18 October 2015

Andrea Hirata dan Kemiskinan yang Tak Hendak Menyerah


Indonesia sebagai negara kepulauan tentu mempunyai banyak sekali pemerintah daerah. Dan karena bukan berbentuk federasi atau negara bagian, maka ada yang namanya pemerintah pusat. Pembagian pemerintahan ini pada akhirnya berimbas juga kepada kehidupan masyarakat, terutama masalah kesejahteraan, sebab anggaran di atur di pusat, dan dana yang diterima daerah kerap tak sesuai dengan kebutuhan, artinya sering kekurangan.

Kondisi ini, sebelum akhirnya peraturan otonomi daerah diberlakukan, sering memicu ketidakpuasan yang beberapa di antaranya—bercampur dengan berbagai kepentingan, menimbulkan protes dan bahkan pemberontakan. Wajah ketidakadilan antara pusat dan daerah, yang paling jelas tercermin dari kemiskinan. Miskin sarana pendidikan, miskin akses informasi, dan lain-lain.

Tetralogi kisah yang ditulis oleh Andrea Hirata, terutama bagian “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”, mengkritisi kondisi ketimpangan ini dengan gaya bertutur yang meskipun telak menghantam, namun tetap enak untuk dibaca. Andrea menyatukan tangis dan tawa, pilu dan gembira, serta kegetiran yang tetap melahirkan senyum meskipun pahit.

Sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia, Andrea pun dengan sangat jelas menulis tentang potensi dan juga tragedi yang disebabkan oleh perusahaan timah yang bercokol di Belitung sejak zaman kolonial. Watak korporasi yang kerap gagal mensejahterakan masyarakat setempat, di mana mereka menggali potensi alam dan menjalankan bisnisnya dengan keuntungan besar, rupanya berlaku juga di tambang timah tersebut.  

Masa kecil para tokoh Lakar Pelangi, yang sekolah di lembaga pendidikan Islam—yang sebetulnya besar, namun di Belitung (sebagai wakil yang mencerminkan daerah) kondisinya begitu memprihatinkan. SD Muhammadiyah harus terseok-seok bersaing dengan lembaga pendidikan negeri yang disokong oleh negara. Kata “bersaing” sebetulnya terlalu mewah, sebab Andrea menulisnya dengan deskripsi yang begitu mencolok.

Anak-anak para pegawai PN. Timah, sebagai generasi yang diberkahi rahmat korporasi, mendapatkan fasilitas pendidikan yang sangat lengkap. Sedangkan tetangganya—yaitu sekolah para Laskar Pelangi, untuk bertahan hidup saja mesti bertarung dengan kecemasan yang menggantang. Sekolah itu, pada satu titik waktu, mesti mempunyai minimal 10 orang murid sebagai syarat agar tak ditutup oleh pemerintah.

“Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting, karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan, bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang, maka sekolah paling tua di Belitong itu harus tutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak jadi sekolah.”

Bayangkan, sekolah seperti apa yang hampir ditutup gara-gara kekurangan murid? Ini barangkali bisa ditafsirkan sebagai kemiskinan yang menahun. Hal ini kemudian diperkuat oleh Andrea dengan penggambaran sekolah yang memang lebih dari mengkhawatirkan :  

“Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.”

Pada “kambing yang senewen ingin kawin”, Andrea jelas tengah melontarkan parodi. Ia mencoba mengakrabi kemiskinan dengan kalimat yang berpotensi mengundang senyuman. Tokoh-tokoh yang dibangun pun--terutama anak-anak Laskar Pelangi, direka sedemikian rupa sehingga tampil dalam wujud yang komikal.

Namun demikian, SD Muhammadiyah yang miskin dan juga dihuni oleh murid-murid miskin, mempunyai sosok yang mampu mengobarkan semangat belajar. Pak Harfan yang menjabat sebagai kelapa sekolah, dan Bu Mus yang menjadi guru anak-anak tersebut—dalam sosoknya yang sangat heroik, adalah para penyelamat nasib pendidikan yang berada dalam situasi sulit. Dua tokoh ini semacam bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan wajah pendidikan.

Pada novel “Laskar Pelangi”, ada dua kekuatan yang menelikung sekaligus. Pertama, negara yang abai terhadap pemerataan kualitas pendidikan di daerah, dan kedua adalah korporasi yang diwakili oleh PN. Timah; mengeksplotasi alam namun kurang peduli dengan kehidupan warga di sekitarnya, terutama pendidikan.

Tapi kemudian, meskipun berada di situasi tersudut seperti ini, Andrea menghamparkan cara bertahan yang meskipun getir, namun melambungkan inspirasi. Bagaimana misalnya Lintang, seorang anak dari nelayan miskin, namun dikaruniai kegigihan belajar dan kecerdasan yang gilang gemilang. Atau Harun, sosok yang terbelakang secara mental, hadir dengan keluguan dan kebaikan.

Sedangkan pada “Sang Pemimpi”, Andrea menghadirkan tokoh Arai yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Meski tak seberuntung Ikal—bocah yang sebetulnya dibesarkan oleh orangtua yang juga miskin, namun Arai tampil begitu mengesankan. Ia yang sebetulnya layak untuk meratapi hidup, namun justru menatahnya dengan keceriaan dan semangat yang meluap-luap. Ia justru yang kerap “menerangi” Ikal—kawan sekaligus saudaranya, ketika berada di posisi “gelap” karena kebodohan dan bimbang.

Di episode ini, Andrea lagi-lagi menegaskan, bahwa kemiskinan yang meringkus tidak serta merta menjadi sebab untuk menyerah pada hidup. Ada nilai yang tetap bisa digali dari keterbatasan. Dan Andrea dengan lihai meramunya menjadi narasi yang menarik. Lalu tiba-tiba saja penuli dari Belitung ini—meskipun tidak punya latar belakang sastra, menjelma menjadi pengarang yang karya-karya selalu ditunggu para pembaca.

Namun demikian, keberhasilan Andrea mewarnai dunia sastra Indonesia dengan penjualan buku yang mencengangkan, tetap tak bisa imun dari pisau kritik yang menghujam. Nurhady Sirimorok dalam bukunya yang berjudul “Laskar Pemimpi”, menggeledah karya-karya Andrea dengan begitu tajam dan pedas. Ia berpendapat bahwa kisah-kisah yang dihamparkan oleh Andrea terlalu memuja Barat, ia menulis bahwa polusi orientalisme begitu menyengat di dalamnya.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, kritik yang terbuhul dalam satu buku utuh inipun merupakan sumbangan berharga bagi dunia sastra Indonesia. Dengan kata lain, kekurangan karya Andrea berhasil menjadi pemantik bagi tradisi kritik sastra yang telah lama mati suri.

Karya-karya Andrea sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Oleh karena itu,  kiranya kehadiran “Laskar Pelangi” dan sekuelnya di gelaran Frankfurt Book Fair 2015 tidak terlampau mengagetkan. Satu hal yang terpenting dari kehadirannya yaitu bahwa isu pendidikan, di belahan dunia manapun, harus tetap menjadi perhatian. Ia tidak boleh menjadi monopoli pihak-pihak tertentu, namun mesti terdistribusi dengan baik.

Dalam film “Laskar Pelangi” besutan Riri Riza terdapat satu adegan yang barangkali menjadi inti pesan, yaitu ketika anak-anak Laskar Pelangi membacakan pasal terakhir dari Pancasila di dalam kelasnya yang menyerupai gudang kopra, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” [ ] 

PS : Tak sempat naik :)

No comments: