24 March 2015

Di Bukit Tegak Lurus dengan Langit *)


Di kampung saya--di Selatan Sukabumi, tak jauh dari rumah; berjajar beberapa bukit (Sunda : pasir) yang memanjang dari Timur ke Barat. Persis di belakang rumah ada Pasir Pogor, kemudian Pasir Gundul, Pasir Hiris, dan Pasir Hanjuang, lalu di akhiri dengan sebuah bukit yang melintang dari Selatan ke Utara, yang dinamai dengan Pasir Malang. Waktu Ahad kemarin (22/03/2015) mengunjungi bukit Munjul dan Culanagara di wilayah Bandung Selatan, tentu saja ingatan melayang ke bukit-bukit yang saya sebutkan tadi. Ada kesamaan yang sangat jelas, yaitu tentang tempat-tempat keramat yang berada di puncak bukit.

Di Pasir Hiris ada beberapa makam yang dikeramatkan, dan konon sering diziarahi oleh orang-orang dari luar kota (terutama Jakarta). Ditemani oleh sang juru kunci, mereka kerap melaksanakan ritual yang diisi dengan do’a-do’a. Saya sendiri baru menyadari kemudian ihwal makam keramat itu, sebab waktu kecil saya hanya menganggapnya tak lebih dari makam biasa saja. Hanya letaknya yang memang terasa ganjil. Di pasir yang lain sebenarnya ada juga beberapa makam, namun makam yang tadi adalah yang paling terkenal.

Kecenderungan tempat-tempat keramat di ketinggian bukan hanya ada di Tatar Priangan, sebab di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur banyak juga terdapat hal demikian. Di Cirebon pun, sebagai suatu wilayah yang kerap “enggan” disebut Sunda—bahasa dan catatan sejarah banyak menulis hal ini, terdapat juga tempat keramat yang letaknya di ketinggian. Dalam buku Ziarah & Wali di Dunia Islam yang naskahnya dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, terdapat keterangan sebagai berikut :

“Kompleks keramat Sunan Gunung Jati mencakupi dua bukit , yaitu Bukit Sembung dan Bukit Gunung Jati, yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Bukit Gunung Jati bisa dipastikan sudah keramat pada jaman pra-Islam. Orang setempat masih mengenang bahwa api besar-besaran kadang-kadang di nyalakan di puncaknya, yang dianggap dan dikeramatkan sebagai puseur alam. Kepercayaan-kepercayaan kuno sedikit demi sedikit telah diintegrasikan dalam kerangka Islam, namun bukit ini tetap mempunyai ciri sakral.”

Ada tiga kata yang bisa ditangkap dari kutipan tersebut. Pertama “bukit”, kedua “pra-Islam”, dan yang ketiga adalah “diintegrasikan”. Di beberapa petilasan yang diyakini sebagai rute pelarian Prabu Siliwangi sewaktu dikejar oleh Kian Santang—anaknya yang hendak meng-Islamkan sang bapak (salahsatunya di bukit Munjul), kepercayaan masyarakat terbelah dua; yang pro Siliwangi melakukan ritual dengan nuansa Hindu, sedangkan yang berpihak kepada Kian Santang dengan ritual bernuansa Islam. Entah bagaimana perbedaan ritualnya, mungkin terletak pada do’a.

Kutipan di atas pun menyatakan sebuah alur, bahwa kata “pra-Islam” menunjukan adanya kekuatan politik dan kepercayaan yang mendahului Islam sebagai pemenang selanjutnya. Sebagai pemenang tentu saja leluasa membuat narasi sejarah, dan atau menempel lalu menggantikan simbol-simbol si kalah. Kata “diintegrasikan”—bukan “terintegrasikan”, jelas adalah kata aktif, artinya sebagai bentuk penyengajaan. Hal ini mungkin juga berlaku pada perlakuan dan penamaan situs-situs, makam keramat, dan petilasan yang lain.

Selain itu, kalau kita amati, banyak juga komplek pemakaman Cina yang berada di dataran tinggi. Beberapa contoh antara lain; Sentiong di Sukabumi, Pasir Hayam di Cianjur, Lereng Tidar di Magelang, dan Cikadut di Bandung. Artinya pemilihan bukit sebagai tempat tinggi bukan kepercayaan yang dimonopoli oleh etnis dan kepercayaan tertentu saja. Bukit sebagai sebuah dataran tinggi, bahkan telah juga dituliskan pada teks-teks jaman kenabian. Bukankah bukit Tursina disebutkan dalam riwayat Nabi Musa?, dan Jabal (gunung) Nur ada dalam lintasan sejarah Nabi Muhammad?

Membahas kaitan antara tempat-tempat tinggi dengan kepercayaan manusia mungkin bisa ditulis dari ragam perspektif, namun saya hendak mencatatnya dari sudut pandang tempat tinggal dan budaya produksi pangan etnis Sunda jaman baheula.

Tapi sebelum masuk ke sana, mungkin ada baiknya kita sadari dulu sebuah kenyataan, bahwa fakta-fakta sejarah di negara kita—terutama era pra kolonial, seringkali dipadukan dan lebur bersama mitos dan legenda.  Dalam sebuah pengantar yang beraroma pujian di buku Bo’ Sangaji Kai-Catatan Kerajaan Bima--penyunting buku tersebut menulis hal berikut :

“Sumber-sumber Eropa terutama sumber Belanda umumnya dianggap lebih berguna daripada sumber-sumber lokal, oleh karena orang Eropa sudah lama mengembangkan satu usaha pendokumentasian yang tepat dan lengkap. Berbagai bentuk arsip yang dikembangkan oleh orang Eropa selama berabad-abad sarat dengan fakta, angka, nama, dan tanggal. Arsip jenis itulah yang menjawab pertanyaan para sejarawan modern, sedangkan sumber-sumber berbahasa Melayu, seperti juga sumber dalam bahasa-bahasa lain di Indonesia, seringkali mamadukan mitos, legenda, dan sejarah, sehingga sukar dimanfaatkan. Karya-karya sejarah yang ditulis dalam bahasa Melayu di Bima (Pulau Sumbawa) merupakan satu kekecualian yang gemilang.”

