Mengkritisi laku para wakil rakyat yang rajin melakukan studi banding
ke luar negeri mungkin sebuah sikap yang usang. Media telah kenyang
menyoroti hal itu. Namun selalu ada hal yang menggelitik, bukan soal
anggaran yang dihambur-hamburkan, bukan pula tentang hobi belanja dan
wisata yang dikerjakan di sana, tapi pernahkah mereka, para wakil rakyat
itu, memperhatikan betapa nyamannya ruang publik bagi pejalan kaki di
negara-negara yang mereka kunjungi. Bandingkan dengan Jakarta, di mana
negara abai dan bahkan meminta maaf pun tidak, kepada pejalan kaki yang
menyusuri trotoar, terperosok pada lubang gorong-gorong yang tidak
ditutup, dan kakinya patah. Negara tidak hadir di trotoar.
Saya sering mendengar kabar, dan bahkan pernah beberapakali
mengalami; “diusir” pemakai kendaraan bermotor dengan klakson yang keras
dan berulang-ulang, untuk menyingkir dari trotoar. Jalan yang macet
membuat pengendara motor naik ke trotoar dan mengusir saya yang sedang
berjalan. Saya tak pernah bisa menerima hal seperti ini. Ketegangan
selalu terjadi. Akal sehat si pengendara motor itu entah di mana,
barangkali tercecer membusuk di tengah jalanan yang macet parah jahanam.
Itu tantangan pertama, bagi siapa saja yang “berani-berani” memilih
berjalan kaki di Jakarta.
Lalu pedagang kaki lima (PKL). Trotoar sudah menjadi rumah niaga bagi mereka. Persetubuhan antara kebutuhan ekonomi dan sorot mata kamera media telah sering melahirkan tentang hak yang dirampas ketika mereka ditertibkan. Pahlawan tidak perlu hadir di sana, sebab aksi protes tentang lagu sedih kehilangan sumber rejeki jauh lebih puitis menghiasi layar televisi rumah kita. Aparat dan PKL selalu dikondisikan berhadap-hadapan, masyarakat seolah disuruh memilih untuk membela salahsatunya. Namun pernahkah hak pejalan kaki yang dirampas PKL itu mencuat di kanal-kanal televisi?. Bahkan industri warta tak pernah memandang pejalan kaki sebagai bahan liputan yang menarik dan layak jual. Pejalan kaki kesepian di trotoar dan luput dari kabar.
Lalu pedagang kaki lima (PKL). Trotoar sudah menjadi rumah niaga bagi mereka. Persetubuhan antara kebutuhan ekonomi dan sorot mata kamera media telah sering melahirkan tentang hak yang dirampas ketika mereka ditertibkan. Pahlawan tidak perlu hadir di sana, sebab aksi protes tentang lagu sedih kehilangan sumber rejeki jauh lebih puitis menghiasi layar televisi rumah kita. Aparat dan PKL selalu dikondisikan berhadap-hadapan, masyarakat seolah disuruh memilih untuk membela salahsatunya. Namun pernahkah hak pejalan kaki yang dirampas PKL itu mencuat di kanal-kanal televisi?. Bahkan industri warta tak pernah memandang pejalan kaki sebagai bahan liputan yang menarik dan layak jual. Pejalan kaki kesepian di trotoar dan luput dari kabar.
Saya tak hendak membenturkan antara kepentingan pengendara motor,
pedagang kaki lima, dan pejalan kaki. Namun kenyataan di jalanan tak
bisa menutupi basa-basi normatif. Buktinya, para pejalan kaki laksana
plankton pada rantai makanan, dia berada di kasta terbawah kehidupan
para predator. Kita belum lupa dengan tragedi Tugu Tani beberapa waktu
ke belakang. Bahkan para korban itu sedang berjalan di trotoar, di atas
lahan yang memang haknya.
Setiap warga Jakarta yang tidak dibutakan dengan ego, bisa melihat
dengan jernih tentang “kekalahan” para pejalan kaki yang telah akut,
berkepanjangan. Bila melihat dan mengamati langsung di jalanan dirasa
terlampau konservatif, barangkali bisa berkunjung ke akun twitter
@trotoarian (koalisipejalankaki), dan @PedestrianClub. Di sana beberapa
gambar bisa menjelaskan tentang “kekalahan” itu.
Nabila Wibowo, anak seorang diplomat Indonesia, seperti yang ditulis
Andre Vitchek dalam artikel panjang (diterjemahkan oleh Fitri Bintang
Timur) yang berjudul Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta berujar, “Saat saya sampai di Jakarta, saya tidak ingin meninggalkan rumah, tidak ada culture
di sini, tidak ada konser dan musik yang bagus. Dan bahkan saya tidak
dapat berjalan-jalan keliling kota. Tidak ada trotoar. Saya hanya
tinggal untuk beberapa waktu, mengunci diri di kamar dan membaca buku.”
Dia kemudian memutuskan untuk tinggal di Portugal setelah penugasan
ibunya berakhir.
Nabila yang akhirnya memilih Portugal sesungguhnya adalah potret
ironi tentang yang saya tulis di paragraph pertama catatan ini. Bukankah
para wakil rakyat yang selalu ingin disebut terhormat itu sering
“melancong” ke negara-negara yang kondisi pedestriannya sangat
menghargai pejalan kaki?. Ah, saya barangkali terlalu naif.
Dengan tidak melupakan apa yang telah dikerjakan pemda DKI dengan
menyediakan bangku-bangku taman di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin, dan
di sekitar Monas, hari ini, Jakarta sesungguhnya harus segera bisa
melepaskan baju romantisme tentang lagu-lagu balada yang membuai. Para
musisi, penyair, pemotret, dan pembuat film harus bangun dari tidur
panjang tentang Jakarta yang indah dalam kemuraman. Kesemrawutan yang
“diabadikan” dalam medium-medium seni, mesti harus mulai berpihak pada
keteraturan, yang mungkin dalam kacamata seni membosankan.
Pejalan kaki, yang juga penghuni Jakarta yang “suram namun indah”
ini, telah lama kesepian. Jika kredo bahwa “seni harus membumi” masih
berlaku, maka ketahuilah bahwa pejalan kaki pun tidak berada di
awang-awang, dia menapak di bumi, di jalanan yang membusuk ini.
“Aku
bersamamu orang-orang malang,” tulis Soe Hok Gie. Saya tahu, Gie tidak
menulisnya untuk para pejalan kaki. [ ]
No comments:
Post a Comment