Di Cigugur
yang sepi dan banyak jangkrik pasca hujan mengguyur, saya membayangkan kisah Mandiminyak
dan Pwah Rababu, serta Tamperan dan Dewi Pangrenyep. Kawan-kawan telah terbang
dalam mimpi entah. Dengkuran bersahut-sahutan, di luar terdengar suara burung
hantu. Rokok tinggal empat batang, sementara kebencian mulai tumbuh subur.
Darurat bir,
darurat kopi. Asap bergulung-gulung. Saya teringat suasana di pantai timur Pangandaran. Ombak berkejaran, gemuruhnya abadi. Langit jingga di barat, dan
angin bertiup entah dari arah mana. Seorang pegawai bar datang mengantarkan
minuman, wajahnya tawar, barangkali dia telah bosan dengan laut.
Seorang
penunggang kuda lewat di kejauhan, tapi dia bukan Mandiminyak yang sepenuh
birahi hendak merayu Pwah Rebabu. Juga bukan Tamperan yang tergesa-gesa berlari
menghindari pasukan Ki Balangantrang yang mengejarnya dengan anak-anak panah.
Ya, dia bukan keduanya. Barangkali dia hanya manusia biasa yang bekerja sepenuh
peluh dan merindukan rumah; tempat kedamaian mula-mula digulirkan.
Saya sepenuh
insyaf, memandang ke langit yang mulai gelap. Lalu mencari bintangnya AT.
Mahmud untuk disimpan buat si penyejuk mata di waktu entah. Angan-angan
menderas, selayak aliran sungai Ciateul yang jernih. Seseorang mengajak bermain
catur, tapi saya malas. Pada haribaan kata saya bersandar, sebab ia yang paling
setia menadah segala gelisah.
Duduk di
teras malam hari, orang gila lewat. Lalu ibu-ibu yang baru pulang dari mesjid.
Anjing kampung berjalan tenang, barangkali ia tengah merindukan perburuan babi
hutan yang seru. Dengkuran masih bersahut-sahutan, dan kopi tinggal tetes
terakhir. Saya merindukan Jogja; tempat orang-orang perbukuan berselisih dan
bersengketa.
Kantor
polisi terlihat di kejauhan, patung macannya mirip kucing. Kata Acep, si
Kabayan itu mirip Abu Nawas dan Hoja Nasrudin. Ia sesungguhnya bergerak di
tataran isoterik, nilai tersimpan di lapisan yang agak rumit. Tapi apakah nilai
bisa dimonopoli? Saya tidak setuju. Benar kata Pram, jangan pernah menyepelekan
manusia.
Tumpukan
dokumen minta dibaca, silsilah dan tulisan tangan yang buram. Ini kerja menyigi
kesadaran, bahwa sejarah kampung mesti ada penjaganya. Gempa sebentar, pintu
garasi berderak-derak. Tapi gempa sesungguhnya berada jauh di sana, di tempat
yang paling tersembunyi. Saya merindukan Alina. [ ]
No comments:
Post a Comment