Anggaplah saya imperior dengan mengiyakan kutipan tersebut, tapi kenyataannya memang demikian.

***

Menurut Drs. Saleh Danasasmita dalam buku berbahasa Sunda yang berjudul Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, beliau menjelaskan bahwa type masyarakat di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu; masyarakat sawah, masyarakat ladang (huma), dan masyarakat pesisir. Pajajaran (Sunda) termasuk ke dalam type masyarakat ladang (huma).  

Bukti-bukti sejarah mengenai hal ini bisa ditemukan pada beberapa catatan. Pertama,  dalam buku Priangan, de Haan menginformasikan bahwa system pertanian sawah di Jawa Barat dimulai oleh van Imhoff. Di Bogor, daerah pertama yang membuka lahan sawah adalah Cisarua, yang petaninya didatangkan dari Tegal dan Banyumas. Untuk selanjutnya daerah Bogor dijadikan “daerah bebas huma” oleh Yakob Mossel yang menggantikan van Imhoff pada tahun 1750. Selain itu, beberapa istilah yang digunakan oleh petani Sunda dalam ngawuluku dan ngagaru, umumnya bukan kosa kata Sunda, melainkan kosakata Jawa, seperti : kalen, mider, luput, sawed, arang, damping, dll.

Kedua, dalam Carita Parahiyangan—yang merupakan hasil sastra jaman Pajajaran, tidak terdapat istilah husus “patani”, tapi “pahuma”. Dalam naskah yang lain disebutkan bahwa perkakas yang disebut hanyalah kujang, baliung, patik, korěd, dan sadap; yang semuanya adalah perkakas untuk berladang.

Ketiga adalah dokumen tradisi seperti yang terdapat di suku Baduy kiwari. Orang Baduy yang masih memegang teguh adat kebiasaan leluhurnya cadu untuk bertani di sawah.

Dan yang terakhir adalah berdasarkan kepada dokumen lisan dalam bahasa Sunda yang terkait dengan bahasa Indonesia. Huma dalam bahasa Indonesia artinya rumah, sedangkan ladang dalam bahasa Sunda artinya hasil. Hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa huma adalah ya rumah itu sendiri. Ini bisa juga diperkuat dengan kebiasaan orang tua dulu ketika melarang anaknya yang sedang bertengkar atau berselisih, mereka kerap berucap; “Ulah sok pasěa jeung dulur, bisi pajauh huma!” (Jangan bertengkar dengan saudara, nanti huma/rumah-nya berjauhan).

Dari keempat hal tersebut di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Sunda pada mulanya adalah masyarakat ladang/huma, yang secara geografis mayoritas berada di dataran tinggi (minimal lebih tinggi dari sawah)—umumnya disebut dengan bukit. Karakter tanah huma pada umumnya tidak bisa ditanami tumbuhan pangan secara berulang-ulang, oleh sebab itu para pehuma biasanya berpindah-pindah tempat ketika hendak menanam padi. Hal tentu berpengaruh juga dengan tempat tinggal, artinya perkampungan pun mesti pindah berkali-kali.

Lalu apa kaitannya antara masyarakat huma dengan beberapa situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di Priangan? Jika dilihat dari posisi, keberadaan tempat-tempat yang keramatkan sesuai dengan kebiasaan tempat tinggal orang Sunda baheula, yaitu di dataran tinggi. Selain itu, letaknya yang berjauhan dan ancal-ancalan, menandakan bahwa memang karakter masyarakat huma adalah nomaden.

Kita kerap mendengar beberapa ungkapan yang menunjukkan Tuhan (sesuatu/dzat yang tidak terjangkau kecuali dengan kepasrahan) dengan kata “di atas”, misalnya; “Kita serahkan kepada yang di atas”, atau “terserah yang di atas”. Dalam konteks ini, barangkali posisi beberapa situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di ketinggian adalah simbol tentang dzat yang tidak terjangkau. Sesuatu yang tidak tergapai oleh logika, dan sumerah menjadi jalan pilihan.

Namun dalam masyarakat Sunda yang sudah Islam, agak sulit jika menganggap semua yang keramat-keramat itu sebagai Tuhan, bagi mereka mungkin lebih tepat sebagai batu pijakan menuju yang di atas yang lebih mutlak. Beberapa kelompok dalam masyarakat Sunda Islam (biasanya kaum nahdliyin/NU)--ketika berdo’a, kerap menyebut beberapa syekh dan atau wali yang disebut tawasul. Penyebutan ini bukan berarti menganggap orang-orang saleh itu Tuhan, namun sebagai jembatan menuju Tuhan.

Maka dengan meredakan sangka buruk (suudzon) tentang praktek kemusyrikan; keberadaan situs, makam keramat, dan petilasan di bukit adalah sebuah simbol agar bisa tegak lurus dengan langit. Ya, lurus ke atas—ke hadirat Tuhan. [ ]


*) Tegak Lurus dengan Langit adalah salahsatu judul cerpen Iwan Simatupang




Foto : Arsip Irfan TP

3 comments:

Amincun said...

Mantap mang irfan..

Marjo[RBB] said...

Wa udah bikin novel can?

Irfan Teguh said...

acan mang, sok gagal wae euy hahah