01 October 2015

Lily Yulianti Farid dan Kisah Perempuan yang Meledak

“Ketika engkau lahir, malam seperti meledak.” Ini adalah kaki dashi dari cerita pendek berjudul “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” karya Lily Yulianti Farid. Cerita pendek tersebut terhimpun dalam antologi yang berjudul sama, yang terbit di tahun 2012. Di jagat sastra, Lily bukanlah nama lama, ia justru lebih dulu dikenal sebgai seorang jurnalis di berbagai media. Namun minatnya pada cerita—ia mengarang sejak kecil, membuatnya mencoba kembali menulis beberapa kisah.
Buku pertamanya yang berjudul “Makkunrai” diterbitkan pada bulan Maret tahun 2008 oleh Nala Cipta Litera. Seperti sub-judul yang tertera di sampul buku, yaitu “Dan 10 Kisah Perempun Lainnya”, Lily mendadarkan kisah-kisah perempuan dengan berbagai latar usia dan kehidupan dari sudut pandang perempuan. Seperti pada cerita “Dapur” misalnya, penulis hendak mengatakan bahwa posisi perempuan, di luar kodrat biologis, sesungguhnya sama dengan laki-laki. Perempuan berhak untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri, ia punya kehendak bebas yang tak boleh diringkus oleh atau atas nama apapun.
Sementara kisah “Makkunrai” yang juga dijadikan judul buku, adalah tentang perempuan yang tak mau tunduk pada pandangan miring kakeknya—simbol dominasi kaum laki-laki, yang mempercayai kutukan mitos, lantaran perempuan tersebut lahir pada saat adzan Jum’at berkumandang. “Makkunrai” (bahasa Bugis) yang berarti perempuan, menegaskan bahwa di tangan rezim patriaki, perempuan tak pernah kehilangan akal untuk terus melakukan perlawanan.
Sebagai seorang perempuan, dan menulis cerita tentang perempuan, tak membuat Lily kemudian menjadi tak adil menyoal permasalahan yang hadir di kehidupan. Pada kisah “Koruptor di Rumah Nenek Haji”, ia menyorongkan satu wajah lain, bahwa di lingkungan sosial tempat pertarungan ego, perempuan pun bisa menjadi penghuni barisan depan dalam hal mencuri uang rakyat. Korupsi tak pernah membeda-bedakan gender, ia bisa hinggap di jenis kelamin apapun, termasuk perempuan.
Selang beberapa bulan, buku kedua kumpulan cerita pendek karangan Lily terbit. Kali ini dengan judul “Maiasaura” yang diterbitkan oleh Panyingkul! Pada buku keduanya, Lily masih tetap menempatlan sosok perempuan sebagai tokoh sentral. Karyanya ini terdiri dari 9 buah cerita, yang ia tulis dalam kurun waktu April sampai Juni 2008. Profesinya sebagai seorang jurnalis, barangkali membuatnya relatif mudah untuk mendapatkan “bahan mentah” yang kemudian ia susun ke dalam narasi fiksi. Dalam riwayat pendidikan formalnya, mantan wartawan Kompas ini pernah mengambil gelar master pada studi "Gender and Development" waktu menempuhnya di Australia.
Pada zaman pra-sejarah, tepatnya ketika era dinosaurus, tersebutlah Maiasaura, yaitu jenis dinosaurus yang bentuknya menyerupai kadal. Para arkeolog yang meneliti menyebutnya sebagai “good mother lizard”. Sosok ibu baik yang melekat di hewan ini yang kemudian mengispirasi Lily untuk meminjam namanya untuk ditulis dalam kisah yang ia bangun.
Dalam antologi “Maiasaura”, perempuan yang diceritakan Lily tidak hanya sosok lokal, namun berlatar global, Palestina misalnya. Di belahan bumi yang sampai hari ini masih bergolak tersebut, Lily mengisahkan tentang perjuangan seorang perempuan Palestina ketika masuk pos pemeriksaan tentara Israel. Tokoh ini tak jarang mempertaruhkan nyawanya demi bisa melewati pos tersebut. Keluasan dan keragaman latar cerita menegaskan satu hal, bahwa di belahan bumi manapun, konflik antara perempuan dan dunia tempatnya hidup—atau yang terjadi lebih sering penindasan terhadap perempuan, selalu memiliki wajah yang sama. Isu tentang nasib perempuan oleh karenanya menjadi lintas geografis.
Empat tahun berselang, sejak “Maiasaura” terbit, kumpulan cerita pendek “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” lahir di tahun 2012. Buku ini berhasil masuk 10 besar Longlist Kathulistiwa Award 2013. Dan lagi-lagi, kali ini pun Lily tetap konsisten mengabarkan dunia perempuan. Dengan latar beragam usia, budaya, ras, agama, penulis menatah berbagai kisah tentang perempuan yang termajinalkan secara politik, kisah cinta segitiga, persoalan gender, dan pencarian identitas.
Lily yang juga salah satu pendiri Rumata Artspace dan penggagas Makassar Writers Festival, dalam karya-karyanya berhasil menuliskan kegelisahan-kegelisahan perempuan di tengah kehidupan yang kerap tak berpihak. Sapardi Djoko Damono menyebut penulis kelahiran Makassar 1971 ini sebagai “penulis perempuan yang memiliki gaya yang patut diperhitungkan.”
Oktober ini, Indonesia yang menjadi Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, menyediakan ruang yang cukup lapang bagi para penulis perempuan untuk memamerkan karya-karyanya di hadapan publik dunia, termasuk karya Lily Yulianti Farid.


Meskipun belum terlalu lama berkecimpung di ranah sastra Indonesia, namun karya-karya Lily berhasil memperkaya sudut pandang dan gaya berkisah di karangan para pengarang. Kiranya anak-anak ruhani Lily yang telah dilepas bebas ke haribaan pembaca, di tengah “kegelapan” dominasi dunia laki-laki--seperti pada sebuah kaki dashi yang pernah ia tulis; “Ketika engkau lahir, malam seperti meledak.” [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: