Indonesia
sebagai negara kepulauan tentu mempunyai banyak sekali pemerintah daerah. Dan
karena bukan berbentuk federasi atau negara bagian, maka ada yang namanya
pemerintah pusat. Pembagian pemerintahan ini pada akhirnya berimbas juga kepada
kehidupan masyarakat, terutama masalah kesejahteraan, sebab anggaran di atur di
pusat, dan dana yang diterima daerah kerap tak sesuai dengan kebutuhan, artinya
sering kekurangan.
Kondisi ini,
sebelum akhirnya peraturan otonomi daerah diberlakukan, sering memicu
ketidakpuasan yang beberapa di antaranya—bercampur dengan berbagai kepentingan,
menimbulkan protes dan bahkan pemberontakan. Wajah ketidakadilan antara pusat
dan daerah, yang paling jelas tercermin dari kemiskinan. Miskin sarana
pendidikan, miskin akses informasi, dan lain-lain.
Tetralogi
kisah yang ditulis oleh Andrea Hirata, terutama bagian “Laskar Pelangi” dan
“Sang Pemimpi”, mengkritisi kondisi ketimpangan ini dengan gaya bertutur yang
meskipun telak menghantam, namun tetap enak untuk dibaca. Andrea menyatukan
tangis dan tawa, pilu dan gembira, serta kegetiran yang tetap melahirkan senyum
meskipun pahit.
Sebagai
penghasil timah terbesar di Indonesia, Andrea pun dengan sangat jelas menulis
tentang potensi dan juga tragedi yang disebabkan oleh perusahaan timah yang
bercokol di Belitung sejak zaman kolonial. Watak korporasi yang kerap gagal mensejahterakan
masyarakat setempat, di mana mereka menggali potensi alam dan menjalankan
bisnisnya dengan keuntungan besar, rupanya berlaku juga di tambang timah
tersebut.
Masa kecil
para tokoh Lakar Pelangi, yang sekolah di lembaga pendidikan Islam—yang
sebetulnya besar, namun di Belitung (sebagai wakil yang mencerminkan daerah)
kondisinya begitu memprihatinkan. SD Muhammadiyah harus terseok-seok bersaing
dengan lembaga pendidikan negeri yang disokong oleh negara. Kata “bersaing”
sebetulnya terlalu mewah, sebab Andrea menulisnya dengan deskripsi yang begitu
mencolok.
Anak-anak
para pegawai PN. Timah, sebagai generasi yang diberkahi rahmat korporasi,
mendapatkan fasilitas pendidikan yang sangat lengkap. Sedangkan
tetangganya—yaitu sekolah para Laskar Pelangi, untuk bertahan hidup saja mesti
bertarung dengan kecemasan yang menggantang. Sekolah itu, pada satu titik waktu,
mesti mempunyai minimal 10 orang murid sebagai syarat agar tak ditutup oleh
pemerintah.
“Guru-guru
yang sederhana ini berada dalam situasi genting, karena Pengawas Sekolah dari
Depdikbud Sumsel telah memperingatkan, bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat
murid baru kurang dari sepuluh orang, maka sekolah paling tua di Belitong itu
harus tutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah
mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan
kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas
kalau-kalau kami tak jadi sekolah.”
Bayangkan,
sekolah seperti apa yang hampir ditutup gara-gara kekurangan murid? Ini
barangkali bisa ditafsirkan sebagai kemiskinan yang menahun. Hal ini kemudian
diperkuat oleh Andrea dengan penggambaran sekolah yang memang lebih dari
mengkhawatirkan :
“Tak susah
melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan
atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol
sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.”
Pada
“kambing yang senewen ingin kawin”, Andrea jelas tengah melontarkan parodi. Ia
mencoba mengakrabi kemiskinan dengan kalimat yang berpotensi mengundang
senyuman. Tokoh-tokoh yang dibangun pun--terutama anak-anak Laskar Pelangi,
direka sedemikian rupa sehingga tampil dalam wujud yang komikal.
Namun
demikian, SD Muhammadiyah yang miskin dan juga dihuni oleh murid-murid miskin,
mempunyai sosok yang mampu mengobarkan semangat belajar. Pak Harfan yang
menjabat sebagai kelapa sekolah, dan Bu Mus yang menjadi guru anak-anak
tersebut—dalam sosoknya yang sangat heroik, adalah para penyelamat nasib
pendidikan yang berada dalam situasi sulit. Dua tokoh ini semacam bentuk
perlawanan terhadap ketidakadilan wajah pendidikan.
Pada novel
“Laskar Pelangi”, ada dua kekuatan yang menelikung sekaligus. Pertama, negara
yang abai terhadap pemerataan kualitas pendidikan di daerah, dan kedua adalah
korporasi yang diwakili oleh PN. Timah; mengeksplotasi alam namun kurang peduli
dengan kehidupan warga di sekitarnya, terutama pendidikan.
Tapi
kemudian, meskipun berada di situasi tersudut seperti ini, Andrea menghamparkan
cara bertahan yang meskipun getir, namun melambungkan inspirasi. Bagaimana
misalnya Lintang, seorang anak dari nelayan miskin, namun dikaruniai kegigihan
belajar dan kecerdasan yang gilang gemilang. Atau Harun, sosok yang terbelakang
secara mental, hadir dengan keluguan dan kebaikan.
Sedangkan
pada “Sang Pemimpi”, Andrea menghadirkan tokoh Arai yang telah menjadi yatim
piatu sejak kecil. Meski tak seberuntung Ikal—bocah yang sebetulnya dibesarkan
oleh orangtua yang juga miskin, namun Arai tampil begitu mengesankan. Ia yang
sebetulnya layak untuk meratapi hidup, namun justru menatahnya dengan keceriaan
dan semangat yang meluap-luap. Ia justru yang kerap “menerangi” Ikal—kawan
sekaligus saudaranya, ketika berada di posisi “gelap” karena kebodohan dan
bimbang.
Di episode
ini, Andrea lagi-lagi menegaskan, bahwa kemiskinan yang meringkus tidak serta
merta menjadi sebab untuk menyerah pada hidup. Ada nilai yang tetap bisa digali
dari keterbatasan. Dan Andrea dengan lihai meramunya menjadi narasi yang menarik.
Lalu tiba-tiba saja penuli dari Belitung ini—meskipun tidak punya latar
belakang sastra, menjelma menjadi pengarang yang karya-karya selalu ditunggu
para pembaca.
Namun
demikian, keberhasilan Andrea mewarnai dunia sastra Indonesia dengan penjualan
buku yang mencengangkan, tetap tak bisa imun dari pisau kritik yang menghujam.
Nurhady Sirimorok dalam bukunya yang berjudul “Laskar Pemimpi”, menggeledah
karya-karya Andrea dengan begitu tajam dan pedas. Ia berpendapat bahwa
kisah-kisah yang dihamparkan oleh Andrea terlalu memuja Barat, ia menulis bahwa
polusi orientalisme begitu menyengat di dalamnya.
Jika dilihat
dari sudut pandang lain, kritik yang terbuhul dalam satu buku utuh inipun
merupakan sumbangan berharga bagi dunia sastra Indonesia. Dengan kata lain, kekurangan
karya Andrea berhasil menjadi pemantik bagi tradisi kritik sastra yang telah lama
mati suri.
Karya-karya
Andrea sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Oleh karena
itu, kiranya kehadiran “Laskar Pelangi”
dan sekuelnya di gelaran Frankfurt Book Fair 2015 tidak terlampau mengagetkan. Satu
hal yang terpenting dari kehadirannya yaitu bahwa isu pendidikan, di belahan
dunia manapun, harus tetap menjadi perhatian. Ia tidak boleh menjadi monopoli
pihak-pihak tertentu, namun mesti terdistribusi dengan baik.
Dalam film
“Laskar Pelangi” besutan Riri Riza terdapat satu adegan yang barangkali menjadi
inti pesan, yaitu ketika anak-anak Laskar Pelangi membacakan pasal terakhir
dari Pancasila di dalam kelasnya yang menyerupai gudang kopra, “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.” [ ]
PS : Tak sempat naik :)
No comments:
Post a Comment