23 April 2014

Lonceng Kematian Toko Buku

Sekira empat tahun yang lalu, di jalan Sumur Batu, persis di sebelah jembatan terdapat kios buku. Tapi kini sudah berganti menjadi warteg.

Mbak penjaga kios itu sering terlihat terkantuk-kantuk. Pengunjung sepi. Seringkali saya dapati, hanya saya sendiri yang tengah melihat-lihat buku yang berjajar memenuhi rak. Saya membeli beberapa buku dakwah dan pergerakan Islam di sana. Dalam benak sering bertanya-tanya, “dengan pengunjung yang sangat minimal, apakah kios buku ini bisa bertahan lama?” Lalu empat bulan setelah itu, kios buku tutup. Dan empat hari setelahnya, buku berganti dengan menu makan sehari-hari.

Alangkah cepat aksara terenggut dari lalu-lintas ekonomi. Saya sedikit menyesali kematian kios buku ini. Namun kenyaatan tak bisa dipungkiri, orang-orang masih lebih membutuhkan makanan daripada sebuhul imajinasi. Setidaknya di jalan Sumur Batu.

***

Kemarin, sehabis menjenguk seorang kawan di rumah sakit Persahabatan, Rawamangun, untuk kesekian kalinya saya sempat juga singgah ke toko buku Eureka di jalan Balai Pustaka. Tidak seperti biasanya. Jika hari-hari sebelumnya toko buku ini sepi, maka saat itu keadaannya berubah; menjadi sangat sepi.

Seorang mbak kasir yang manis melemparkan senyum, namun terasa getir. Hampir semua barang dikenakan diskon. Rak-rak buku banyak yang kosong, CD musik tinggal tersisa beberapa keping, dan majalah-majalah telah hilang. Tangga menuju lantai dua sudah tidak ada, satpam yang biasa membukakan pintu entah ke mana, dia juga tiada. Waktu saya bertanya ihwal beberapa “kehilangan”, mbak kasir manis menjawab, “mau segera tutup mas.” Dari jawabannya tersimpan nada suara tentang pekerjaan yang akan segera lenyap.
Di pojok ada bocah dan ibunya yang sedang membuka-buka buku pelajaran. Sementara di pojok yang lain seorang bapak sibuk memilih buku-buku entah apa. Saya sendiri pada akhirnya hanya membeli sekeping CD Efek Rumah Kaca; Kamar Gelap. Waktu bayar senyum manisnya timbul lagi.

***

Saya telah mencoba sinis, namun tidak bisa. Ihwal kios dan toko buku yang gulung tikar itu saya pikir karena kesalahan strategi. Posisi tempat menjadi kunci. Bukan salah jalan Sumur Batu dan Balai Pustaka, namun jika kita lihat pasar buku di Senen dan Palasari, adakalanya barang seperti itu memerlukan sistem oligopoly, pasar barang sejenis.

Dengan Gramedia sebagai pengecualian (meskipun Gramedia ITC Cempaka Mas tutup juga), contoh lain adalah tentang sepinya toko Gunung Agung yang terletak di depan Markas Marinir di Kwitang. Toko Gunung Agung lama yang terdapat tidak jauh dari halte bus way Senen cenderung lebih ramai, karena di sebelahnya ada beberapa toko buku kecil yang masih bertahan. Tidak bisa dibohongi, bahwa calon pembeli seringkali membutuhkan pembanding sebelum memutuskan membeli suatu barang.

Di jalan Sumur Batu yang nampak hanyalah warung-warung kecil yang menjual rokok dan sembako. Kalau sore tiba, trotoar dan bahu jalan dikusai tenda-tenda biru para penjaja makanan. Toko buku yang telah gulung tikar persis sendirian di tengah kepungan niaga pangan. Pun begitu, meskipun di ujung jalan Balai Pustaka berjajar warung-warung fotocopy dan ATK, namun posisi Eureka dikepung para penjual makanan.

Harga pun tidak bersaing, dengan jumlah koleksi buku yang sangat lebih sedikit dibandingkan toko buku raksasa, Eureka nyaris tidak punya daya jual yang kuat selain interior yang didesain cukup nyaman. Maka lonceng kematian pun berbunyi. Dalam bauran pemasaran kita mengenal empat pilar; product, place, price, promotion. Kiranya teori lama itu masih ampuh mencekik siapa saja yang abai kepadanya.

Maka pada beberapa kasus toko buku yang sepi pengunjung dan kemudian gulung tikar, muncul sebuah kesadaran bahwa selain minat baca yang masih kurang menggembirakan, juga strategi pemasaran menjadi ujung tombak. Idealisme koyak bersama pasar yang sepi, sementara pemasukan harus tetap terjaga demi keberlangsungan hidup.

Waktu mendengarkan Jangan Bakar Buku dari ERK, saya kira lirik ini bisa ditujukan kepada apa pun, termasuk kepada lemahnya strategi pemasaran :
Kata demi kata mengantarkan fantasi
Habis sudah, habis sudah
Bait demi bait pemicu anestesi
Hangus sudah, hangus sudah [ ]

No comments: