Sejak novel “Cala Ibi” terbit di tahun
2003, Nukila Amal langsung menyita perhatian publik sastra Indonesia. Karyanya
disebut-sebut sebagai salah satu alternatif baru dalam gaya bertutur dan gaya
ungkap. Dalam banyak selubung makna yang diracik dengan diksi dan rima yang kadang
mengagetkan, “Cala Ibi” banyak mendapat pujian. Novel ini kemudian berhasil
masuk 5 besar Khatulistiwa Literary Award.
Dua
tahun berikutnya, karya kedua Nukila Amal, yaitu “Laluba” terbit. Kali ini
kisah yang disajikan dalam bentuk kumpulan cerita pendek. Dan lagi-lagi, karya
ini pun banyak mengundang perhatian. Bambang Sugiharto—Guru Besar Ilmu Filsafat
Universitas Parahyangan, menyebutnya sebagai “Cerita-cerita pendek Nukila,
menyeret kita ke ceruk batin manusia yang paling dalam dan misterius.
Membacanya adalah sebuah pengalaman kebahasaan yang pelik, menyentuh, indah dan
menakjubkan.”
Sementara
Laksmi Pamuntjak berkomentar, “Prosa
Nukila Amal tidak hanya memuat puisi dalam presisi rima dan diksi; tetapi juga
menggunakan metafor yang segar, kerap mengagetkan, cermat dan liris, yang
terpadu ke dalam struktur yang ketat bahkan nyaris matematis.”
Namun
demikian, kisah yang dihamparkan oleh Nukila Amal, karena kerap menggunakan
bahasa yang cukup pelik, berpeluang membuat pembacanya gagap dalam memahami apa
yang hendak ia sampaikan. Dalam catatan sastra-indonesia.com, Budi Darma
memberikan penilaian begini, “Bahasa
metafora yang digunakan Nukila Amal serba menabrak logika. Karena mimpi dipuja,
realitas ditabrak, realitas digempur, sebagai konsekuensinya filsafat diusung
masuk.”
Dalam frase “mimpi dipuja” dan
“realitas digempur”, kiranya memang menjadi tak mudah bagi pembaca untuk mengikuti
sulur cerita yang berwajah seperti itu. Bahasa sebagai alat komunikasi, yang
muaranya untuk bisa saling memahami maksud para penuturnya, rupanya punya wajah
lain, ia bisa juga menjadi pelik dan menabrak logika. Dalam timbangan seperti
inilah kisah-kisah karya Nukila Amal ditatah.
Kondisi ini akhirnya melahirkan
beberapa kutub pembaca. Sebagian—yang kebanyakan para sastrawan, tak jeri
memberikan pujian. Sementara sebagian lagi, yang mayoritas pembaca umum, malah meberikan
penilaian sebaliknya. Memang tidak sampai dinilai buruk, namun bagi pembaca
yang tak biasa dengan kemungkinan dan lorong-lorong bahasa, karya Nukila Amal
dinilainya sebagai kisah yang lelah untuk diikuti.
Pemerhati sastra, Maman S. Mahayana menjelaskan
bahwa persoalan kualitas pada karya sastra memang terbuka. Artinya, karya
seperti apapun senantiasa dapat didiskusikan. “Karena itu, seorang penulis
tidak boleh surut oleh komentar, kritik, dan penilaian pembaca maupun kritikus.
Mereka memang punya hak dan otoritas, tetapi hakikat teks adalah ruang terbuka
yang senantiasa mengundang siapapun untuk datang dan menilainya. Gak usah
kuatir, penulis mengalir dalam imajinasi, dan kreasi berpuncak pada gunung
religi dalam beragam wajah,” ungkapnya.
Dan di sisi lain, Maman juga
menjelaskan, bahwa “Teks, bagaimanapun indahnya sebagaimana dimaksud oleh pengarang
dan penulis, tetapi tetap berpulang sejauh mana ia bermakna bagi pembaca.”
Pada “Cala Ibi” dan “Laluba”,
terhampar berbagai kisah yang barangkali akan membawa para pembaca kepada
pengalaman bahasa yang, meskipun terkadang pelik, namun seperti kata Manneke
Budiman--setiap tapak kata adalah
elan vital yang menyempurnakan dan menggenapi.
Selain
dua karya tersebut, Nukila Amal juga--bersama Hanafi, di tahun 2013 sempat
menulis buku “Mirah Mini; Hidupmu, Keajaibanmu”,
dan satu cerita pendeknya terpilih dalam antologi cerita pendek Kompas yang
terbit dengan judul “Smokol” di tahun 2009.
Hari-hari ini, Indonesia sebagai Tamu
Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, tengah bersiap dengan kesibukan yang
mendorong para pelakunya semakin bergegas. Di puncak acara nanti, karya-karya
Nukila Amal akan dipamerkan di hadapan publik dunia yang hadir di Frankfurt. Inilah
satu lagi karya penulis dari semesta wajah sastra Indonesia yang berani mengekspolasi
kekayaan bahasa. [irf]
PS : Tak sempat naik :)
No comments:
Post a Comment