Di Dataran Tortilla, di kampung yang kata Steinbeck
diisi rumah-rumah kayu dengan halaman tak terurus dan penuh semak, yang
terlepas dari nafsu perdagangan serta bebas dari keruwetan tata cara niaga
Amerika, tersebutlah beberapa orang pengangguran yang amat mengkhidmati kalimat
“carpe diem, quam minimum credula
postero” (petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok).
Mula-mula adalah Danny, seorang yang paling kuat
minum anggur di kolong langit. Ia bersama kawannya—Pilon, baru selesai menjalankan
tugas militer dari negara. Keduanya tak punya uang, tak punya rumah, tak punya
istri, menganggur, pendeknya hidup mereka menyedihkan. Pada kawannya Danny
berkata, “Di sinilah kita berdua, tak mempunyai rumah. Kita telah menyumbangkan
hidup kita pada negara, dan kini tak ada langit-langit untuk berteduh.”
Kemudian mereka bergantian minum anggur.
Namun kemudian Danny menerima warisan dua buah rumah
peninggalan kakeknya--yang satu ia tempati sendiri, yang satunya lagi ia
sewakan kepada Pilon. Karena tak punya uang dan akhirnya bingung untuk membayar
uang sewa, Pilon mengajak Pablo untuk menempati rumah tersebut. Hak sewa rumah
kemudian berpindah ke Pablo, dan ia juga tak punya uang. Maka terbentuklah sebuah
rantai setan yang tak putus.
Meski ketiganya pengangguran, namun bagi mereka
anggur adalah kewajiban harian, setiap hari tak boleh dilewatkan. Kerongkongan
mereka akan cepat kering tanpa meneguk anggur dari Torelli—penjual anggur di
Dataran Tortilla yang sering mereka tipu. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan
hidupnya, termasuk anggur yang mereka gilai? Semuanya dikerjakan hanya untuk
memenuhi kebutuhan satu hari saja, tak lebih. Ya, mereka benar-benar
mengoptimal waktu yang tengah mereka injak, memetik hari dengan kerja-kerja
absurd sambil menikmati anggur.
Ketika lapar, mereka mengincar ayam milik
tetangganya. Tak punya anggur, mereka bermuslihat dengan menggoda istri orang demi
segalon anggur. Jika suami si istri itu marah, mereka bersembunyi di
tebing-tebing. Butuh uang cash,
mereka bekerja memotong cumi-cumi di perusahaan milik seorang Tionghoa. Sebelum
menempati rumah, kalau marah mereka tak segan melempari jendela rumah orang.
Kemudian Jesus Maria Corcoran ikut bergabung.
Persekutuan pengangguran itu bertambah anggota. Meski Jesus Maria wataknya baik,
namun ia juga tak jauh beda dengan kawan-kawannya. Pada satu waktu, rumah yang disewa
dari Danny hangus terbakar, mereka lalu bergabung di rumah Danny yang satu
lagi. Sejenak hadir penyesalan, Danny pun marah, namun kemudian mereka insyaf
bahwa beban sewa rumah itu hanya merusak kebahagiaan yang timbul dari persahabatan
yang murni. Dan petualangan persahabatan itu terus berlanjut dengan anggur
sebagai pondasi harian yang tak pernah terlewatkan.
Meski mereka hidup ugal-ugalan, liar, dan kadang
berkelahi antar sesama kawan, namun mereka tetap menyisakan kebersahajaan
sosial. Bajak Laut, seorang pencari kayu bakar yang hidup di kandang ayam,
mereka ajak untuk tinggal di rumah Danny bersama anjing-anjingnya. Ketika ada
satu nyonya muda beranak delapan dan tak punya suami, serta seorang nenek di
dalamnya terancam kepalaran, mereka bantu dengan menyediakan berbagai jenis
pangan hasil curian, meskipun tetap satu di antara mereka “mencicipi” si nyonya
itu sampai mengandung lagi anak yang ke sembilan.
Anggur, makanan, dan cinta, meraka sesap di
keseharian dengan riang dan tanpa beban. Setalah mereka menolong nyonya beranak
delapan dan tanpa suami itu, mereka tidur nyenyak, sebab seperti kata
penulisnya, “bantal terbaik adalah hati nurani yang tentram damai.” Bahkan
ketika ada seorang kopral muda yang sakit hati karena istrinya direbut atasannya,
mereka membela di kopral itu dan mendengarkan curahan hatinya. Bayi si kopral
yang sakit mereka khawatirkan dan ditolong sebisa-bisa, meskipun bayi itu pada
akhirnya tetap meninggal.
Ketika Danny, magnet utama di cerita ini meninggal
dunia, mereka akhirnya pecah kongsi. Sebelum pergi, mereka membakar rumah Danny
yang tinggal satu lagi. Ya, mereka bersiap untuk hidup dan bertualang lagi di
bawah kolong langit yang itu-itu juga, sebab dengan atau tanpa rumah, sejatinya
tak berbeda, hidup tetap akan berjalan dari satu hari ke hari yang lain, yang
mungkin akan tetap mereka petik dengan jiwa bebas dan tanpa beban.
Kiranya segalon anggur terbaik dari Dataran Tortilla
layak diberikan kepada Djokolelono sebagai penerjemah buku ini. Ia begitu aduhai
dalam memilih kata-kata padanan. Humor-homor segar dan tak terduga bertebaran
di sepanjang cerita. Dari kadar kekocakan, buku ini hampir sama dengan kisah
“Prajurit Schweik” karya Jaroslav Hasek yang juga diterjemahkan oleh
Djokolelono. Dan Pustaka Jaya sebagai penerbit, juga boleh diguyur anggur
terbaik, sebab berhasil memilih naskah-naskah sastra dunia terbaik dan
menghadirkannya ke haribaan khalayak pembaca di sini. Pada akhirnya mari kita
bersulang! [ ]
No comments:
Post a Comment