1) Jalan Raya Pos Jalan Daendels
(Pramoedya Ananta Toer)
Dengan cara bertutur yang mengalir, Pram mencoba mengulas Jalan Raya Pos
yang memakan korban ribuan warga pribumi. Dari kota ke kota, tiap titik Pram
ulas lengkap dengan sejarah kerajaan pra kolonial, juga potensi masa lalunya. Ada
juga hal-hal yang sebetulnya tidak relevan dengan Jalan Raya Pos, tapi
dipaksakan untuk ditulis; seperti kisah pribadi si penulis ketika singgah di
Cirebon. Dari Anyer sampai Panarukan, Jalan Raya Pos terbentang dan menjadi
warisan penting bagi infrastruktur Pulau Jawa. Dan di jalan ini pula ribuan
manusia meregang nyawa.
2) Sekali Peristiwa di Banten Selatan
(Pramoedya Ananta Toer)
Ini adalah kisah yang disandarkan para hasil reportase singkat Pram ke
wilayah Banten Selatan; sebuah masyarakat yang miskin dan tertindas. Pemberontakan
panjang dari DI/TII masuk juga ke wilayah ini, dan masyarakat terseret menjadi
korban. Dengan latar waktu di sekitar tahun 50-an, kisah ini mencuatkan satu
kesadaran, bahwa penindasan dan kesewenang-wenangan dapat dilawan dengan
persatuan dan gotong royong. Dan kebenaran, walau bagaimanapun harus
diperjuangan. Pram menulis “Di mana-mana aku selalu dengar; yang benar juga
yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari
langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.”
3) Larasati (Pramoedya Ananta Toer)
“Kalau mati dengan berani. Kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian
tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” Roman “Larasati”
memotret kehidupan revolusi pasca proklamasi. Di dalamnya terhampar kisah yang
tidak hanya bait-bait kepahlawanan, namun juga sisi-sisi lain yang kerap
terabaikan, seperti; kemunafikan, pengkhianatan, dan percintaan. Para pelaku
revolusi, semuanya begulat di pusaran-pusaran seperti itu. Revolusi dalam
narasi yang dibangun oleh Pram, bukanlah sebuah periode suci yang steril dari polusi
omong kosong, bahkan sebaliknya. Pram dengan brilian menyigi revolusi dari
kacamata manusia-manusia republik.
4) Humor-humor Sufi (Massud Farzan)
Baru-baru ini di media sosial muncul kata “kurang piknik”, sebagai
sindiran bagi orang-orang yang, di antaranya; jika berbeda pendapat cepat
tersulut emosi. “Piknik” sebagai laku bersenang-senang adalah bentuk latihan
untuk mengendurkan urat syaraf. Dalam perspektif lain, “piknik” juga kerap
diartikan sebagai memperkaya wawasan dan berlatih mengontrol emosi. Dari sini,
frase “kurang piknik” kemudiaan dilekatkan. Sufi sebagai orang yang telah
mencapai derajat tertentu dalam koridor keagamaan, dalam teks-teks yang hadir
di keseharian, sering tampil dengan luwes, punya selera humor yang bagus, namun
mencuatkan petuah-petuah yang tak menggurui. Buku yang ditulis oleh Massud
Farzan ini mencatat hal yang demikian.
5) Manėhna (Sjarif Amin)
Syarif Amin alias Moehammad Koerdie adalah seorang sastrawan Sunda yang
sekaligus salah satu tokoh perintis pers Indonesia. “Manėhna” adalah salah satu karyanya dari sekian banyak buku yang
telah ia lahirkan. Buku ini berbahasa Sunda, bercerita tentang momentum.
Tentang waktu yang tersia-siakan, dan tak akan pernah kembali lagi. Adalah
seorang pemuda yang hatinya patah sebab tidak jadi menikah dengan kekasihnya.
Kegagalan itu disebabkan karena si pemuda tidak bisa memanfaatkan momentum
dengan baik. Ketika waktu telah lewat sedetik, maka sedetik sebelumnya telah
menjadi masalalu yang tak bisa disinggahi lagi.
6) Suara Penyair (Khalil Gibran)
Gibran di Indonesia begitu ramai diperbincangkan dan diapresiasi. Beberapa
grup band lokal tak segan untuk mengadopsi dan mengadaptasi syair-syairnya ke
dalam lirik lagu. Lebih dari itu, bahkan ada yang mengutipnya secara langsung
dan terang-terangan. Penyair kelahiran Lebanon ini memang begitu memesona. Cinta
ditakar dalam diksi-diksi dan kisah yang menggetarkan. Kebijaksanaan hidup
dihamparkan dalam syair-syair yang memukau. Di Indonesia, Gibran adalah salah satu
penyair asing yang karya-karyanya begitu terkenal, dan mungkin yang paling
populer.
7) Tuan Tanah Kawin Muda (LEKRA)
Lembaga kebudayaan yang diisi oleh para seniman organik ini, sekurangnya
dalam satu dekade kejayaannya telah menggoreskan riwayat penting dalam sejarah
Indonesia. Lekra bekerja dan menggarap ladang-ladang kebudayaan yang mata
airnya digali dari kehidupan rakyat sehari-hari, dari mulai seni rupa, tari,
drama, lundruk, puisi, dll. “Tuan Tanah Kawin Muda” merupakan kumpulan catatan
yang menjelaskan hubungan Lekra dengan seni rupa.
8) Perang, Cinta, dan Revolusi (Anton
Kurnia-ed)
Perang selamanya menyajikan kekerasan dan penderitaan. Kumpulan cerita
pendek dalam buku ini menghamparkan kengerian kisah perang dari berbagai sudut
pandang. Manusia yang hadir di pusarannya tak bisa menghindar, namun selalu
diberi insight sebagai mata pisau. Kiranya
sehimpunan kisah yang terbuhul dalam buku ini semacam catatan kontemplasi. Perenungan
dari dari riwayat perang yang berparade di sepanjang titian zaman. Sebuah
antologi yang hadir untuk melihat masa lalu, namun ditujukan agar masa kini tidak segelap waktu ke belakang.
9) Anak Tanah Air (Ajip Rosidi)
Ajip kerap menulis cerita pendek dan novel yang disandarkan pada kisah
hidupnya sendiri, “Anak Tanah Air” pun demikian. Jika kita membaca “Hidup Tanpa
Ijazah”, memoarnya yang diterbitkan pada ulang tahun dia yang ke-70, maka kisah
yang diceritakan di novel ini persis seperti yang dituturkan pada buku memoar,
hanya saja tokoh-tokoh yang hadir diberi nama lain. Dalam berbahasa, Ajip pun
tak hendak membagus-baguskan dengan bunga-bunga, ia begitu datar. Novel ini
sendiri membicarakan para seniman di pusaran politik Indonesia, yang akhirnya
membuat mereka terkutub-kutub.
10) Baruang ka nu Ngarora (Daeng
Kanduruan Ardiwinata)
Buku ini menceritakan tentang perbedaan kelas sosial yang berimbas kepada
perlakuan yang merugikan kepada pihak lain. Ujang Kusen, Nyi Rapiah, dan Aom
Usman adalah tokoh-tokoh yang dibangun oleh Ardiwinata untuk menjelentrehkan
persoalan ini. Periode ketika menak dan rakyat jelata jaraknya begitu jomplang,
Ardiwinata—yang punya darah Makassar, menuliskannya dalam cerita yang begitu
menohok. Buku yang terbit pertama kali pada masa Balai Pustaka ini, menambah
daftar kisah tentang pertentangan kelas, sesuatu yang selama ini dikenal
berasal dari tanah Minang, cerita “Siti Nurbaya” misalnya. “Baruang ka nu
Ngarora” kiranya pengecualian, kisah dari tanah Sunda yang menyoroti
ketimpangan kelas. [ ]
No comments:
Post a Comment