Warnet
di Gegerkalong memang punya selera humor yang rendah, dibuatnya cacatan
saya raib dalam selubung kabel data yang menguap entah ke mana. Siang,
atau tepatnya menjelang siang, karena matahari masih bisa dibaca dari
hangat sinarnya dan garis bayangan pohon. Catatan yang sengaja saya bawa
dalam benda mungil berkapasitas 2GB isinya tak jauh dari kumpulan
cerita yang tak selesai, jahitan aforisme yang tak orisinil, kontemplasi
dangkal, dan deretan paragraph kisah cinta yang absurd. Niatnya mau
saya posting di blog, tapi virus di warnet itu memang goblog, nama file
word tiba-tiba berubah seperti huruf sirilik kebanggan kaum Bolshevik.
File word tidak terbaca dan intruksi di layar monitor buram meminta
untuk dihapus. Ancamannya klasik : tak dibuang, benda kecil 2GB punyamu
akan mengidap penyakit menahun. Maka pulang dari warnet seperti pulang
dari kuburan, hanya untuk membuang anak rohani yang dilahirkan di
tengah-tengah kesibukan menjadi jongos bagi kaum pembeli tiket di
bandara.
Satu
tahun sebelumnya ada kekonyolan tak terkira : saya membakar tiga buah
buku catatan harian sendiri. Bagi oranglain isi buku catatan harian itu
mungkin sama konyolnya dengan kelakuan saya, tapi mereka tidak tahu
cerita di balik semua catatan itu. Lalu kenapa saya membakarnya? :
lagi-lagi karena ada kisah cinta purba di sana. Api melahap
berlembar-lembar kertas yang habis dinodai tinta. Di dapur, di rumah
yang pernah menadah ari-ariku, di depan tungku pembakaran, buku keluaran
Sinar Dunia dan Mirage meregang nyawa dalam hawu berlobang dua.
Lidah api mengunyah kertas dengan cepat, lalu sebentar menjadi bara yang
rapuh, sebelum akhirnya menyentuh titik mengenaskan : abu.
Katanya
dia pernah menulis di majalah kampus, waktu masih berjaya dengan jaket
kuning, walaupun statusnya hanya jaket kuning dari kakak tiri berlogo
Makara. Lihat, saya seperti orang pengagum penyamaran, padahal akan
lebih gampang kalau menyebut : “dia pernah menulis di majalah kampus
waktu masih kuliah di Politeknik UI.” Ya, kakak saya pernah menulis di
majalah kampus beberapa jam setelah terjadi bentrok fisik antar Fakultas
dalam haribaan (POM) Pekan Olaharaga Mahasiswa. Peristiwa yang
terdengar tidak istimewa sebenarnya, dari dulu mahasiswa telah terkurung
berbagai garis batas yang diciptakan secara turun-temurun : gengsi
Fakultas, Jurusan, Himpunan, dan berhala-berhala primordial lainnya.
Judul tulisannya lumayan provokatif : “Mahasiswa UI Dilanda Gejala
Vandalisme”.
Kurang
lebih lima tahun setelah tulisan itu lahir, saya sempat bertanya :
“Kenapa orang-orang suka menulis?”. Dia menjawab, “Karena setiap yang
kamu tulis akan terasa nikmat ketika kamu baca kembali beberapa tahun ke
depannya setelah tulisan itu lahir.” Benarkah demikian??.
Ah,
tapi lupakan saja, saya dan dia berbeda generasi. Tapi diam-diam
seperti ada yang terbenam di dalam pikiran, seperti kayu puspa yang
terbenam dalam lumpur pekat, seperti proyektil nyasar yang membelesak ke
dalam sudut terdalam organ. Perlahan saya menjadi mencintai tulisan.
Pertama mencoba, kedua mencoba, ketiga mencoba, lalu ketagihan. Seperti
candu, laksana opium di pegunungan Afghanistan. Tapi memang harus
diiringi dengan membaca, sebab “kalau tak ada yang kau baca, lalu apa
yang mau kau tulis?”. Opium perlahan menjadi semacam penyakit gila
(terdengar tidak orisinal—Belitong mode on), saya keranjingan meyimpan
dan mengarsipkan catatan. Masih jelas dalam ingatan bagaimana
catatan-catatan itu kemudian berserakan dalam banyak blog. Ada minat yang tidak kecil setiapkali menulis, setiapkali melahirkan
bayi-bayi prematur, mereka selalu menarik dengan kuat untuk diperhatikan
dan dirawat.
Gejala
repost atau memposting ulang catatan adalah lukisan jalan di tempat,
produktifitas mandul, mogok akut, atau pergerakan lempeng kayu puspa
yang berusaha ingin naik ke permukaan, ingin melawan lumpur pekat yang
telah membenamkannya selama bertahun-tahun. Laksana odong-odong yang
ditinggalkan bocah, maka malas menulis pun tak lebih seperti itulah. Dan ini adalah tulisan repost, wahai. [ ]
No comments:
Post a Comment