03 February 2016

Anggur sebagai Pondasi Hidup Para Pengangguran

Di Dataran Tortilla, di kampung yang kata Steinbeck diisi rumah-rumah kayu dengan halaman tak terurus dan penuh semak, yang terlepas dari nafsu perdagangan serta bebas dari keruwetan tata cara niaga Amerika, tersebutlah beberapa orang pengangguran yang amat mengkhidmati kalimat “carpe diem, quam minimum credula postero” (petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok).

Mula-mula adalah Danny, seorang yang paling kuat minum anggur di kolong langit. Ia bersama kawannya—Pilon, baru selesai menjalankan tugas militer dari negara. Keduanya tak punya uang, tak punya rumah, tak punya istri, menganggur, pendeknya hidup mereka menyedihkan. Pada kawannya Danny berkata, “Di sinilah kita berdua, tak mempunyai rumah. Kita telah menyumbangkan hidup kita pada negara, dan kini tak ada langit-langit untuk berteduh.” Kemudian mereka bergantian minum anggur.

Namun kemudian Danny menerima warisan dua buah rumah peninggalan kakeknya--yang satu ia tempati sendiri, yang satunya lagi ia sewakan kepada Pilon. Karena tak punya uang dan akhirnya bingung untuk membayar uang sewa, Pilon mengajak Pablo untuk menempati rumah tersebut. Hak sewa rumah kemudian berpindah ke Pablo, dan ia juga tak punya uang. Maka terbentuklah sebuah rantai setan yang tak putus.

Meski ketiganya pengangguran, namun bagi mereka anggur adalah kewajiban harian, setiap hari tak boleh dilewatkan. Kerongkongan mereka akan cepat kering tanpa meneguk anggur dari Torelli—penjual anggur di Dataran Tortilla yang sering mereka tipu. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk anggur yang mereka gilai? Semuanya dikerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan satu hari saja, tak lebih. Ya, mereka benar-benar mengoptimal waktu yang tengah mereka injak, memetik hari dengan kerja-kerja absurd sambil menikmati anggur.

Ketika lapar, mereka mengincar ayam milik tetangganya. Tak punya anggur, mereka bermuslihat dengan menggoda istri orang demi segalon anggur. Jika suami si istri itu marah, mereka bersembunyi di tebing-tebing. Butuh uang cash, mereka bekerja memotong cumi-cumi di perusahaan milik seorang Tionghoa. Sebelum menempati rumah, kalau marah mereka tak segan melempari jendela rumah orang.

Kemudian Jesus Maria Corcoran ikut bergabung. Persekutuan pengangguran itu bertambah anggota. Meski Jesus Maria wataknya baik, namun ia juga tak jauh beda dengan kawan-kawannya. Pada satu waktu, rumah yang disewa dari Danny hangus terbakar, mereka lalu bergabung di rumah Danny yang satu lagi. Sejenak hadir penyesalan, Danny pun marah, namun kemudian mereka insyaf bahwa beban sewa rumah itu hanya merusak kebahagiaan yang timbul dari persahabatan yang murni. Dan petualangan persahabatan itu terus berlanjut dengan anggur sebagai pondasi harian yang tak pernah terlewatkan.   

Meski mereka hidup ugal-ugalan, liar, dan kadang berkelahi antar sesama kawan, namun mereka tetap menyisakan kebersahajaan sosial. Bajak Laut, seorang pencari kayu bakar yang hidup di kandang ayam, mereka ajak untuk tinggal di rumah Danny bersama anjing-anjingnya. Ketika ada satu nyonya muda beranak delapan dan tak punya suami, serta seorang nenek di dalamnya terancam kepalaran, mereka bantu dengan menyediakan berbagai jenis pangan hasil curian, meskipun tetap satu di antara mereka “mencicipi” si nyonya itu sampai mengandung lagi anak yang ke sembilan.

Anggur, makanan, dan cinta, meraka sesap di keseharian dengan riang dan tanpa beban. Setalah mereka menolong nyonya beranak delapan dan tanpa suami itu, mereka tidur nyenyak, sebab seperti kata penulisnya, “bantal terbaik adalah hati nurani yang tentram damai.” Bahkan ketika ada seorang kopral muda yang sakit hati karena istrinya direbut atasannya, mereka membela di kopral itu dan mendengarkan curahan hatinya. Bayi si kopral yang sakit mereka khawatirkan dan ditolong sebisa-bisa, meskipun bayi itu pada akhirnya tetap meninggal.

Ketika Danny, magnet utama di cerita ini meninggal dunia, mereka akhirnya pecah kongsi. Sebelum pergi, mereka membakar rumah Danny yang tinggal satu lagi. Ya, mereka bersiap untuk hidup dan bertualang lagi di bawah kolong langit yang itu-itu juga, sebab dengan atau tanpa rumah, sejatinya tak berbeda, hidup tetap akan berjalan dari satu hari ke hari yang lain, yang mungkin akan tetap mereka petik dengan jiwa bebas dan tanpa beban.     


Kiranya segalon anggur terbaik dari Dataran Tortilla layak diberikan kepada Djokolelono sebagai penerjemah buku ini. Ia begitu aduhai dalam memilih kata-kata padanan. Humor-homor segar dan tak terduga bertebaran di sepanjang cerita. Dari kadar kekocakan, buku ini hampir sama dengan kisah “Prajurit Schweik” karya Jaroslav Hasek yang juga diterjemahkan oleh Djokolelono. Dan Pustaka Jaya sebagai penerbit, juga boleh diguyur anggur terbaik, sebab berhasil memilih naskah-naskah sastra dunia terbaik dan menghadirkannya ke haribaan khalayak pembaca di sini. Pada akhirnya mari kita bersulang! [ ]

No comments: