16 November 2015

Mandiminyak dan Alina


Di Cigugur yang sepi dan banyak jangkrik pasca hujan mengguyur, saya membayangkan kisah Mandiminyak dan Pwah Rababu, serta Tamperan dan Dewi Pangrenyep. Kawan-kawan telah terbang dalam mimpi entah. Dengkuran bersahut-sahutan, di luar terdengar suara burung hantu. Rokok tinggal empat batang, sementara kebencian mulai tumbuh subur.

Darurat bir, darurat kopi. Asap bergulung-gulung. Saya teringat suasana di pantai timur Pangandaran. Ombak berkejaran, gemuruhnya abadi. Langit jingga di barat, dan angin bertiup entah dari arah mana. Seorang pegawai bar datang mengantarkan minuman, wajahnya tawar, barangkali dia telah bosan dengan laut.

Seorang penunggang kuda lewat di kejauhan, tapi dia bukan Mandiminyak yang sepenuh birahi hendak merayu Pwah Rebabu. Juga bukan Tamperan yang tergesa-gesa berlari menghindari pasukan Ki Balangantrang yang mengejarnya dengan anak-anak panah. Ya, dia bukan keduanya. Barangkali dia hanya manusia biasa yang bekerja sepenuh peluh dan merindukan rumah; tempat kedamaian mula-mula digulirkan.

Saya sepenuh insyaf, memandang ke langit yang mulai gelap. Lalu mencari bintangnya AT. Mahmud untuk disimpan buat si penyejuk mata di waktu entah. Angan-angan menderas, selayak aliran sungai Ciateul yang jernih. Seseorang mengajak bermain catur, tapi saya malas. Pada haribaan kata saya bersandar, sebab ia yang paling setia menadah segala gelisah.

Duduk di teras malam hari, orang gila lewat. Lalu ibu-ibu yang baru pulang dari mesjid. Anjing kampung berjalan tenang, barangkali ia tengah merindukan perburuan babi hutan yang seru. Dengkuran masih bersahut-sahutan, dan kopi tinggal tetes terakhir. Saya merindukan Jogja; tempat orang-orang perbukuan berselisih dan bersengketa.

Kantor polisi terlihat di kejauhan, patung macannya mirip kucing. Kata Acep, si Kabayan itu mirip Abu Nawas dan Hoja Nasrudin. Ia sesungguhnya bergerak di tataran isoterik, nilai tersimpan di lapisan yang agak rumit. Tapi apakah nilai bisa dimonopoli? Saya tidak setuju. Benar kata Pram, jangan pernah menyepelekan manusia.

Tumpukan dokumen minta dibaca, silsilah dan tulisan tangan yang buram. Ini kerja menyigi kesadaran, bahwa sejarah kampung mesti ada penjaganya. Gempa sebentar, pintu garasi berderak-derak. Tapi gempa sesungguhnya berada jauh di sana, di tempat yang paling tersembunyi. Saya merindukan Alina. [ ]

No comments: