01 October 2015

Arswendo Atmowiloto dan Kehangatan Keluarga

Tayangan di televisi Indonesia, hari ini, kerap dianggap banyak menyajikan program yang tak bermutu. Perilaku menyimpang anak-anak, atau kecenderungan “dewasa” sebelum waktunya, seringkali dilekatkan kepada media populer tersebut yang daya jangkaunya memang sangat “mengerikan”. Siapapun bisa mengakses tayangan televisi.
Remotivi, sebuah lembaga pusat kajian media dan komunikasi, pernah membuat video yang menyindir dengan pedas kualitas dan posisi tv yang nyaris nir-manfaat. Dalam video tersebut anak-anak SD bernyanyi, liriknya sebagai berikut :
“Kita jadi bisa pacaran dan ciuman karena siapa? / Kita jadi tahu masalah artis cerai karena siapa? / Kita pintar dandan dibimbing tv / Kita jadi lebay dididik tv / tv bak pelita pembuat gelap gulita / Jasamu tiada…. ‘gimana mau maju, nontonnya itu’.”
Bre Redana, dalam “Catatan Minggu” di harian Kompas menulis, “Sebelum membaca menjadi kebiasaan banyak orang, televisi keburu masuk ke seluruh rumah tangga sampai kampung-kampung. Tak perlu heran kalau televisi kita kampungan. Empati, tepa selira, tidak ada.”
Di tengah kondisi seperti ini, terutama sangat langkanya tayangan yang mendidik, barangkali beberapa di antara kita teringat kembali dan merindukan satu tayangan yang pernah hadir sejak tahun 1996 dan berakhir tahun 2005, yaitu sinetron “Keluarga Cemara”. Sinetron yang diangkat dari buku karangan Arswendo Atmowiloto, menceritakan tentang sebuah kelurga miskin yang ceria menghadapi kehidupan. Alih-alih mengeluh, keluarga ini justru menjalani hari-harinya dengan kerja keras dan penuh kehangatan.
Arswendo, lewat Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil—tokoh-tokoh yang ada si sinetron tersebut, pernah menghangatkan keluarga Indonesia dengan kisah-kisah keseharian, sederhana, dan bertabur kearifan. Keluarga seperti disebut Pramoedya Ananta Toer dalam buku “Menggelinding” sebagai : “Lembaga yang menjadi pangkal. Mula kehidupan manusia. Payung yang melindungi keturunan manusia daripada hujan dan terik pergaulan hidup”—dalam “Keluarga Cemara” benar-benar tampil dengan penuh kegembiraan.
Sebagai sebuah buku, “Keluarga Cemara” pertamakali terbit tahun 1981. Dan di tahun 2013 penerbit Gramedia Pustaka Utama kembali menerbitkannya. Kehadiran (lagi) buku ini, barangkali bisa menjadi wakil dari gambar lain tentang keluarga, yang hari-hari ini—terutama lewat (lagi-lagi) televisi, telah banyak mempertontonkan kehancuran, retak karena perceraian, atau kehangatan semu sebagai tuntutan bingkai kamera.
Dalam kehidupan kontemporer, tak bisa dipungkiri bahwa hubungan antar anggota keluarga, meskipun tidak pecah karena kasus perceraian misalnya, namun keakraban yang biasanya terjalin mulai menjadi usang. Dalam buku “Seekor Burung Kecil di Naha”, Linda Christanty sempat menjelaskan bahwa “Orangtua-orangtua di Indonesia mulai merasa bahwa anak-anak mereka yang di masa kanak-kanak begitu lucu dan manis, telah menjelma menjadi mesin atau robot yang dingin akibat rutinitas. Kebiasaan berkumpul dan sifat komunal makin berkurang begitu masyarakat semakin urban.”
Kiranya kondisi seperti ini, dalam lingkup karya Arswendo, bisa diwakili oleh buku “Dua Ibu” yang mula-mula terbit di tahun 1980, kemudian diterbitkan lagi tahun 2009. Karya ini mengisahkan tentang posisi ibu yang begitu sentral, sehingga tak lekang untuk terus dirindukan. Ibu dengan maqom seperti itu, tidak dimonopoli oleh hubungan darah (ibu kandung), namun bisa juga hadir pada sosok-sosok perempuan yang tulus dalam merawat setiap anak manusia.
Seperti dalam “Dua Ibu”, seorang perempuan dikisahkan tidak hanya merawat anak kandungnya, namun juga delapan anak lain yang tak punya hubungan darah sama sekali dengan dirinya. Waktu yang kemudian menumbuhkan anak-anak menjadi dewasa dan lalu berkeluarga, dalam cerita yang ditulis Arswendo tersebut, ternyata tak sepenuhnya membuat hubungan ibu-anak menjadi kering.
Salah seorang anaknya menulis, “Tiba tiba aku rindu Ibu. Kalau rindu, aku bisa berkaca pada tempat penyimpanan beras. Berkaca di situ, sambil berkata Ibu, aku rindu dan Ibu pasti mendengar dan membalasnya.” Sebuah fragmen yang liris tentang sosok yang tak lindap digerus waktu. Sosok yang tak dilupakan begitu saja, meski “terjebak” dalam derap zaman yang kerap membuat anak “menjadi mesin atau robot yang dingin akibat rutinitas.”
Kehadiran karya-karya Arswendo Atmowiloto di Frankfurt Book Fair 2015, terutama yang memotret tentang kehidupan keluarga, kiranya bisa ditafsirkan sebagai sebuah perlawanan terhadap potret buram keluarga kiwari, yang sepertinya kerap dipersepsikan sebagai sebuah lembaga yang amat rapuh, yang ikatan status dan emosinya rentan dicerai-beraikan.
Manusia dalam kesejatian fitrah, meski telah begitu pekat oleh polusi-polusi hubungan sosial, tetap tak bisa dilepaskan dari yang namanya keluarga, terutama ibu. Ia pasti merindukan kehangatannya. Dalam “Dua Ibu” Arswendo menulis; “Padanya aku tak pernah sangsi bahwa aku mencintainya, dan padanya aku tak pernah sangsi bahwa ia mencintaiku”. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: