Di kampung saya--di Selatan Sukabumi, tak jauh dari rumah;
berjajar beberapa bukit (Sunda : pasir) yang memanjang dari Timur ke Barat. Persis
di belakang rumah ada Pasir Pogor, kemudian Pasir Gundul, Pasir Hiris, dan
Pasir Hanjuang, lalu di akhiri dengan sebuah bukit yang melintang dari Selatan
ke Utara, yang dinamai dengan Pasir Malang. Waktu Ahad kemarin (22/03/2015)
mengunjungi bukit Munjul dan Culanagara di wilayah Bandung Selatan, tentu saja
ingatan melayang ke bukit-bukit yang saya sebutkan tadi. Ada kesamaan yang
sangat jelas, yaitu tentang tempat-tempat keramat yang berada di puncak bukit.
Di Pasir Hiris ada beberapa makam yang dikeramatkan, dan
konon sering diziarahi oleh orang-orang dari luar kota (terutama Jakarta).
Ditemani oleh sang juru kunci, mereka kerap melaksanakan ritual yang diisi
dengan do’a-do’a. Saya sendiri baru menyadari kemudian ihwal makam keramat itu,
sebab waktu kecil saya hanya menganggapnya tak lebih dari makam biasa saja. Hanya
letaknya yang memang terasa ganjil. Di pasir yang lain sebenarnya ada juga
beberapa makam, namun makam yang tadi adalah yang paling terkenal.
Kecenderungan tempat-tempat keramat di ketinggian bukan
hanya ada di Tatar Priangan, sebab di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur banyak
juga terdapat hal demikian. Di Cirebon pun, sebagai suatu wilayah yang kerap
“enggan” disebut Sunda—bahasa dan catatan sejarah banyak menulis hal ini,
terdapat juga tempat keramat yang letaknya di ketinggian. Dalam buku Ziarah & Wali di Dunia Islam yang
naskahnya dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, terdapat
keterangan sebagai berikut :
“Kompleks keramat
Sunan Gunung Jati mencakupi dua bukit , yaitu Bukit Sembung dan Bukit Gunung
Jati, yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Bukit Gunung Jati bisa
dipastikan sudah keramat pada jaman pra-Islam. Orang setempat masih mengenang
bahwa api besar-besaran kadang-kadang di nyalakan di puncaknya, yang dianggap
dan dikeramatkan sebagai puseur alam. Kepercayaan-kepercayaan kuno sedikit demi
sedikit telah diintegrasikan dalam kerangka Islam, namun bukit ini tetap
mempunyai ciri sakral.”
Ada tiga kata yang bisa ditangkap dari kutipan tersebut. Pertama
“bukit”, kedua “pra-Islam”, dan yang ketiga adalah “diintegrasikan”. Di
beberapa petilasan yang diyakini sebagai rute pelarian Prabu Siliwangi sewaktu
dikejar oleh Kian Santang—anaknya yang hendak meng-Islamkan sang bapak (salahsatunya
di bukit Munjul), kepercayaan masyarakat terbelah dua; yang pro Siliwangi
melakukan ritual dengan nuansa Hindu, sedangkan yang berpihak kepada Kian
Santang dengan ritual bernuansa Islam. Entah bagaimana perbedaan ritualnya,
mungkin terletak pada do’a.
Kutipan di atas pun menyatakan sebuah alur, bahwa kata
“pra-Islam” menunjukan adanya kekuatan politik dan kepercayaan yang mendahului
Islam sebagai pemenang selanjutnya. Sebagai pemenang tentu saja leluasa membuat
narasi sejarah, dan atau menempel lalu menggantikan simbol-simbol si kalah.
Kata “diintegrasikan”—bukan “terintegrasikan”, jelas adalah kata aktif, artinya
sebagai bentuk penyengajaan. Hal ini mungkin juga berlaku pada perlakuan dan
penamaan situs-situs, makam keramat, dan petilasan yang lain.
Selain itu, kalau kita amati, banyak juga komplek pemakaman
Cina yang berada di dataran tinggi. Beberapa contoh antara lain; Sentiong di
Sukabumi, Pasir Hayam di Cianjur, Lereng Tidar di Magelang, dan Cikadut di
Bandung. Artinya pemilihan bukit sebagai tempat tinggi bukan kepercayaan yang
dimonopoli oleh etnis dan kepercayaan tertentu saja. Bukit sebagai sebuah
dataran tinggi, bahkan telah juga dituliskan pada teks-teks jaman kenabian.
Bukankah bukit Tursina disebutkan dalam riwayat Nabi Musa?, dan Jabal (gunung)
Nur ada dalam lintasan sejarah Nabi Muhammad?
Membahas kaitan antara tempat-tempat tinggi dengan
kepercayaan manusia mungkin bisa ditulis dari ragam perspektif, namun saya
hendak mencatatnya dari sudut pandang tempat tinggal dan budaya produksi pangan
etnis Sunda jaman baheula.
Tapi sebelum masuk ke sana, mungkin ada baiknya kita sadari
dulu sebuah kenyataan, bahwa fakta-fakta sejarah di negara kita—terutama era
pra kolonial, seringkali dipadukan dan lebur bersama mitos dan legenda. Dalam sebuah pengantar yang beraroma pujian di
buku Bo’ Sangaji Kai-Catatan Kerajaan Bima--penyunting
buku tersebut menulis hal berikut :
“Sumber-sumber Eropa
terutama sumber Belanda umumnya dianggap lebih berguna daripada sumber-sumber
lokal, oleh karena orang Eropa sudah lama mengembangkan satu usaha
pendokumentasian yang tepat dan lengkap. Berbagai bentuk arsip yang
dikembangkan oleh orang Eropa selama berabad-abad sarat dengan fakta, angka,
nama, dan tanggal. Arsip jenis itulah yang menjawab pertanyaan para sejarawan
modern, sedangkan sumber-sumber berbahasa Melayu, seperti juga sumber dalam
bahasa-bahasa lain di Indonesia, seringkali mamadukan mitos, legenda, dan
sejarah, sehingga sukar dimanfaatkan. Karya-karya sejarah yang ditulis dalam
bahasa Melayu di Bima (Pulau Sumbawa) merupakan satu kekecualian yang
gemilang.”
Anggaplah saya imperior dengan mengiyakan kutipan tersebut, tapi
kenyataannya memang demikian.
***
Menurut Drs. Saleh Danasasmita dalam buku berbahasa Sunda
yang berjudul Nyukcruk Sajarah Pakuan
Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, beliau menjelaskan bahwa type masyarakat
di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu; masyarakat sawah, masyarakat ladang
(huma), dan masyarakat pesisir. Pajajaran (Sunda) termasuk ke dalam type
masyarakat ladang (huma).
Bukti-bukti sejarah mengenai hal ini bisa ditemukan pada
beberapa catatan. Pertama, dalam buku Priangan, de Haan menginformasikan bahwa
system pertanian sawah di Jawa Barat dimulai oleh van Imhoff. Di Bogor, daerah
pertama yang membuka lahan sawah adalah Cisarua, yang petaninya didatangkan
dari Tegal dan Banyumas. Untuk selanjutnya daerah Bogor dijadikan “daerah bebas
huma” oleh Yakob Mossel yang menggantikan van Imhoff pada tahun 1750. Selain
itu, beberapa istilah yang digunakan oleh petani Sunda dalam ngawuluku dan ngagaru, umumnya bukan kosa kata Sunda, melainkan kosakata Jawa,
seperti : kalen, mider, luput, sawed, arang, damping, dll.
Kedua, dalam Carita
Parahiyangan—yang merupakan hasil sastra jaman Pajajaran, tidak terdapat
istilah husus “patani”, tapi “pahuma”. Dalam naskah yang lain disebutkan bahwa
perkakas yang disebut hanyalah kujang,
baliung, patik, korěd,
dan sadap; yang semuanya adalah
perkakas untuk berladang.
