Kalau sedang berjalan kaki di dalam
kota, lalu bertemu dengan tukang parkir, penjual kopi seduh, tukang cuanki,
atau tukang ojeg pangkalan; saya senang berbicara dengan mereka. Obrolan yang
tidak terlalu lama, berdurasi tak lebih satu gelas kopi dan dua batang rokok.
Lalu berjalan lagi. Sungguh, obrolan-obrolan itu tidak mengganggu, saya malah
menikmatinya.
Tapi jika dalam perjalalan jauh,
misalnya ke Jogja, duduk di bangku kereta api, lalu di sebelah ada bapak-bapak,
atau ibu-ibu, atau anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, terus terang saja
saya enggan ngobrol, sepatah katapun kalau bisa. Selama perjalanan jauh itu
saya lebih senang mendengarkan musik, membaca buku, atau hanya melihat ke luar,
memperhatikan kehidupan di balik jendela. Yang lebih menjadi persoalan
sebenarnya adalah karena saya sering melamun, dan tentu saja obrolan akan
membuyarkan lamunan yang tengah saya susun.
Barangkali kawan ingin tahu list lagu
yang kerap saya dengarkan ketika dalam perjalanan jauh, saya tak hapal semuanya,
tapi begini kira-kira : Ke sana (Float), Pulang (Float), Sementara (Float), Tender
(Blur), Sweet Disposition (The Temper Trap), Down River (The Temper Trap), Konservatif
(The Adams), Jangan Bakar Buku (ERK), Sebelah Mata (ERK), Rima Ababil (Homicide).
Masih banyak sebetulnya, tapi begitulah, sisanya saya lupa.
Selain itu, mungkin kawan juga ingin tahu apa
yang sering saya lamunkan? Saya beri tahu, sebaiknya kawan menahan rasa ingin
tahu itu, sebab tak semua hal harus diketahui orang lain. Ada ruang yang
sebaiknya tetap menjadi milik pribadi. Sebuah tempat yang kata Joko Pinurbo
sebagai : “Kau adalah jalan menuju sembunyi, sembuh dari sunyi.”
Kedua, mempublikasikan foto keluarga
di media sosial
Barangkali saya pernah, namun entah
kapan, sekali-dua memasang foto keluarga di media sosial. Kemarin saya mencoba
melacaknya di semua akun yang saya miliki, tapi tak menemukan jejak, yang ada
hanya tag-tag dari saudara se-susu dan se-darah. Kemudian saya bergumam, “Ya,
mungkin dari dulu saya tidak menyukai hal itu.”
Setiap lebaran, setiap ulang tahun,
setiap makan di luar rumah, setiap piknik, dan setiap-setiap yang lain; banyak
dari kawan saya yang gemar memajang foto keluarganya di media sosial. Hari-hari
ini, terutama di Path, foto-foto bertebaran. Bayi-bayi bermata jernih mengantri
di lini kala dengan caption-caption yang lucu, dan kadang-kadang seperti sedang
menggugah rasa haru.
Saya sering bertanya-tanya dan bukan
bertanya langsung, ihwal motivasi mengunggah dan berbagi di balik foto-foto
itu. Yang saya tahu, di lintasan komunikasi berbasis akun-akun itu; saya sedang
mewakili diri saya sendiri, dan bukan sebagai duta keluarga. Media sosial
sejatinya adalah jalanan, tempat orang yang kita kenal dan yang tidak kita
kenal berlalu-lalang, dari polisi sampai bromocorah. Bagi saya, agak riskan sebetulnya,
menghadirkan foto keluarga di tengah jalanan seperti itu.
Ketiga, membaca buku lewat e-book
Bagi Ivan Lanin, apalah arti e-book
ini, beliau pasti menggantinya menjadi buku elektronik. Kemarin, beliau juga
baru mengganti “screenshoot” menjadi “tangkapanlayar”. Tapi di sini, saya tetap
ingin memakai kata “e-book”.
Surat kabar cetak, hari-hari ini mulai
berguguran. Digital merangsek ke hampir semua lini kehidupan. Seorang wartawan
senior menulis esai tentang senjakala media cetak, tapi kemudian diserang oleh
(mula-mula) oleh seorang esais muda. Berita daring hadir di genggaman, setiap
saat, setiap waktu, dengan kecepatan yang (kadang-kadang) mengerikan. Artinya
kesempatan untuk jeda, untuk mengunyah informasi berkejaran dengan derasnya
arus.
Begitu pula dengan buku, orang-orang
mulai banyak yang mengkampanyekan penggunaan e-book dengan alasan yang sungguh
mulia; mengurangi penebangan pohon. Saya sendiri tidak pernah merasa nyaman
membaca buku yang hadir di layar elektronik. Kalau membaca tulisan yang lebih
pendek seperti esai, saya masih bisa menikmati. Namun untuk menghabiskan jumlah
halaman yang banyak seperti buku, saya angkat tangan.
Selain soal kenyamanan, buku cetak
juga lebih bisa menghadirkan sisi romantik, seperti misalnya; coretan titimangsa
beli, tandatangan, jejak stabilo, tulisan-tulisan yang sengaja dicantumkan di
pinggir rata kiri dan kanan, dan lain-lain. Ada jejak personal di dalamnya,
jejak yang rasa-rasanya tidak mudah didapatkan di e-book.
Keempat, mengikuti jadwal film baru
dan membicarakannya
Tak pernah sengaja mendengarkan
kawan-kawan yang tengah membicarakan film terbaru Star Wars baru-baru ini,
namun rasanya saya sudah hampir muntah. Bukan filmnya yang membuat saya mual,
tapi cara mereka mengikuti, menyambut, dan membicarakannya, lengkap dengan
saling mengingatkan tentang (bagi mereka) bahaya laten spoiler.
Ada pula seorang kawan yang sangat
rajin menunggu tayang perdana (premiere) setiap film yang akan hadir di
bioskop. Sehari saja terlewat, bagi dia hukumnya haram. Premiere adalah harga
mati. Dia pasti punya pengalaman yang berkesan setiap kali menonton film pada
tayang perdana itu, kesan yang tak saya pahami ujung pangkalnya.
Saya juga rajin menonton film
sebetulnya, hanya saja menempuh jalan yang berbeda. Saya abai pada jadwal
tayang film, juga tak membicarakannya dengan siapa pun, kecuali sangat sedikit.
Buat saya film adalah tentang bagaimana kita menikmati kisah. Dan kisah, kapan
pun ia terjadi, tak pernah menjadi basi. Lagi pula kata “basi” sangat
dipengaruhi oleh persepsi.
Maka begitulah, seperti juga membaca,
bagi saya menonton adalah salah satu pengalaman personal yang tidak pernah saya
rayakan bersama orang lain. Nonton bareng atau berdua memang sesekali pernah,
namun saya tak menganggapnya sebagai perayaan, itu hanya sebatas sesaji bagi
ritus perkawanan dan percintaan.
Kelima, pergi ke toko buku tidak
sendirian
Tahu kan Bella Swan? Ya, gadis cantik
yang kleyengan oleh vampir itu sekali waktu pernah menolak dua orang kawannya
untuk menemaninya pergi ke toko buku, “Kukatakan akan
menemui mereka di restoran satu jam lagi---aku mau mencari toko buku. mereka
sebenarnya bersedia ikut denganku, tapi aku menyuruh mereka
bersenang-senang---mereka tak tahu betapa asyiknya aku bila sudah dikelilingi
buku-buku, sesuatu yang lebih suka kulakukan sendirian.”
Persis si Bella, saya pun lebih nyaman
sendirian jika pergi ke toko buku. Sekali waktu, tanpa disengaja, saya bertemu
dua orang kawan di suatu tempat dekat toko buku. Saya memang hendak belanja
buku, ya belanja, maklum uang sedang banyak sementara kebutuhan hampir tidak
ada. Karena mereka juga sedang tidak punya jadwal, akhirnya turut serta. Dan
tahu kau, kawan? Sepanjang di toko buku itu mereka terus saja membuntuti saya,
bertanya buku apa yang hendak saya beli, dan sesekali mereka pun meminta
pertimbangan saya untuk memutuskan membeli buku atau tidak. Alangkah tidak
nyaman. Sebelum mendapatkan semua buku yang saya cari, saya buru-buru ke kasir,
menyelesaikan pembayaran, kemudian pulang.
Seperti juga menonton film, bagi saya pergi
ke toko buku lebih senang dilakukan sendirian. Saya bisa berjam-jam di sana,
membaca banyak sekali narasi di cover belakang buku, menimbang keputusan
pembelian, atau sesekali dikejutkan dengan perjumpaan dengan buku yang sudah
lama diincar namun peredarannya sudah sedikit. Hal-hal itu tidak bisa saya
lakukan jika ada orang lain yang menemani. Beberapa kawan yang sudah tahu kebiasaan
saya ini, jika kebetulan bertemu di toko buku, mereka selalu hanya menyapa dan
pergi lagi ke sudut rak yang lain. Ya, mereka adalah kawan-kawan yang layak
ditraktir sebotol Bintang dingin.
Keenam, mengucapkan selamat ulang
tahun dan yang lainnya
Setiapkali ulang tahun, saya selalu
gagap menerima beberapa ucapan selamat. Bukan apa-apa, meskipun bergaul di
lingkungan yang terbiasa dengan segala macam ucapan selamat, namun sejak kecil
saya tak pernah mengalaminya. Ibu bapak tak sekali pun pernah mengucapkan hal
itu. Begitu pun saudara, baru belakangan saja mereka kadang-kadang mengikuti
kebiasaan orang banyak.
Maka kemudian saya tak tahu dan tak
mau tahu tanggal kelahiran siapa pun selain diri saya sendiri. Tanggal kelahiran
sendiri pun lebih karena Facebook memberi tahu, sebab dulu saya pernah
mencantumkannya. Dan begitulah, setiap kali tanggal itu datang dan kawan-kawan
memberi ucapan selamat, saya selalu gagap, canggung. Sama ketika kawan-kawan berulang
tahun, saya biasanya sangat jarang mengucapkan selamat.
Begitu pula pada momen-momen lain,
saya sangat jarang atau bahkan tidak pernah mengucapkan; Selamat Idul Fitri,
Selamat Natal, Selamat atas diwisuda, Selamat atas kelahiran anak, selamat atas
pernikahan, dll. Buat saya, meski ragam ucapan selamat itu adalah salah satu
bumbu dalam kehidupan sosial, namun seringkali hanya jatuh sebagai seremoni
belaka, dan tak bermakna apa-apa.
Sampai hari ini, (sepanjang yang saya
ingat) saya tak punya masalah pribadi dengan keluarga maupun kawan-kawan. Jadi pelit
ucapan selamat tak membuat kehidupan sosial saya koyak karenanya. [ ]
No comments:
Post a Comment