidak berpikir sedikit pun tentang
teori hidup, yang saya pikirkan adalah :
1. Saya ingin
jalan-jalan ke Belanda. Ingin tahu seperti apa sih negaranya Marco van
Basten itu?, sampai bisa melahirkan banyak betul para jempolan lapangan
hijau. Menjadi turis tentunya agak riskan, sebab akan banyak
menghamburkan uang, dan itu tidak baik bagi kesehatan financial. Kalau
petanya sih sudah sering saya lihat, sebab di rumah ada atlas dunia yang
lengkap, yang covernya berwarna oranye, yang dibeli bapak waktu saya
masih SD. Tapi sudut-sudut kotanya tidak tahu sama sekali, waktu itu
saya belum kenal dengan internet, jadi tidak bisa mengintip lewat dunia
maya. Lalu saya mencoba membuat “rute perjalanan” untuk sampai ke negara
kincir angin tersebut :
a. Les Bahasa Inggris sampai bisa cas
cis cus, dengan skor TOEFL minimal 550. Kemudian setelah lulus SMA harus
bisa tembus ke Jurusan Hubungan Internasional UI atau UNPAD. Lalu harus
bisa menjadi staff KBRI di Den Haag. Tidak mesti menjadi diplomat,
menjadi tukang administrasi pun gapapa, yang penting bisa sampai ke
Belanda.
b. Kalau tak bisa menjadi staff KBRI, karena mungkin
saingannya seabreg atau kalah saing oleh sindikat KKN, maka harus
mencari beasiswa S2 ke Belanda. Kalaupun tidak bisa kuliah di Belanda,
minimal harus S2 di negara Eropa yang berdekatan dengan Belanda.
c.
Kalau dua rute tersebut tidak bisa terlaksana, terpaksa deh akhirnya
harus jadi backpaker alias turis gembel setelah menabung minimal dua
tahun dari hasil kerja keras di sebuah perusahaan media.
2. Kalau
bukan karena polusi pergaulan dan pengaruh lingkungan, saya tidak akan
pernah berminat sedikit pun untuk ikut-ikutan melamar kerja di bank, di
pabrik motor, di perusahaan gas bumi, dan di departemen sarang tikus
alias menjadi PNS. Meskipun demikian, tapi Alhamdulillah, saya tak
pernah berhasil menembus company-company seperti itu. Waktu saya
merenung di depan kelas, saya malah ingin kerja di sebuah koran
nasional. Ingin menulis kolom seperti Miranda Risang Ayu dan Zaim
Uchrowi, seperti di rubrik Resonansi, di koran Republika langganan
bapak. Atau mengisi rubrik jalan-jalan yang liputannya pasti
menyenangkan. Nah, itulah sebabnya kenapa muncul poin “c” di rute saya
menuju Belanda.
3. Sebelum saya diajar biologi oleh bu Zakiah
Asma Yunita, saya salah satu bocah yang menyukai ilmu tentang makhluk
hidup tersebut. Diam-diam saya ingin mengawinkan pohon durian dengan
rambutan, dan membayangkan hasilnya : buah rambutan sebesar durian yang
akan bikin kenyang hanya dengan melihatnya, atau buah durian sebesar
rambutan alias sekali “hap”, dan tentu menjadi lebih praktis karena bisa
dimasukkan ke dalam tas. Like this kalau itu bisa terwujud. Tapi
keinginan itu harus gulung tikar ketika biologi menjadi pelajaran yang
tidak menyenangkan hanya karena gurunya kurang cakap dalam menerangkan.
4.
Siapa sih managernya The Corrs?. Kira-kira kalau nanti saya sudah jago
bahasa Inggris ada ga ya lowongan kerja untuk jadi managernya The
Corrs?, atau jadi crewnya juga bolehlah. Bayangkan saudara, kalau anda
menjadi manager atau crewnya The Corrs : bekerja sambil sesekali asyik
dengerin musik dari 1 + 3 personilnya yang cantik-cantik (yang paling
cantik drumernya), juga bisa sambil jalan-jalan kalau lagi tour, bisa
sambil melancarkan bahasa Inggris, dan dapat salary pula, mantap kan?!.
(Eh, ngemeng-ngemeng, bung Adri Subono dan kafilah JAVA Musikindo-nya
udah pernah ngedatengin The Corrs belum sih ke Indonesia??). Tapi ini
memang bukan pekerjaan mudah, karena saya yakin iklan loker ini tak akan
pernah dimuat di koran Kompas dan Pikiran Rakyat. Saya harus usaha
ekstra.
“Dueerr”, suara petir membuyarkan lamunan. Anak-anak
perempuan menjerit sok manja, lalu berebut masuk kelas dengan payung
setengah diseret. Saya hanya kaget sedikit. Di sebelah kanan, bung Mamen
juga terlihat sedang melamun, entah membayangkan apa. Hujan turun
semakin deras, jam istirahat sudah habis, tapi pak Nuzwan, guru
matematika pengganti bu Sumi belum juga datang. Saya malah berharap
beliau tidak datang, bukan apa-apa, cuaca kelabu dan dingin begini tidak
cocok untuk bergelut dengan rumus dan angka, lebih baik belajar
geografi dan membahas tentang bentang alam atau lapisan atsmosfer yang
menyelimuti bumi. Tapi akan lebih mantap, kalau tidak ada guru sama
sekali, sebab saya bisa pergi ke warung : pesan kopi dan membakar
cigarette sambil terus membuat rute perjalanan menuju negeri kincir
angin.
Tapi sayang saudara-saudara, pak Nuzwan akhirnya datang
juga. Pak guru yang berstyle Umar Bakri ini muncul dengan langkah yang
kurang meyakinkan dan tas jinjing yang terbuat dari kulit buaya imitasi.
Wajahnya matematika banget, beraroma seorang scientist jempolan, dan
tentu kadang-kadang seperti asyik dengan dunianya sendiri, sebuah dunia
yang jauh tak terjangkau oleh anak-anak marginal yang berjalan terseok
mengejar kecepatan rumus-rumus menyebalkan. Tapi bagi saya tidak terlalu
masalah, selain karena jarang menyuruh mengerjakan soal di depan, juga
jarang menegur anak-anak yang melamun di barisan belakang, maka saya pun
melanjutkan bayangan masadepan yang tadi sempat buyar oleh suara petir
yang datangnya didahului oleh cahaya kilat yang terang benderang. Ya,
karena kecepatan suara lebih lambat daripada kecepatan cahaya. (Jarak
antara Bumi dan planet Pluto kurang lebih 300.000 tahun cahaya. Kebayang
ga lo kalo jarak sejauh itu ditempuh dengan memakai ojek?, minimal
harus memiliki 300 juta pantat cadangan biar ga gempor).
***
Masih
hujan. Matematika telah habis. Kini giliran bahasa Indonesia. Anak-anak
relaks luar biasa. Betapa tidak, pak gurunya jarang sekali menerbitkan
rasa segan. Pelajaran pun tak jauh dari mengisi lembar kosong di LKS :
menjodohkan kalimat, isilah titik-titik dibawah ini, buatlah sebuah
kalimat dengan kata bla.bla.bla, apakah kalimat ini sudah benar?, dan
yang paling tenar adalah pilihan berganda. Semua berputar di sekitar
tata bahasa, tak jauh dari itu. Anak-anak tidak pernah diberi tugas
menulis yang panjang macam esay, kolom, cerpen, bahkan sebuah puisi pun
tidak!!.
Dan saudara, cara pengajaran begini rupanya berlanjut
juga sampai di kelas 2 (agak mendingan karena kelas 2-4 pernah dikasih
tugas membuat sebuah puisi) dan kelas 3. Semuanya kerontang dari sastra
dan kampanye menulis. Anak-anak pun hanya mengenal dua orang tokoh
sastra : Chairil Anwar dan Taufik Ismail (ini pun setelah program “Siswa
Bertanya, Sastrawan Menjawab” yang diadakan oleh majalah sastra Horison
lewat ke Sukabumi, dan diselenggarakan di sebuah gedung di SCAPA POLRI
Bhayangkara). Tujuh tahun kemudian, di roman Bumi Manusia (Bagian
pertama dari Tetralogi Buru), karangan Pramoedya Ananta Toer, hal
312-313, yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, saya dapati penggalan
cerita berikut :
Satu-satunya guru yang tidak berubah tetap
Juffrouw Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda. Dan inilah
kata-katanya waktu untuk pertamakali turun dari Netherland memasuki
ruangan kelas :
“Selamat siang, para siswa H.B.S. Surabaya.
Namaku Magda Peters, guru baru kalian untuk bahasa dan sastra Belanda.
Acungkan tangan barang siapa tidak suka pada sastra.”
Hampir semua mengacungkan tangan. Malah ada yang sengaja berdiri untuk menyatakan antipati.
“Bagus. Terimakasih. Duduklah yang tertib. Suatu masyarakat yang paling
primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di
bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal
baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Apa tidak
hebat kalau siswa H.B.S. paling tidak nyaris sepuluh tahun duduk di
bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan bahasa?. Ya, sungguh
hebat.”
Tak ada yang tertawa dan menertawakan. Sunyi senyap.
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar
kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya
hewan yang pandai. Sebagian terbesar dari kalian belum pernah melihat
Netherland. Aku dilahirkan dan dibesarkan di sana. Jadi aku tahu, setiap
orang Belanda mencintai dan menghormati karya sastra Belanda. Orang
mencintai dan menghormati karya lukis van Gogh, Rembrant, para pelukis
kita dan dunia. Mereka yang tidak mencintai dan menghormati, dan tidak
belajar mencintai dan menghormati dianggap sebagai Belanda yang kurang
adab. Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan
dalam bahasa. Siapa tidak mengerti mengacung.”
Dia telah menggenggam para murid itu dalam tangannya.
***
Setelah
perjalanan panjang, akhirnya tibalah saya di sepuluh tahun ke depan
yang pernah saya bayangkan itu. Ya, akhirnya saya tiba di tahun 2008,
persis di bulan November yang basah, dan mendapati diri sedang membaca
buku di sebuah kost-an yang murung, sunyi, dan kusam. Saya tidak sedang
kerja di KBRI di Belanda, juga tidak sedang kuliah dengan beasiswa di
Eropa, tidak pula sedang kerja di sebuah perusahaan media, dan tidak
menjadi managernya The Corrs. Saya hanya sedang duduk di ruangan 3x3
yang terasa dingin. Angin kencang meniup air hujan sehingga
menampar-nampar kaca jendela kamar di lantai dua. Buku-buku di rak
berdiri tegap seperti sedang memperhatikan saya.
Apa yang
terjadi di sepuluh tahun yang pernah saya bayangkan itu adalah sebuah
keadaan di mana saya sedang membuka-buka koran, mencari kerja dengan
gaya konvensional. Sesekali menulis cerpen dan membakar kretek. Suara
radio terdengar kemerosok, tuningnya minta di putar mencari gelombang
lain. Dua hari yang lalu dari kampung terdengar suara ibu menanyakan
kabar di ujung ponsel. Waktu terus berputar di ujung jam dinding. Saya
melihat langit dari balik jendela. Kabut mengambang di tengah kebun
singkong. Saya membakar kretek terakhir.
***
“When I get older, I will be stronger
They'll call me freedom just like a wavin' flag
And then it goes back, and then it goes back
And then it goes back, oh…”
World
cup 2010 sudah lewat hampir sebulan yang lalu, tapi lagu itu masih saja
menjadi penghuni playlist. Seperti malam itu waktu saya menulis (16)
Days of Bazak – Part 5. Tetangga sebelah ramai menonton tv, tertawa
kekuda-kudaan melihat Opera van Java. Dari suaranya jelas sekali bukan
hanya seorang yang tertawa itu, mungkin tiga atau empat orang.
Konsentrasi sedikit buyar karena terus menerus dihantam tertawa yang
mirip kuda. Ingin rasanya saya keluar kamar dan menghampiri mereka
sambil berkata : “Hai, dilarang berserikat dan berkumpul, tawa kalian
sangat mengganggu!!”, tapi urung saya lakukan, sebab begitulah hidup di
alam sosial, harus pandai menghargai kesenangan orang. Apalagi mereka
tetangga saya, orang-orang yang paling intens berinteraksi dalam
keseharian.
Ms. Word sementara saya tutup, lalu beralih ke
jejaring sosial, dan di Home terlihat si Ivan Beruang bikin status
(Maksud saya beruang, bukan ber-uang yang artinya punya banyak uang
alias kaya, tapi beruang di sini adalah sejenis hewan yang doyan makan
ikan salmon. Kalau tidak mengerti coba buka kamus Inggris-Indonesia,
niscaya akan saudara dapati kata “bear”, nah itulah artinya beruang.
Masih tidak mengerti juga?, silahkan saudara pergi ke toko, tapi jangan
toko besi, dan bilang sama si pelayan : “mbak, beli susu cap beruang”,
pasti saudara dikasih susu dalam kaleng putih yang bergambar hewan. Nah,
itulah beruang yang saya maksud. Kalau tetap tidak mengerti juga : tong
wawuh deui jeung urang. Ampun pisan, cape euy, nepika panjang
nerangkeun nu kieu oge). Apa maksudnya coba dia bikin status macam
begini :
“Eh minta pin kamu dong?, nih pin aku yah..104814..pin atm”
Sebuah
status yang beraroma bagai seorang ababil. Saya lihat ada beberapa
orang yang kasih comment. Tetangga sebelah masih ramai, Opera van Java
berhasil mengeraskan volume suara tertawa mereka. Word belum saya buka
lagi, waktu saya akhirnya kasih comment juga di statusnya :
Uwa :
Kalo
anda ditodong dan disuruh ngeluarin duit dari ATM, maka pijitlah pin
terbalik : misal 2345 menjadi 5432, uang anda tetap akan keluar, dan
langsung akan memberi kode bahaya ke kantor polisi. Jangan lakukan ini
dalam keadaan aman!!
Ivan Bear :
Masalahnya rekening saya kosong gak ada isinya...teu ngaruh. Wa, saya ada rencana mau memindakan ibukota ke Jampang.
Uwa :
Kurang
strategis, soalnya Jampang berbatasan degan Samudera Hindia, tidak ada
satu pulau pun yg melindungi jika suatu saat Australia melancarkan
serangan laut, saya lebih setuju kalo pindahnya ke Eindhoven, kotanya
masih relatif sepi.
Ivan Bear :
Tapi dalam hati kok gak tega
liat ibu kota pindah, kasian bapak kota kalo malem gak ada lawan tarung.
Masa ibu sama bapak pisah ranjang. Wa, minggu ini saya mau ke Jakarta,
ada hajat. Milu entreup yah.
Uwa :
Tidak boleh, cari donk hostel katanya backpaker. Hajat dimana maneh?
Ivan Bear :
Di Kebon Jeruk...teman nikah, sekalian mau nonton Indonesia Idol. Moal molor di sia beul, rek maok buku hungkul.
Uwa :
Sabtu
available, ahad ada pemotretan di Ciledug. Anda bawa buku saya kasih
buku, buku memelihara ikan lele tidak diterima. Tong poho Kartika Sari
rasa keju.
Ivan Bear :
Iya sabtu beurang ke lokasi...soalnya
hajatnya sabtu malam da, udah itu lanjut check in sama cewek. Urang mah
rek mawa awak hungkul lah, repot babawaanna, masa ke hajatan bawa tas.
Uwa :
Susah
memang kalo kedatangan orang kere, banyak betul argumennya. Okelah
siap, kita mabuk kopi ginseng, tapi urang gawe heula setengah poe.
Ivan Bear :
Yah..sabtu gawe...Yahudi pisan eta Miwon. Bolos...bilang ada keluarga mau nikah gitu.
Uwa :
Tidak
bisa, my company bermazhab keong racun. Jam 1 siang baru ada di kostan,
jangan banyak nawar bung, ini bukan tradisional market macam Ciroyom,
geus ah...nanti telp aja, itu pun kalo maneh punya pulsa.
Ivan Bear :
Saya pasca bayar bung ingat, tidak ada kamus habis pulsa...paling di blokir belum bayar tagihan.
Stop.
Saya tinggalkan status si Ivan Bear dan segera log out. Suasana sudah
tidak kondusif untuk meneruskan (16) Days of Bazak Part - 5, lagi pula
mata mulai minta jatah untuk diistirahatkan. Angin kencang bertiup dari
arah apartemen Cempaka Mas dan mencoba masuk ke kamar saya di lantai
dua. Langit sudah dari tadi tidak menampakkan benda-benda yang letaknya
sangat jauh. Jangankan planet Venus, sepotong bulan kelabu pun tidak
ada. Seragam kerja menggantung di luar, dan dia juga minta jatah untuk
dirapikan. Kipas angin yang menggantung di atas terus saja berputar,
seperti seorang jongos yang tunduk setia pada Tuannya. Suara tertawa
kuda mulai reda, berbarengan dengan itu hujan mulai turun membawa rahmat
ke permukaan bumi. “Oh ternyata mau hujan, pantes saja tadi anginnya
kencang.”
Besoknya Part-5 saya upload, padahal belum sepenuhnya
selesai. Sambil mengerjakan job desk harian di depan monitor yang
menerkam penglihatan, dan di tengah suara printer manual yang
merisaukan, saya teruskan sisa Part-5, lalu dikasih nama Part 5,5 (Tapal
Batas). Dan kurang lebih beginilah jadinya cerita yang tertunda itu :
Hari ke (8)
Apa
jadinya kalau pelajaran eksak hanya cukup dengan dihafal saja?, tentu
tidak akan mengerti. Itulah sebabnya kenapa bung Fikri Muhammad sering
terlihat duduk di bangku pojok kanan, di barisan paling depan,
sendirian. Kalau kelas sedang gaduh karena guru tak hadir, maka dia
tidak terlalu berminat untuk ikut-ikutan tumpuk cue, mengobrol, atau
menggoda anak-anak perempuan seperti yang sering dilakukan oleh bung
Culonk dan bung Ryan. Dia konsentrasi penuh, tangan tak mau diam
mencorat-coret buku dengan operasi matematika yang memusingkan. Sesekali
tangannya berhenti, muka menengadah ke atas, tapi bukan sedang melihat
langit-langit kelas. “Inilah dia yang namanya mencari ilham,” begitu
pikir saya waktu melihat gesture aneh itu.
Saya tak berani
mendekatinya, takut pusing. Hanya anak-anak rajin yang menghampiri dia
sambil membawa buku dan pensil 2B Steadler made in Germany. Saya hanya
memperhatikan saja dari jauh, dari bangku paling belakang, di bawah
poster kecil lukisan Pangeran Diponegoro. Mereka yang sedang menikmati
rumus-rumus itu terlihat amat serius dengan air muka cerah, seolah-olah
baru saja menang lotre dengan hanya membeli permen telor cicak. Dari
jarak yang cukup ideal, saya dapat dengan jelas melihat, bagaimana
anak-anak pintar + rajin itu sangat antusias belajar dan berdiskusi
bersama, “Amboi, begini rupanya kalau para pendekar berhitung sedang
berkumpul,” gumam saya pelan sekali. Bung Fikri Muhammad bagai magnet
yang dikelilingi besi, banyak betul yang mengerubunginya.
Lama-lama saya juga penasaran, tapi saya sabar sedikit, menunggu
besi-besi yang mengelilinginya bubar. Setelah dia sendirian, barulah
pelan-pelan saya menghampirinya. “Ehm..ehm..duh rajin pisan euy,” sebuah
pembukaan sederhana saya lempar. “Eh, Pes, biasalah ngalancarkeun,”
memang saudara, orang pintar itu tidak selamanya sombong, beberapa
diantaranya seperti bung Fikri ini, rendah hati dan buku PR-nya sering
menjadi korban anak-anak yang mencontek. “Ngalancarkeun ?, naon maksadna
tah Fik?, naha kadanguna jiga nuju diajar sapedah?,” lihatlah saudara,
nyata betul bahwa saya tidak faham cara belajar sang pendekar berhitung
ini, memalukan. Fikri diam dan menarik nafas sejenak, gesturenya dapat
diterjemahkan : “harus bagaimana saya menerangkannya??!”.
Tapi
tak lama kemudian dia berucap : “Yeuh, Pes, dangukeun. Mun urang diajar
pelajaran eksak alias ilmu berhitung yang saklek, urang ulah ngan saukur
ngapalkeun rumus, tapi kudu rajin berlatih. Kudu daek ngerjakeun
soal-soal latihan nu aya di buku. Ari ku sering mah insyaAlloh kin oge
jadi lancar, komo mun soal-soal nu biasa ku urang dikerjakeun teh heug
kaluar dina ulangan, pan janten rada gampang panginten?,” bukan main
saudara, brilian betul cara belajarnya. Saya hanya manggut-manggut saja
bagai pesakitan di pusat rehabilitasi narkoba. “Nyeta Fik saya mah sok
bentrok ari diajar kitu teh,” ujar saya menimpali keterangannya.
“Bentrok jeung naon?”, tanya Fikri menyambar. Saya diam dulu agak lama,
kemudian : “bentrok jeung hoream,”
…..&*^$%&*^#@$#$$!@@#$$!!^%&*….., ”ah teu baleg ente mah,
nanaon oge ari diadukeun jeung hoream mah pasti eleh atuh!!”.
Saudara,
semenjak dari SD, sudah sering belaka saya mendengar pepatah ini :
“Barang siapa yang berteman dengan tukang minyak wangi, tentu dia akan
kecipratan wanginya. Dan barang siapa berteman dengan pandai besi, dia
juga akan terkena baunya”. Dulu saya percaya seratus prosen dengan
kata-kata itu, tapi pada perjalanannya kepercayaan saya mulai memudar.
Bagaimana tidak saudara, saya dan bung Rano yang berkawan cukup karib
dengan bung Fikri Muhammad, tapi tidak pernah terbawa-bawa menjadi
jagoan kelas. Jangankan masuk sepuluh besar, mempertahankan posisi agar
tidak terjun ke jurang degradasi saja repotnya minta ampun. Padahal
sebenarnya bukan pepatah yang kurang akurat, tapi karena saya dan bung
Rano kurang bersungguh-sungguh dalam belajar.
Baru-baru saya khatam sebuah novel yang hampir menembus angka penjualan
sejuta umat, tak lain dan tak bukan novel tersebut bertitle “Negeri 5
Menara”, karangan Ahmad Fuadi. Saudara pun mungkin sudah baca belaka,
bahwa penulisnya membawa pesan yang cukup bertenaga : “Man Jadda Wajada”
(Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan sukses), ada juga pesan
“Going The Extra Mile” (Melebihkan usaha di atas rata-rata). Nah,
saudara, apa yang terjadi pada bung Fikri ternyata sama belaka dengan
pesan novel tersebut. Bayangkan, dari kelas satu caturwulan 1, sampai
kelas tiga caturwulan 3, dia tak goyah sedikit pun, tetap menjadi jawara
di setiap kelas yang dia tempati. Lalu dengan mulus masuk jurusan
Meteorologi IPB, brilian!!.
Sementara selepas SMA, kondisi saya
begitu menyedihkan : saya terseok-seok, susah betul menembus perguruan
tinggi negeri, sampai harus nganggur dulu satu tahun di kampung, pahit
sekali, itulah balasan bagi orang-orang yang malas!!.
***
Waktu akan membuatku lupa,
tapi yang kutulis akan membantuku mengingatnya.
(Pidibaiq)
***
Hari ke (9)
Seperti
ada yang mau mengabadikan waktu, ketika pada sebuah siang yang teduh
anak-anak berkumpul di belakang kelas, modalnya sederhana, hanya sebuah
kamera manual dengan risiko gambar terbakar sangat tinggi. Padahal waktu
tidak bisa diabadikan, dia hanya bisa diperangkap dalam selembar photo,
itu pun hanya sedikit, sangat sedikit, tidak sebanding dengan
perjalanannya yang panjang dan berliku, menyusuri jenak-jenak kehidupan
setiap yang bernyawa, bahkan yang tidak bernyawa. Dan seperti halnya
selembar photo, sebuah tulisan sesungguhnya tidak bisa mengabadikan
waktu, dia hanya bisa merekamnya dengan terbatas, dengan bantuan
kata-kata yang punya risiko distorsi cerita. Tapi siapa sesungguhnya
sang penguasa waktu?, Dialah yang menciptakan waktu. Manusia hanya bisa
takjub dengan semua misteri waktu. Dalam buku “Einstein’s Dreams” karya
Alan Lightman, seorang Einstein hanya bisa terpesona dengan
kemungkinan-kemungkinan waktu, tapi dia tak bisa mengusainya. Bahkan
dalam sebuah penggalan cerita dia sempat berucap : “Aku ingin mengerti
waktu, karena aku ingin mendekati Tuhan.”
Kalau saja kamu masih
ingat, di siang yang teduh itu anak-anak perempuan berjajar dengan pose
standar, siap untuk diphoto. Sekilas pose mereka mengingatkan kita jauh
ke belakang, kepada penampilan gadis-gadis era 80-an. Bahkan ada
beberapa orang yang rambutnya bergelombang, sangat mirip dengan
photo-photo potongan rambut yang selalu terpajang di salon-salon
sederhana. Sementara anak laki-laki diphoto di depan kelas, posenya
lebih berantakan, seperti ingin menunjukkan bahwa ada perbedaan tegas
antara maskulin dan feminin. Tapi wajahnya nampak masih sangat lugu,
tidak terpancar sedikit pun rona manusia yang penuh dengan energi
bercanda, semuanya memasang muka ceria, bagai anak-anak yang masih dalam
perlindungan kak Seto. Pasti waktu itu hampir semuanya tidak sadar,
bahwa waktu yang berhasil diperangkap oleh kamera, semuanya akan menjadi
cerita yang menggantung di dinding masadepan.
Dari puluhan photo
yang berhasil di cetak, tak ada satu pun guru yang ikut nongkrong di
photo-photo tersebut, beliau-beliau itu bagai trauma dengan kamera, maka
gambar pun dikuasai sepenuhnya oleh murid saja. Terakhir saya
mendapatkannya dari bung Herlan Balon Zaelani yang bermarkas di Ciaul,
waktu itu kerja sedang libur, matahari di langit Sukabumi sedang
bersinar hangat. Sekarang di rumah bung Herlan sudah tersedia scanner,
jadi USB saya yang berkapasitas 2 GB bermerek Kingston dapat dengan
mudah menampung gambar-gambar yang sudah dirubah ke dalam bentuk jpg.
Gambar-gambar itu sebenarnya lebih cocok dipasang di acara Metro Files -
Metro TV, daripada di Facebook.
***
Pasukan Berani Main (Beraksi Kembali)
Setelah
beberapa waktu sebelumnya sukses menceburkan bung Sapto ke kolam kodok
dan bancet kole, kini Pasukan Berani Main (untuk selanjutnya saya tulis
PBM) siap beraksi kembali. Ke mana operasi selanjutnya?. Bel pulang
sudah berbunyi, anak-anak menghambur ke luar kelas, wajah mereka cerah
ceria. Ironis. Di saat anak-anak di belahan Indonesia yang lain, yang
tempatnya lebih terpencil macam Jampangkulon, anak-anak di sana cerah
ceria belaka waktu lonceng masuk berbunyi karena akan segera mendapatkan
berkah ilmu, di sini, di kelas 1-6 mayoritas malah layu ketika guru
pelajaran di jam pertama memasuki kelas. Dan saya pun terseret-seret
pula oleh kondisi seperti ini. Seperti siang itu saya juga menghambur
keluar sambil teriak : “Balik euy !!.” Tapi tiba-tiba ada yang teriak
lebih keras lagi : “Wooii, ulah waka baralik, urang ulin heula!!,” dari
logat suaranya dapat dipastikan yang berteriak itu adalah bung Ryan
Irung. Anak-anak pun kemudian berkumpul di pinggir kelas, menunggu
komando selanjutnya.
