Waktu
Mang Asep (pegiat Aleut) menjelaskan sejarah pemakaman seorang Letnan Cina
dengan menggunakan gambar lawas, saya tiba-tiba membayangkan betapa jauh dan
lelahnya mengantarkan seseorang yang telah meninggal menuju tempat istirahatnya
yang terakhir. Bagaimana tidak, gambar tersebut adalah iring-iringan pengantar
jenazah yang sedang berada di depan gedung de Vries (simpang Asia-Afrika dan
Braga), menuju ke Cikadut. Menyusuri panjangnya Jalan Raya Pos dengan kereta
jenazah yang didorong tentu bukan hal yang mudah, apalagi perjalanannya dimulai
dari Citepus!
Adalah
Tan Djoen Liong, seorang Letnan Cina yang pernah memimpin orang-orang Cina di
Bandung selama 29 tahun, jenazah yang sedang diantarkan itu. Beliau meninggal
pada usia 58 tahun (1859-1917), kini makamnya (bong) terletak di tanah yang
membukit, seperti hendak mengawasi kehidupan orang-orang yang berada di bawah.
Deretan
bong pay (nisan) yang meluas-panjang sampai ke Cimenyan, buat saya menyisakan
beberapa pertanyaan; kenapa pemakaman dipisah-pisah berdasarkan agama,
kepercayaan, dan bahkan etnis? Tidak cukupkah sewaktu hidup garis batas-garis
batas itu menjadi pemicu konflik dan stereotip?
Dari
semenjak pemakaman Banceuy dipindahkan, pengelompokkan itu sudah ada. Makam
orang-orang Eropa pindah ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Pajajaran,
makam orang-orang Cina ke Babakan Ciamis (Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan menyebutnya
Bong), dan orang-orang pribumi yang mayoritas muslim ke Astana Anyar. Entah apa
yang dikehendaki Belanda dari pemisahan komplek pemakaman ini. Dan sampai
sekarang pemisahan ini masih berlaku.
Jika
alasannya menyangkut teknis pemakaman, karena misalnya orang muslim harus
menghadap kiblat, dan orang Cina (yang non muslim tentu saja) harus menghadap
tempat yang disenangi mendiang sewaktu hidupnya, saya pikir hal ini masih bisa
disiasati dengan menata letak. Sejarah yang memanjang ke belakang telah
mencatat tentang konflik dan kerusuhan antar etnis dan agama, maka pemisahan
komplek pemakaman ini seperti hendak mengabadikan luka; bahwa ya, kita memang
berbeda, dan tak dapat disatukan.
Pecinan
sebagai simbol pembeda (keterasingan) antara keturunan Cina dengan etnis lain
ternyata berlanjut sampai pasca kematian. Di bukit-bukit, jenazah-jenazah yang
rabuk persemaian atau abu dingin dalam tempat-tempat yang kerap dido’akan,
lagi-lagi terasing dari leburnya pergaulan agama dan etnis.
Tapi
saya pun bisa bersangka baik; mungkin pemisahan ini untuk mempermudah
kerja-kerja statistik, atau mungkin juga untuk kenyamanan ritual pemakaman
tiap-tiap agama.
Sebagaimana
sejarah yang tak melulu hitam-putih, tak semuanya bisa dikategorikan pada dua
kutub antara kawan dan lawan, demikian juga dengan komplek pemakaman. Pukul
rata tidak berlaku di Cikadut, sebab di antara makam-makam bernisan tulisan
Cina dan dilengkapi dengan simbol Dewa Langit dan Dewa Bumi tersebut, ternyata
ada juga makam orang-orang Kristen yang ditandai dengan salib, juga ada makam
orang Cina keturunan yang beragama Islam.
Ibu
Djuhriah salahsatunya. Di nisan mantan guru kepala di SD Priangan tersebut
bertuliskan aksara Arab yang berbunyi; Inna
lillahi wainnailaihi rojiun (Sesungguhnya kami berasal dari Alloh, dan
kepada Allohlah kami kembali). Konon guru muslim itu masih keturunan Cina.
Murid-murid sekolah dasar di sekolah bekas Ibu Djuhriah mengabdi semasa
hidupnya, kerap berziarah ke makam ini ketika hendak menjalani ujian. Entah
mendo’akan orang yang telah meninggal, atau malah sebaliknya. Sebab kedua hal
ini kadang-kadang dipisahkan oleh selaput tipis.
Selain
itu, ada juga satu makam yang dinisannya bernama Ibu Ipoh. Di nisan ini pun bertuliskan
aksara Arab, dan bahkan di simbol Dewa Bumi pun tulisannya memakai huruf Arab
yang bunyinya : Dewa Tanah. Dua nisan tersebut hanyalah contoh kecil, karena
mungkin di dalam komplek pemakaman Cikadut yang luas masih terdapat nisan-nisan
orang Islam yang lain.
***
“Islam datang dalam keadaan asing.
Dan ia akan kembali asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah
orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)
Selepas
Cikadut, jika diteruskan ke atas, maka akan sampai ke Panyandaan. Di sana ada
bukit yang cukup terjal, jalan untuk kendaraan yang kemiringannya membuat kesal
para pejalan kaki adalah bukti. Di puncak bukit, selain ada dua situs pra Islam,
juga terdapat sebuah pesantren yang bernama Baitul Hidayah.
Pesantren
yang lokasinya jauh dari perkampungan ini dihuni oleh sekira (baru) 100 santri.
Hal ini selain dipengaruhi oleh letaknya yang susah dijangkau, juga karena
masih terbilang baru, berdirinya di tahun 2010. Dari dua orang santri yang
kebetulan sedang duduk di dekat situs tersebut, diketahui bahwa setiap santri
hanya diperbolehkan pulang ke rumah sebanyak dua kali dalam setahun, atau satu
semester sekali. Kedua santri yang ajak bicara itu berasal dari Sukajadi dan
Ciburial-Dago.
Selain
pondok pesantren yang menekankan mempelajari kitab kuning (di antaranya Fathul Barri dan Riyadus Solihin--yang kini terjemah bahasa Indonesianya sudah
beredar luas), di sana juga terdapat jenjang pendidikan setingkat SMA dan SMP.
Namun sebagaimana umumnya pondok pesantren, setelah lulus SMA santri tidak boleh
langsung keluar, harus mengabdi dulu di pondok selama setahun. Di lingkungan
pesantren semua santri diwajibkan berkomunikasi memakai bahasa Arab dan bahasa
Inggris, tapi rupanya kurang ketat—buktinya saya bisa berkomunikasi memakai
basa Sunda dengan mereka. Sementara ini Ponpes Baitul Hidayah di Panyandaan
belum menerima santri putri, mungkin karena keterbatasan tenaga pengajar.
Hal-hal
demikian, yaitu; cara berkomunikasi, bahan bacaan, pengabdian setahun, dan jarang
pulang tentu tidak terlalu aneh, sebab di pondok pesantren di seantero Pulau
Jawa hal tersebut hampir sama. Yang menarik buat saya justru pemilihan tempat. Berlokasi
di puncak bukit dan jauh dari keramaian, membuat pesantren ini seolah-olah
ingin mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat luas.
Mungkinkah
tujuannya ingin seperti bunyi hadits yang saya tulis di atas? Entah, sebab
setahu saya kata “asing” di hadits tersebut bukan merujuk pada letak geografis,
namun lebih kepada penerimaan umat terhadap ajaran Islam. Istilah “Islam KTP”
dan semua turunannya mungkin lebih tepat untuk menggambarkan kata “asing”
tersebut. Artinya, antara Islam sebagai ajaran dan pemeluknya ada jarak yang
jauh, yang mungkin bisa dijembatani oleh sesuatu yang bernama taqwa.
Namun
lagi-lagi, karena secara normatif mengedepankan prasangka itu kurang elok,
mungkin lebih baik pertanyaan-pertanyaan tersebut diendapkan dulu.
***
Dari
dua tempat yang dikunjungi itu, saya mendapuk kata “asing” menjadi man of the match di perjalanan kali ini.
Pada pengelompokan kuburan dan pesantren yang menjauh dari khalayak ramai, menguar
aroma keterasingan yang tajam—yang kemudian memicu sederetan pertanyaan.
Tak
apa, sebab seperti kata Socrates; hidup
yang tak pernah dipertanyakan, tidak layak untuk dilanjutkan. [ ]
Foto
: Arsip Irfan TP
1 comment:
Kenapa ga interview langsung ke pemiliknya? Hehehe... Alhamdulillah pesantren ini milik (perorangan) seorang mualaf (mantan aktivis gereja)yang mendapat hidayah melalui sang anak...dan diutamakan utk anak2 duafa/yatim/yatim piatu yang ingin mendapat pendidikan (tdk mampu bersekolah)
Post a Comment