Aceh ialah riwayat panjang
tentang luka. Negeri Serambi Mekah ini tak lekang dihajar konflik, sejak dari
masa kolonialisme sampai pasca tsunami dahsyat di penghujung 2004, gejolak
selalu ada. Kabar yang menguar ke luar hampir selalu diwakili oleh media.
Berita bertubi-tubi di koran, majalah, radio, dan layar televisi. Sangat
sedikit yang mengabarkannya melalui karya sastra. Pendekatan hingar-bingar
media kerap tak menyisakan ruang untuk kisah, yang ada hanya timbunan
peristiwa.
Dalam kondisi seperti ini,
Azhari--seorang pemuda Aceh, datang dengan berbagai kisah yang memotret
serangkaian luka dan kepiluan yang bersemayam di tanah kelahirannya.
Dalam rentang tahun 2001 sampai
2004, beberapa cerita pendeknya kerap dimuat di Koran Tempo, Jawa Pos, Media
Indonesia, dan Kompas. Ia menelusup di antara teks berita yang terhampar di
surat kabar. Karya yang tercecer tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku
oleh penerbit AKYPress, dan diberi judul “Perempuan Pala”.
Ada 13 cerita pendek yang
dihimpun di buku tersebut. Semuanya berkisah tentang Aceh dengan segala cabik
dan bilurnya. Benang merah yang diceritakan Azhari selalu berpangkal pada
lembaga kehidupan yang mula-mula, yaitu keluarga. Utamanya tentang ayah dan ibu
yang hubungannya menjadi koyak ditelikung konflik.
Maka tak heran jika di halaman
persembahan, Azhari menulis: “Untuk perempuan Aceh, dari kampung manapun, yang
sedang menunggu lelakinya pulang. Kelak dari ingatan dan mulut kalian akan
melahirkan banyak cerita.”
Sebuah ungkapan yang pilu dan
begitu mengharukan.
Pada kisah “Yang Dibalut Lumut”,
menyeruak dengan tajam aroma kehilangan. Azhari mengisahkan tentang mayat-mayat
yang mengapung di sungai, begitu banyak, sampai kehadirannya sudah tidak lagi
memicu kekagetan. Hanya satu yang dikhawatirkan Ranie—tokoh utamanya, yaitu
kalau bapaknya yang telah hilang mengapung menjadi mayat di sungai itu. Ibunya
yang gila, atau dalam bahasa Ranie--“Sebenarnya sejak bapak diculik, ibu memang
agak payah, suka mengurung diri di kamar, tak hendak mengerjakan sesuatu
apapun,” selalu ia beri ikan bakar, sebab “Ibuku gila, kata orang. Tapi orang
gila juga perlu makan kan?”
Ibu Ranie, perempuan yang kerap
mengurung diri pasca suaminya diculik dan tak pernah kembali itu, adalah wujud
nyata dari kehilangan yang mendalam. Perempuan Aceh, yang meskipun dalam
berbagai narasi sejarah diwakili oleh karakter yang kuat semacam Cut Nyak
Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Inong Balee—baik sebagai pasukan janda-janda
pahlawan pimpinan Malahayati, maupun bagian dari laskar GAM, namun tak sedikit
juga yang tak berdaya di hadapan angkara. Mereka, semacam ibu Ranie itu, adalah
korban dari kobar perang yang terus berkecamuk.
Dalam kisah lain yang berjudul
“Hikayat Asam Pedas”, kali ini seorang nenek yang miskin mesti diringkus oleh
pihak yang tengah bertikai. Mulanya Nenek Sani hendak membuat Asam
Pedas—masakan khas Aceh yang terbuat dari krimen, ikan laut dengan banyak
tulang, dan bumbu rempah-rempah. Karena miskin, ia kemudian mengumpulkan bumbu
Asam Pedas itu dari para tetangganya satu persatu. Adapun ikan krimen ia
dapatkan dari Pawang Lemplok (seseorang yang dimusuhi orang gunung karena
dianggap sebagai kaki tangan penguasa). Maka ketika ia memasak Asam Pedas, dan
masakannya itu hampir matang sempurna—sebelum bisa dinikmati, Nenak Sani keburu
ditangkap orang gunung yang mencurigai dirinya waktu menemui Pawang Lemplok.
Ya, Nenek Sani adalah contoh tentang orang-orang yang tidak tahu apa-apa namun
ikut menjadi korban di tengah konflik yang terjadi.
Ada pula cerita “Menggambar
Pembunuh Bapak”. Kisah ini kiranya adalah pendadaran yang jitu dalam
menggambarkan kondisi Aceh pasca konflik berkepanjangan. Binhad Nurrohmat dalam
sebuah catatannya tentang buku “Perempuan Pala” menulis, “Cerita ini gambaran
yang menyentuh tentang tragedi yang banyak menimpa lelaki dewasa di Aceh yang
terbunuh maupun hilang. Cerita ini secara samar mengatakan tentang hilangnya
atau terputusnya tali antargenerasi lewat cara yang sangat memilukan. Ada bibit
dendam dan juga percik rindu yang memerihkan batin manusia yang telah
tertorehkan sejak usia dini, dan inilah yang kemudian bisa menajid bom waktu
yang kelak meledak.”
Buku “Perempuan Pala” karya
Azhari yang menjelentrehkan luka Aceh, rupanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul “Nutmeg Woman” dan terbit di tahun 2015. Beberapa
cerita pendek karya penulis kelahiran 1981 ini berhasil meraih penghargaan, di
antaranya; “Hikayat Kura-kura Berjanggut” terpilih sebagai salah satu cerita
pendek terbaik Indonesia 2009 versi Pena Kencana, sementara “Pengantar Singkat
untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin” terpilih di tahu berikutnya pada
penghargaan yang sama. Sampai hari ini, selain bahasa Inggris, beberapa karya
Azhari telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Jerman, Belanda, dan
Swedia.
Kisah karya penulis yang
pernah menerima fellowship dari International Institute for Asian Studies ini
akan hadir di Frankfurt Book Fair 2015, Oktober mendatang. Keberanian untuk
menghadirkan luka Aceh di hadapan publik dunia, mencerminkan tentang kondisi
Indonesia hari ini, di mana masyarakat dan juga pemerintah telah begitu terbuka
terhadap riwayat berdarah di Negeri Serambi Mekah tersebut. Tujuannya tentu
bukan hendak menyulut luka baru, namun meneguhkan rekonsiliasi antar pihak yang
bertikai, dengan sejumput pesan; bahwa konflik tidak memberikan apa-apa selain
kepiluan yang berparade di titian waktu dan generasi. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment