Kulihat jemarimu yang lentik, dan kusaksikan di langit
Arakan awan
mengirimkan senja yang lain
Ke arah kita. Ada
warna merah, warna biru yang pupus
Bongkahan-bongkahan
kelabu yang melayang jauh
Dari jendela, kulihat
sungai Siene yang membelah kota
Dengan
jembatan-jembatannya yang penuh ukiran
Seperti rambut
ikalmu. Lalu dari puncak apartemen tinggi
Kita berloncatan,
meliuk-liuk dan berteriak di udara:
Senja pecah menjadi
ribuan isyarat sunyi
Yang mungkin bisa
diterjemahkan sebagai hasrat
Atau niat tersembunyi
untuk bunuh diri
Masih kuingat tarian
perutmu, dan kubayangkan sosokmu
Yang ramping, rautmu
yang runcing, dengan alis Aljazairmu
Yang menikam seorang
penyair. Di gerbong kereta api
Di sepanjang
terowongan yang menembus tubuh tua kota ini
Ada yang menggelepar
karena kehilangan kata-kata
Ketika sunyi
menyediakan sebuah beranda merah muda
Yang bernama
kebisuan. Lalu apakah arti percakapan kita
Dari halte ke halte,
menyusuri jalan-jalan yang berliku
Keluar masuk
restoran, museum atau toko buku
Sedang yang kutemukan
selalu bukan ruang? Demikianlah
Aku mengerti gerak
liar sang takdir, hukum awal dan akhir
Pengkhianatan yang
kemudian menjadi monumen terkenal
Seperti Bastille yang
ramai dikunjungi orang
Di bawah cahaya lampu
merkuri, di antara tiang-tiang marmar
Kita merasa lebih tua
dari usia bumi yang sebenarnya
Rautmu yang runcing,
tatapanmu yang tajam dan berkilat
Seperti ingin
membunuhku. Tapi ajal telah beranjak ke timur
Ke lereng-lereng
perbukitan, ke Montmartre yang murung
Kini tanganku
menyentuh dagumu pelan dan tiba-tiba kurasakan
Sebuah ketajaman yang
lain lagi:
Mengapa kecantikan
yang luar biasa selalu menghunuskan
Pisau? Seperti senja
yang menancapkan satu jawaban
Yang tak mungkin bisa
kuucapkan lagi padamu
Tak mungkin bisa
kutuliskan di atas pakaian dalammu. [ ]
No comments:
Post a Comment