Kalau
suatu saat nanti kamu ke Bandung, maka dari pintu tol Pasteur sebaiknya
langsung belok ke kiri, lalu ikuti rute angkot, dan di pemberhentian
terakhir, di depan sebuah toko swalayan dekat sebuah warnet, belok lagi
ke kiri. Lalu lurus saja dan sebelum Politeknik Pos, sebelum turunan
yang agak panjang, tepat di dekat sebuah pos satpam yang mengenaskan,
kamu belok lagi ke kiri. Jangan bosan belok ke kiri, sebab aku sudah
bosan belok ke kanan.
Maka
ketika kamu mendapatkan mesjid Al Falah yang cukup megah, tanya saja
mbak-mbak atau mas-mas (kamu lebih nyaman menyebut itu bukan?, daripada
teteh dan akang?), atau bisa tanya siapa saja yang kebetulan lewat di
sana. Coba saja tanya tempat tinggalku, pasti mereka tidak tahu.
Baru
kemarin sore aku pindah ke sini. Di lantai dua, di sebuah kamar bersih
dengan penjagaan ketat nuansa pink (terutama ditebarkan oleh warna
gorden milik ibu kost), aku dan kawanku membereskan kembali baju, buku-buku, dan
sedikit reformasi hati tentang kegagalan, impian, hidup, kecemasan, dan
kenyataan yang semakin terasa genit.
Setelah
mengucapkan salam dan mengetuk pintu, langsung saja masuk ke kamar,
nanti akan aku perlihatkan buku-buku yang selama ini menjadi nutrisi,
atau juga basa-basi. Jangan malu-malu, ambil saja apa yang kamu mau. Ada
Pramoedya si penantang abadi, Gede Prama sang penikmat keheningan, Emha
ahli sindir yang tidak amatir, Sapardi pecinta taman dan hujan, Muhidin
yang darahnya dialiri buku, Djenar yang liar, dan ada juga Joko Pinurbo
yang puisinya nakal tapi penuh pesona. Tapi maaf, aku barangkali belum
punya penulis favoritmu.
Oh
iya, aku lupa. Perkenalkan, ini sahabatku yang sering direpotkan dan
disusahkan itu. Namanya Laki-laki Aroma Tembakau. Jangan heran kenapa
namanya begitu, sebab dia laksana cerobong asap yang tak henti menghisap
dan menghembuskan saripati tembakau, asap yang hamil oleh tar dan
nikotin seringkali bergulung-gulung dari mulutnya.
Maaf,
di sini hanya ada air tawar, karena kami, aku dan Laki-laki aroma
Tembakau lebih sering paceklik daripada makmur. Begitu rupa cigarette
telah membuat kami menjadi miskin. Minum saja, kalau masih kurang jangan
khawatir, di galon masih ada stok beberapa liter. Kalau kamu tidak
sedang "berhalangan", aku hanya mengingatkan : sholat ashar dulu. Apa?,
kamu lupa tidak membawa mukena?. Tunggu sebentar, aku pijam dulu sama
induk semang.
Kamu tahu lagu ini? : it may sound absurd, but don't be naive, even heroes have the right to bleed
Ya, ini lagunya Five for Fighting. Pilih saja, terserah, kamu maunya
lagu apa. Sebentar aku mau mandi dulu, mau menyusul Laki-laki Aroma
Tembakau ke mesjid Al Falah, sebentar lagi adzan maghrib rupanya. Ketika aku sedang di mesjid, kamu pasti masih di situ, duduk atau terbaring melihat
langit-langit kamar dan sekelilingnya. Aku tak membayangkan kamu sedang
tersenyum, apalagi tertawa, karena aku tidak tahu apa yang akan kamu
tertawakan. Yang lebih realistis, kamu pasti sedang istirahat sambil
mendengarkan lagu dari komputer milik sahabatku. Jangan buka lemari
excel yang paling bawah, karena itu kotak pribadiku, kamu belum waktunya
tahu.
Aku
lupa kasih tahu, sehabis maghrib aku pergi ke warnet dulu, mau upload
tulisan, sesuatu yang membuatku berdamai dengan jiwa, karena dia selalu
diberi makan. Nanti kamu akan aku ajak ke lantai atas tempat menjemur baju. Di sana pemandangannya cukup variatif : di arah barat
laut kamu bisa melihat sebagian kota Bandung yang gemerlap oleh lampu.
Di utara ada kelap-kelip cahaya kecil di sekitar gunung Tangkuban
Parahu. Tapi jangan terlalu sering melihat ke tenggara, di situ ada
kampusku. Aku tak mau hidup di masa lalu. Malam ini Laki-laki Aroma
Tembakau akan tidur di tempat kawannya, jadi kita bisa berbicara
sepuasnya.
Iya,
kita bicara sepuasnya. Membicarakan apa saja : cinta absurd, kopi
pahit, buku tak bernyawa, musik nasi bungkus, film kawin silang antara
sex dan hantu, atau bahkan kembang milik ibu kost yang mati gara-gara
anaknya lupa menyiram. Tenang saja, semuanya tidak akan ada yang
melarang. Kita bisa membicarakan semuanya. Jangan takut mulut menjadi
kering, air masih berliter-liter di galon dekat jendela. Atau jika
ternyata kita lebih banyak terdiam, biarkan saja hati yang bicara.
Kalau
kamu ngantuk bilang saja, nanti aku perpanjang ceritanya, biar kamu
tidak bisa tidur sampai langit pagi memperlihatkan lengkungnya, dan aku
senang mendengarkanmu menyalahkanku ketika matamu masih merah dan di
timur matahari mulai merekah. Kamu cantik kalau sedang marah.
Sekarang
sudah siang, udah....mandi dulu sana. Kita jalan menghabiskan waktu,
semaumu dan semauku. Kita bisa nonton di ruangan berpendingin, makan,
belanja, dan berteduh di taman kota. Jangan lupa kita beli oleh-oleh
kecil buat sahabatku si laki-laki Aroma tembakau yang telah berbaik hati
tidur di tempat kawannya tadi malam. (Jangan berburuk sangka kawan,
tadi malam aku tidur di kamar sebelah yang masih kosong). Sekarang ayo
kita pulang. Sudah sore, langit mulai jingga di arah barat. Lalu mobil
itu membawa kita kembali ke kamar. Membawa kita, aku dan kamu yang
berkeringat dan berdebu.
Setelah
mandi kita bicara lagi, kali ini si Laki-laki Aroma Tembakau akan
bergabung, karena kawannya sedang pulang kampung. Jangan khawatir,
sekarang aku tidak akan mengganggu tidur nyenyakmu. Selamat tidur dan
berkembang. Besok setelah sholat subuh, ketika kamu berdo'a, kamu bisa
berbaik hati dengan mendo'akanku dan juga saudaraku si Laki-laki Aroma
Tembakau itu : cita-citanya masih jauh, semoga dia tidak lelah
menggapainya. Kalau tidak takut gelap, silahkan matikan lampu.
Lagi-lagi
Laki-laki Aroma Tembakau berbaik hati. Tadi pagi sebelum dia pergi, dia
sempat menyediakan sarapan. Ini buatmu, sebuah buku tipis
tulisan Sapardi. Nanti saja dibacanya kalau kamu sudah sampai rumah.
Maka hatiku gerimis ketika tadi kita berpisah. Aku melihat mobilmu
sampai menghilang. Dan sangat jelas jejakmu di jalan itu. Nanti di buku
tipis yang aku berikan, tolong dilihat di halaman 96, aku ingin kamu
membacakannya untukku. (irf)
No comments:
Post a Comment