Tayangan di televisi Indonesia,
hari ini, kerap dianggap banyak menyajikan program yang tak bermutu. Perilaku
menyimpang anak-anak, atau kecenderungan “dewasa” sebelum waktunya, seringkali
dilekatkan kepada media populer tersebut yang daya jangkaunya memang sangat
“mengerikan”. Siapapun bisa mengakses tayangan televisi.
Remotivi, sebuah lembaga pusat
kajian media dan komunikasi, pernah membuat video yang menyindir dengan pedas
kualitas dan posisi tv yang nyaris nir-manfaat. Dalam video tersebut anak-anak
SD bernyanyi, liriknya sebagai berikut :
“Kita jadi bisa pacaran dan
ciuman karena siapa? / Kita jadi tahu masalah artis cerai karena siapa? / Kita
pintar dandan dibimbing tv / Kita jadi lebay dididik tv / tv bak pelita pembuat
gelap gulita / Jasamu tiada…. ‘gimana mau maju, nontonnya itu’.”
Bre Redana, dalam “Catatan
Minggu” di harian Kompas menulis, “Sebelum membaca menjadi kebiasaan banyak
orang, televisi keburu masuk ke seluruh rumah tangga sampai kampung-kampung.
Tak perlu heran kalau televisi kita kampungan. Empati, tepa selira, tidak ada.”
Di tengah kondisi seperti ini,
terutama sangat langkanya tayangan yang mendidik, barangkali beberapa di antara
kita teringat kembali dan merindukan satu tayangan yang pernah hadir sejak
tahun 1996 dan berakhir tahun 2005, yaitu sinetron “Keluarga Cemara”. Sinetron
yang diangkat dari buku karangan Arswendo Atmowiloto, menceritakan tentang
sebuah kelurga miskin yang ceria menghadapi kehidupan. Alih-alih mengeluh,
keluarga ini justru menjalani hari-harinya dengan kerja keras dan penuh
kehangatan.
Arswendo, lewat Abah, Emak,
Euis, Ara, dan Agil—tokoh-tokoh yang ada si sinetron tersebut, pernah
menghangatkan keluarga Indonesia dengan kisah-kisah keseharian, sederhana, dan
bertabur kearifan. Keluarga seperti disebut Pramoedya Ananta Toer dalam buku
“Menggelinding” sebagai : “Lembaga yang menjadi pangkal. Mula kehidupan
manusia. Payung yang melindungi keturunan manusia daripada hujan dan terik
pergaulan hidup”—dalam “Keluarga Cemara” benar-benar tampil dengan penuh
kegembiraan.
Sebagai sebuah buku, “Keluarga
Cemara” pertamakali terbit tahun 1981. Dan di tahun 2013 penerbit Gramedia
Pustaka Utama kembali menerbitkannya. Kehadiran (lagi) buku ini, barangkali
bisa menjadi wakil dari gambar lain tentang keluarga, yang hari-hari
ini—terutama lewat (lagi-lagi) televisi, telah banyak mempertontonkan
kehancuran, retak karena perceraian, atau kehangatan semu sebagai tuntutan
bingkai kamera.
Dalam kehidupan kontemporer, tak
bisa dipungkiri bahwa hubungan antar anggota keluarga, meskipun tidak pecah
karena kasus perceraian misalnya, namun keakraban yang biasanya terjalin mulai
menjadi usang. Dalam buku “Seekor Burung Kecil di Naha”, Linda Christanty
sempat menjelaskan bahwa “Orangtua-orangtua di Indonesia mulai merasa bahwa
anak-anak mereka yang di masa kanak-kanak begitu lucu dan manis, telah menjelma
menjadi mesin atau robot yang dingin akibat rutinitas. Kebiasaan berkumpul dan
sifat komunal makin berkurang begitu masyarakat semakin urban.”
Kiranya kondisi seperti ini,
dalam lingkup karya Arswendo, bisa diwakili oleh buku “Dua Ibu” yang mula-mula
terbit di tahun 1980, kemudian diterbitkan lagi tahun 2009. Karya ini
mengisahkan tentang posisi ibu yang begitu sentral, sehingga tak lekang untuk terus
dirindukan. Ibu dengan maqom seperti itu, tidak dimonopoli oleh hubungan darah
(ibu kandung), namun bisa juga hadir pada sosok-sosok perempuan yang tulus
dalam merawat setiap anak manusia.
Seperti dalam “Dua Ibu”, seorang
perempuan dikisahkan tidak hanya merawat anak kandungnya, namun juga delapan
anak lain yang tak punya hubungan darah sama sekali dengan dirinya. Waktu yang
kemudian menumbuhkan anak-anak menjadi dewasa dan lalu berkeluarga, dalam
cerita yang ditulis Arswendo tersebut, ternyata tak sepenuhnya membuat hubungan
ibu-anak menjadi kering.
Salah seorang anaknya menulis,
“Tiba tiba aku rindu Ibu. Kalau rindu, aku bisa berkaca pada tempat penyimpanan
beras. Berkaca di situ, sambil berkata Ibu, aku rindu dan Ibu pasti mendengar
dan membalasnya.” Sebuah fragmen yang liris tentang sosok yang tak lindap
digerus waktu. Sosok yang tak dilupakan begitu saja, meski “terjebak” dalam
derap zaman yang kerap membuat anak “menjadi mesin atau robot yang dingin
akibat rutinitas.”
Kehadiran karya-karya Arswendo
Atmowiloto di Frankfurt Book Fair 2015, terutama yang memotret tentang
kehidupan keluarga, kiranya bisa ditafsirkan sebagai sebuah perlawanan terhadap
potret buram keluarga kiwari, yang sepertinya kerap dipersepsikan sebagai
sebuah lembaga yang amat rapuh, yang ikatan status dan emosinya rentan
dicerai-beraikan.
Manusia dalam kesejatian
fitrah, meski telah begitu pekat oleh polusi-polusi hubungan sosial, tetap tak
bisa dilepaskan dari yang namanya keluarga, terutama ibu. Ia pasti merindukan
kehangatannya. Dalam “Dua Ibu” Arswendo menulis; “Padanya aku tak pernah sangsi
bahwa aku mencintainya, dan padanya aku tak pernah sangsi bahwa ia
mencintaiku”. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment