"Cikaracak ninggang batu, lila-lila jadi legok." Bagi saya, ini adalah sikap air yang konsisten dan tak hendak menonjolkan diri. Ia dengan tetes-tetesnya, begitu sabar menatah batu tanpa kegaduhan. Kebosanan yang berparade di titian waktu, ia lawan dengan sikap istiqomah. Kerjanya kemudian membuahkan hasil, batu akhirnya menyerah. Banyak sekali kerja-kerja seperti ini yang dilakukan oleh benda-benda tak bernyawa. Jarum jam misalnya, ia terus saja berputar, meski tak sedikit yang mengabaikannya, tahu-tahu banyak manusia yang merasa rugi karena kehilangan banyak waktu.
Orang-orang yang kemudian menjadi ahli atau pakar di bidangnya, semuanya ditempa lewat kerja panjang dan berulang. Mereka seperti juga orang-orang kebanyakan, melaluinya dengan serangkaian kegagalan, namun sikap tak hendak menyerah yang menjadi pembeda. Orang-orang seperti ini sejatinya tak membutuhkan sorot kamera media, sebab tanpa itu pun riwayat panjangnya telah menjadi lentera; tempat orang bertanya atau sekadar menyapa.
Konsistensi atau istiqomah dalam kerja-kerja kecil yang panjang, sejatinya adalah gerakan menyalakan lentera. Ia tak butuh bendera untuk dikibar-kibarkan agar dilihat orang lain, sebab dalam dirinya ada dian yang tak kunjung padam. Dian ini bisa jadi penerang di tikungan jalan, obor di jalan yang tak lempang, atau kerlip cahaya di gulita masa. Sumbunya akan tetap panjang seiring dengan daya tahannya untuk tetap bergerak, terus bekerja tanpa menoleh kiri kanan untuk mengintai siapa saja yang memperhatikannya.
Ada beberapa kisah tentang orang yang menghancurkan batu demi mengalirkan air ke perkampungan. Ada juga yang berkeliling pakai sepeda untuk membagi-bagikan buku kepada warga sekitar. Mereka pada mulanya tak dihiraukan, bahkan mungkin ada yang menganggapnya aneh. Namun lagi-lagi waktu membuktikan, bahwa tak ada kerja yang percuma jika dilakukan dengan sepenuh daya yang tak lelah. Ya, karena memang jarak ribuan kilometer pun pada awalnya ditempuh dari langkah pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.
Hari-hari ini ketika begitu banyak gerakan yang menggelepar di tengah jalan, kehabisan nafas sebelum waktunya, atau mati mengenaskan tanpa meninggalkan bekas; barangkali salah satu penyebabnya karena niat awalnya keliru. Seperti kehidupan yang entah kapan berujung, sebuah gerakan juga semestinya sadar dan bersiap untuk liku yang panjang. Ini bukan lari jarak pendek yang akan segera disambut sorak, namun jarak jauh yang memerlukan kesetiaan dan kesabaran.
Maka di titik ini bendera tak perlu dikibar-kibarkan, sebab angin pun segan bertiup bagi sebuah gerakan instan. Bekerjalah terus sepenuh minat dan dedikasi, nanti riwayat akan menatahnya sendiri. Tak perlu berdandan menor, jadilah diri sendiri tanpa topeng-topeng. Siapa yang bertahan lama, kelak akan bergema tanpa perlu pengeras suara. Jadi--meminjam Chairil, "berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian." [ ]
No comments:
Post a Comment