Ketiga adalah dokumen tradisi seperti yang terdapat di suku
Baduy kiwari. Orang Baduy yang masih memegang teguh adat kebiasaan leluhurnya cadu untuk bertani di sawah.
Dan yang terakhir adalah berdasarkan kepada dokumen lisan
dalam bahasa Sunda yang terkait dengan bahasa Indonesia. Huma dalam bahasa
Indonesia artinya rumah, sedangkan ladang dalam bahasa Sunda artinya hasil. Hal
ini bisa menjadi petunjuk bahwa huma adalah ya rumah itu sendiri. Ini bisa juga
diperkuat dengan kebiasaan orang tua dulu ketika melarang anaknya yang sedang
bertengkar atau berselisih, mereka kerap berucap; “Ulah sok pasěa
jeung dulur, bisi pajauh huma!” (Jangan bertengkar dengan saudara, nanti huma/rumah-nya
berjauhan).
Dari keempat hal tersebut di atas, bisa ditarik kesimpulan
bahwa masyarakat Sunda pada mulanya adalah masyarakat ladang/huma, yang secara
geografis mayoritas berada di dataran tinggi (minimal lebih tinggi dari sawah)—umumnya
disebut dengan bukit. Karakter tanah huma pada umumnya tidak bisa ditanami
tumbuhan pangan secara berulang-ulang, oleh sebab itu para pehuma biasanya
berpindah-pindah tempat ketika hendak menanam padi. Hal tentu berpengaruh juga
dengan tempat tinggal, artinya perkampungan pun mesti pindah berkali-kali.
Lalu apa kaitannya antara masyarakat huma dengan beberapa
situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di Priangan? Jika dilihat dari
posisi, keberadaan tempat-tempat yang keramatkan sesuai dengan kebiasaan tempat
tinggal orang Sunda baheula, yaitu di
dataran tinggi. Selain itu, letaknya yang berjauhan dan ancal-ancalan, menandakan bahwa memang karakter masyarakat huma
adalah nomaden.
Kita kerap mendengar beberapa ungkapan yang menunjukkan
Tuhan (sesuatu/dzat yang tidak terjangkau kecuali dengan kepasrahan) dengan
kata “di atas”, misalnya; “Kita serahkan
kepada yang di atas”, atau “terserah
yang di atas”. Dalam konteks ini, barangkali posisi beberapa situs, makam
keramat, dan petilasan yang berada di ketinggian adalah simbol tentang dzat
yang tidak terjangkau. Sesuatu yang tidak tergapai oleh logika, dan sumerah
menjadi jalan pilihan.
Namun dalam masyarakat Sunda yang sudah Islam, agak sulit
jika menganggap semua yang keramat-keramat itu sebagai Tuhan, bagi mereka
mungkin lebih tepat sebagai batu pijakan menuju yang di atas yang lebih mutlak.
Beberapa kelompok dalam masyarakat Sunda Islam (biasanya kaum nahdliyin/NU)--ketika
berdo’a, kerap menyebut beberapa syekh dan atau wali yang disebut tawasul. Penyebutan
ini bukan berarti menganggap orang-orang saleh itu Tuhan, namun sebagai
jembatan menuju Tuhan.
Maka dengan meredakan sangka buruk (suudzon) tentang praktek
kemusyrikan; keberadaan situs, makam keramat, dan petilasan di bukit adalah sebuah
simbol agar bisa tegak lurus dengan langit. Ya, lurus ke atas—ke hadirat Tuhan.
[ ]
*) Tegak Lurus dengan
Langit adalah salahsatu judul cerpen Iwan Simatupang
Foto : Arsip Irfan TP
3 comments:
Mantap mang irfan..
Wa udah bikin novel can?
acan mang, sok gagal wae euy hahah
Post a Comment