PBM sudah berkumpul, hampir lengkap, hanya
minus bung Yogi yang katanya mau mengerjakan PR fisika, dan mas Anton
yang alasannya kurang jelas. Semuanya duduk santai sambil berembuk
menentukan tempat operasi. Tapi setelah setengah jam berlalu, lokasi
yang tepat belum juga disepakati, sementara anak-anak mulai kesal dengan
kondisi ini. Di saat-saat seperti inilah tiba-tiba bung Haris Babat
mengemukakan idenya yang out of the box : jalan-jalan ke Bhayangkara,
melihat hewan-hewan yang dibawa siswa SCAPA dari seluruh Indonesia. Good
idea !!. Sebenarnya kami “Euweuh gawe”, ya, memang euweuh gawe, tapi
kami sangat menikmatinya waktu itu. Beruang madu yang ada di dalam
sangkarnya yang bagus menjadi hewan favorit anak-anak PBM selain burung
elang Jawa yang terlihat gagah, apalagi si Abank, terlihat betul
bagaimana sesungguhnya dia itu memang masih pantas di sebut balita,
sampai tangannya mau di masukkan ke dalam sangkar saking gemesnya, tapi
dengan cepat sekali langsung dicegah bung Sapto, padahal kalau telat
sedikit saja tangan si Abank akan kena cakar. Bersyukurlah hei kau anak
gang Ajid !!.
Lain peristiwa “bonbin” SCAPA, lain pula peristiwa
rumah sakit Bunut. Suatu kali babehnya bung Sapto mengalami kecelakaan
lalu-lintas di daerah Cicurug, beliau langsung dibawa ke Bunut untuk
dirawat di kelas 1, ruang anggrek, yang lantainya terbuat dari keramik
berwarna putih pucat bagai ingin memberi tahu bahwa inilah dia ruangan
bersih untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Waktu itu anak-anak
tidak membawa apa-apa, maklum boke, lagi pula kita kan anak sekolah yang
duitnya masih disubsidi, jadi cukuplah kita bantu dengan do’a saja,
begitu mufakat yang kami peroleh dari rapat alot sepulang sekolah di
bawah pohon katapang. Sebagai pimpinan kafilah, kami menunjuk bung Rano,
alasannya karena beliau hafal beberapa potong do’a. Nanti di rumah
sakit tidak boleh ada yang merokok, begitu perintah pimpinan kafilah.
Maka kami pun berangkat dengan hati damai dan niat yang bersih seperti
langit biru di musim kemarau.
Sesampainya di Bunut bung Sapto
sudah siap menjemput di pintu gerbang rumah sakit, amboi mukanya campur
aduk antara sedih karena kecelakan yang menimpa babehnya, dan gembira
karena anak-anak PBM datang. Pada saat seperti ini terlihat juga betapa
kasihnya seorang anak pada bapaknya. Perasaan sentimental antara
orangtua dan anaknya memang kadang-kadang tak bisa ditolak, bahwa
ekspresi itu memang ada dan tidak dapat disembunyikan, sebuah ekspresi
yang sering kita lihat di iklan-iklan susu formula. Di dalam ruang
anggrek babehnya bung Sapto terbaring lemah, nyata betul pada garis
mukanya masih ada ekspresi menahan sakit karena luka di beberapa bagian
tubuhnya. Anak-anak mengelilinginya sambil tanya ini-itu mirip kelakuan
polisi di sebuah TKP. Setelah dirasa cukup lama, akhirnya bung Mamen
mencolek tangan bung Rano sang pemimpin kafilah, yang posisinya paling
dekat dengan pasien untuk segera mengakhiri acara menjenguk, juga
sebagai isyarat agar bung Rano segera memipin do’a untuk kesehatan
babehnya bung Sapto.
Oke, inilah dia saatnya, mungkin begitu apa
yang ada di pikiran bung Rano waktu tangannya dicolek. Tapi saudara,
apa yang terjadi kemudian? : waktu bung Rano mengangkat kedua tangannya,
tiba-tiba babehnya bung Sapto menyambut tangan bung Rano itu untuk
bersalaman sambil berkata, “terimakasih ya anak-anak”. Mau ga mau
akhirnya terjadi salaman perpisahan antara pasien dan para penjenguknya,
acara do’a batal, padahal sejak dari sekolah bung Rano sudah mencoba
melancarkan hafalan do’anya. Ketika keluar dari ruang anggrek tawa
anak-anak pecah setelah ditahan sejak dari dalam, hua..ha..ha...ha..,
dan belegugnya bung Sapto juga ikut-ikutan tertawa, malah dia paling
keras, kacau sekali. Dan kata siapa aksi mereka sudah berakhir sampai di
sini??.
***
Dari rumah ke rumah :
Jam di ponsel
baru menunjukkan pukul 06.00 pagi, embun belum sepenuhnya luruh, tapi
lihatlah sepagi itu saya sudah duduk syahdu di bangku bus way yang
meluncur ke arah Harmoni. Saya memakai t-shirt hitam lengan pendek yang
di depannya bertuliskan “Work for Gengster” dengan warna kuning cerah,
seperti kuning Golkar, fontnya mantap, dan saya merasa keren. Hari
sedang ahad, jalan raya tidak terlalu ramai, dan langit sedikit mendung.
Ini angin dari mana sih, kok dingin banget?, padahal jendela bus tidak
ada yang terbuka. Saya baru sadar waktu menengok ke atas, rupanya hawa
dingin itu berasal dari AC, dan di tersistem central sehingga saya tidak
bisa mengecilkan hembusannya secara manual. Mau bilang ke pak sopir,
malas, soalnya saya duduk di bangku paling belakang.
Lalu saya
pakai jaket berwarna oranye, jaket almamater sebuah kampus di pelosok
Bandung, dan merapatkannya sampai ke kerah, tudung yang menempel pada
jaket, saya tutupkan ke kepala, maka dapat kamu lihat bahwa selintas
saya seperti seorang angota Yakuza yang kedinginan. Jendela bus
tiba-tiba diserang oleh banyak arsiran, oh hujan sudah mulai turun
rupanya. Pak sopir putar lagu-lagu jadul dengan volume yang sangat sopan
untuk para penumpang yang masih setengah mengantuk dan lulungu.
Biasanya love song made in barat, macam Ronan Keating dengan If Tomorrow
Never Come-nya. Tapi pagi itu lagunya local punya, tapi jadul juga,
Koes Plus. Dan, hei, coba kamu teruskan lirik ini : “Di sana rumahku,
dalam kabut biru…..”
Baiklah jangan terlalu banyak cakap,
sekarang waktunya untuk mengabsen rumah-rumah yang pernah saya singgahi,
yang hampir semuanya menyediakan banyak makanan bagai sebuah
restaurant. Oke, dari rumah siapa dulu?, apa, perempuan dulu?, oke,
ladies first :
1. Uchie
Awalnya dia tinggal di gang Murni, di
jalan Pelda. Lalu pindah ke Cianjur, tepatnya di Pasir Hayam. Ingat,
nama tempat tidak boleh diterjemahkan !!. Pasir Hayam, ya Pasir Hayam
saja, tidak boleh diganti menjadi Bukit Ayam. Kalau coba-coba
diterjemahkan nantinya bakal seperti yang terjadi di kampung saya.
Beberapa hari sebalum lebaran, PBB (Persatuan Babu-Babu) yang merantau
ke kota pada mudik. Waktu sampai di kampung dan turun dari bis, mereka
langsung diserbu tukang ojek yang berebut mendapatkan penumpang. Seorang
tukang ojek yang beruntung akhirnya berhasil mendapatkan seorang Babu
itu, dan dia bertanya ,”rumahnya di mana neng?”. Si babu lalu menjawab,
“Air Bambu Ikat, bang”. Kontan saja si tukang ojek bingung bukan buatan,
soalnya di kampung kami tak ada daerah yang bernama Air Bambu Ikat.
“Sudahlah, abang jalan aja, nanti saya tunjukkan arahnya”, ucap si babu
penuh percaya diri. Motor pun melaju, tidak sampai sepuluh menit sudah
tiba di tempat yang dituju. Sambil memberikan uang kembalian, si tukang
ojek berucap, “beuh, mentang-mentang baru pulang dari kota, semuanya
pakai bahasa Indonesia. Bilang dong neng dari tadi, Ciawitali gitu!”.
Juga
jangan pernah mau sok keren dengan menerjemahkan nama tempat ke dalam
bahasa Inggris. Dini, adik kelas saya waktu kuliah di kampus Bandung
coret, wajahnya ya ampun manis banget sih, bikin saya selalu deg-degan,
bikin saya mendekatinya. Suatu hari, waktu habis makan siang di jam
istirahat, waktu saya duduk kekenyangan di kursi kantin, eh dia lewat di
depan saya. Busyet dah, kok kalo dia lagi keringetan tambah manis ya?.
“Din, kadieu sakeudap,” lalu dia menghampiri saya. “Ada apa A?,” beuh
dia manggil saya Aa. “Gini Din, sebentar lagi kan mau diadain Ospek
Jurusan, untuk kelengkapan data, kita sebagai panitia harus tahu alamat
rumah semua peserta Ospek, biar kalo ada apa-apa gampang
menghubunginya,” jawab saya penuh dusta (akting doang, padahal mah
alamat siswa baru dapat diakses di bagian Administrasi Jurusan). “Deket
kok A, rumah Dini mah di Bandung,” liat tuh, dia tetap manggil saya Aa.
“Iya, tapi Bandung kan luas, saking luasnya coba aja Dini ukur pakai
penggaris, InsyaAlloh ga bakalan selesai 2 tahun. Jadi maksud saya,
persisnya alamat rumah kamu di mana, sayang?” (tentu saja kata terakhir
saya ucapkan di dalam hati). Dini sedikit tersenyum dengan jawaban
konyolnya. “Euh…di situ A, di…di…Broken Horse Water,” “?????????????.”
Setelah berpikir sebentar, Aha!!, saya tahu di mana rumahnya nona manis
ini : Cikudapateuh !!. Setelah pamit, kemudian dia berlalu, meninggalkan
saya yang masih duduk di kursi kantin sambil membakar cigarette.
Kembali
ke laptop. Di Pasir Hayam saya pernah kenyang, soalnya kami ngaliwet.
Dengan memanfa’atkan bis jurusan Sukabumi-Bandung, akhirnya kami tiba di
sebuah belokan yang tidak jauh dari semacam kuburan Cina yang nisannya
segede-gede Gaban. Orang kelaparan dikasih nasi liwet, siapa coba yang
bisa menolak?. Maka tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan hidangan
mantap itu. Btw, katanya neng Uchie ini punya saudara di Jampangkulon.
Setelah dikonfirmasi ternyata benar belaka kabar tersebut, dan ternyata
rumah saudaranya itu tidak jauh dari rumah saya, kira-kira hanya
selemparan batu saja. Dunia seluas daun kelor!!.
2.Amie
Jangan
pernah menyuruh saya pergi ke rumahnya sendirian, karena saya tidak
hafal. Judulnya sih termasuk wilayah Kota Sukabumi, tapi untuk sampai ke
rumahnya harus naik dulu angkot warna hijau tua dan akan membawamu
melewati jalan yang susah dihafal : Balandongan. Saya bisa ke rumah neng
Amie karena pergi bareng-bareng dengan kawan sekelas, waktu beliau
ulang tahun. Namanya juga ulang tahun, pasti banyak makanan, dari kue
yang manis-manis berdosis gula tinggi, sampai makan nasi dengan
lauk-pauk yang aduhai lezat sekali. Waktu itu kamu boleh makan sepuasnya
sampai perut dan jidat sama kerasnya. Dasar RW 06 !!.
Rumahnya
berhalaman luas, pohon-pohon rindang tumbuh subur, tempat beberapa ekor
burung hinggap di dahannya yang lembab. Dulu di salah satu pojok halaman
itu terdapat sebuah meja hijau untuk bermain pingpong, saya juga pernah
mencobanya, dan anak-anak 1-6 tak ada yang berhasil mengalahkan saya,
lagian mana ada yang bisa tahan kalau harus bertanding melawan mantan
juara Porseni se-kecamatan Jampangkulon?. Kalo gak salah, Amie punya
seorang adik laki-laki yang dulu masih sangat kecil.
3. Dita
Rumahnya
di bawah. Maksud saya, kamu harus pergi melewati jalan R.A. Kosasih,
dan di sebelah kiri jalan itu ada sebuah perkampungan yang posisinya
lebih rendah daripada jalan. Mirip seperti Amsterdam yang letaknya
berada di bawah permukaan laut. Waktu tiba di rumahnya, langit menangis,
hujan turun deras. Tidak banyak yang dikerjakan di rumahnya neng Dita,
hanya makan cemilan sambil nonton film. Film apaan??, yang tahu
jawabannya silahkan angkat tangan.
4. Yogi
Dinding
rumahnya bernuansa oranye, tapi dia malah menjadi pendukung kesebelasan
Inggris dan Jerman, menyebalkan sekali. Malah waktu dia pulang dari
England karena urusan kerja, dia sengaja beli jersey timnas Inggris yang
asli, cap Umbro, beli dua : putih dan merah. Lalu apa maksudnya coba,
pas saya main ke bung Mamen, eh dia datang dengan jersey barunya itu.
Sambil memamerkan senyum Pepsodent, dia terlihat sangat bangga dengan
jerseynya. Sehari setelah itu saya langsung menyusun mimipi dan rencana,
bagaimana caranya agar saya bisa pergi ke Amsterdam : jersey timnas
Belanda akan saya borong sebanyak dua kodi !!.
Jalan menuju
rumahnya beraspal, meskipun tidak terlalu halus, tapi bersih seperti
rajin disapu. Nama daerahnya terdengar kampungan : Kebon Cau. Kalau kamu
naik angkot no 14 yang berwarna putih, kamu harus berhenti di dekat SMP
YAD (Yayasan Ahmad Djuaeni—type sekolah Islam yang ditinggalkan zaman
dan tidak laku). Sekali waktu anak-anak pernah makan ke rumahnya, menu
utamanya saya masih ingat : Pepes Ikan Mas. Tapi dasar bung Yogi ini
bertype Pemuda Harapan Bangsa, maka sebelum makan-makan diadakan dulu
acara pendahuluan, yaitu mengerjakan PR fisika. Amboi, pusing bung!!.
Dalam setahun, hanya sekali itu saja kami makan-makan di rumahnya,
sisanya berkeliling ke rumah kawan-kawan yang lain. Yang sedikit unik
adalah bahwa dia punya kakak laki-laki yang namanya berinisial “Y”, dan
punya adik perempuan yang juga berinisial “Y”, dia sendiri sudah jelas
berinisial “Y” juga. Tapi sebenarnya ga unik sih, masih kalah oke dengan
nama 7 bersaudara : saya, adik saya, dan kakak saya. Nama lengkapnya
semua berakhiran “I”.
Masih banyak rumah lain yang masih saya
simpan di Ms. Word, semantara empat rumah dulu, lain kali disambung
lagi. Sudah sore kawan, malam besok insyaAlloh kita sudah mulai sholat
taraweh. Jangan kaget kalau di hari pertama sampai hari ke sepuluh,
mesjid tiba-tiba menjadi sempit, jama’ah luber sampai keluar. Tentu
sudah tidak pantas kalau kita masih main petasan dan kembang api, itu
kelakuan dulu, waktu kita masih bocah, sekarang sebagian dari kita sudah
punya bocah sendiri. Ya, mereka itulah titipan Sang Pencipta,
mudah-mudahan yang sudah diberi kepercayaan dengan kehadiran seorang
anak, dapat menjaganya agar tetap berjalan sesuai fitrah. Amin. Dan
matahari semakin terbenam ke barat. [irf]
1 comment:
ampun. panjang banget. ini mesti dibaca saat luang inih
Post a Comment