“Ketika
engkau lahir, malam seperti meledak.” Ini adalah kaki dashi dari cerita pendek
berjudul “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” karya Lily Yulianti Farid. Cerita
pendek tersebut terhimpun dalam antologi yang berjudul sama, yang terbit di
tahun 2012. Di jagat sastra, Lily bukanlah nama lama, ia justru lebih dulu
dikenal sebgai seorang jurnalis di berbagai media. Namun minatnya pada
cerita—ia mengarang sejak kecil, membuatnya mencoba kembali menulis beberapa
kisah.
Buku
pertamanya yang berjudul “Makkunrai” diterbitkan pada bulan Maret tahun 2008
oleh Nala Cipta Litera. Seperti sub-judul yang tertera di sampul buku, yaitu
“Dan 10 Kisah Perempun Lainnya”, Lily mendadarkan kisah-kisah perempuan dengan
berbagai latar usia dan kehidupan dari sudut pandang perempuan. Seperti pada
cerita “Dapur” misalnya, penulis hendak mengatakan bahwa posisi perempuan, di
luar kodrat biologis, sesungguhnya sama dengan laki-laki. Perempuan berhak
untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri, ia punya kehendak bebas yang tak
boleh diringkus oleh atau atas nama apapun.
Sementara
kisah “Makkunrai” yang juga dijadikan judul buku, adalah tentang perempuan yang
tak mau tunduk pada pandangan miring kakeknya—simbol dominasi kaum laki-laki,
yang mempercayai kutukan mitos, lantaran perempuan tersebut lahir pada saat
adzan Jum’at berkumandang. “Makkunrai” (bahasa Bugis) yang berarti perempuan,
menegaskan bahwa di tangan rezim patriaki, perempuan tak pernah kehilangan akal
untuk terus melakukan perlawanan.
Sebagai
seorang perempuan, dan menulis cerita tentang perempuan, tak membuat Lily
kemudian menjadi tak adil menyoal permasalahan yang hadir di kehidupan. Pada
kisah “Koruptor di Rumah Nenek Haji”, ia menyorongkan satu wajah lain, bahwa di
lingkungan sosial tempat pertarungan ego, perempuan pun bisa menjadi penghuni
barisan depan dalam hal mencuri uang rakyat. Korupsi tak pernah membeda-bedakan
gender, ia bisa hinggap di jenis kelamin apapun, termasuk perempuan.
Selang
beberapa bulan, buku kedua kumpulan cerita pendek karangan Lily terbit. Kali
ini dengan judul “Maiasaura” yang diterbitkan oleh Panyingkul! Pada buku
keduanya, Lily masih tetap menempatlan sosok perempuan sebagai tokoh sentral.
Karyanya ini terdiri dari 9 buah cerita, yang ia tulis dalam kurun waktu April
sampai Juni 2008. Profesinya sebagai seorang jurnalis, barangkali membuatnya
relatif mudah untuk mendapatkan “bahan mentah” yang kemudian ia susun ke dalam
narasi fiksi. Dalam riwayat pendidikan formalnya, mantan wartawan Kompas ini
pernah mengambil gelar master pada studi "Gender and Development"
waktu menempuhnya di Australia.
Pada zaman
pra-sejarah, tepatnya ketika era dinosaurus, tersebutlah Maiasaura, yaitu jenis
dinosaurus yang bentuknya menyerupai kadal. Para arkeolog yang meneliti
menyebutnya sebagai “good mother lizard”. Sosok ibu baik yang melekat di hewan
ini yang kemudian mengispirasi Lily untuk meminjam namanya untuk ditulis dalam
kisah yang ia bangun.
Dalam
antologi “Maiasaura”, perempuan yang diceritakan Lily tidak hanya sosok lokal,
namun berlatar global, Palestina misalnya. Di belahan bumi yang sampai hari ini
masih bergolak tersebut, Lily mengisahkan tentang perjuangan seorang perempuan
Palestina ketika masuk pos pemeriksaan tentara Israel. Tokoh ini tak jarang mempertaruhkan
nyawanya demi bisa melewati pos tersebut. Keluasan dan keragaman latar cerita
menegaskan satu hal, bahwa di belahan bumi manapun, konflik antara perempuan
dan dunia tempatnya hidup—atau yang terjadi lebih sering penindasan terhadap
perempuan, selalu memiliki wajah yang sama. Isu tentang nasib perempuan oleh
karenanya menjadi lintas geografis.
Empat tahun
berselang, sejak “Maiasaura” terbit, kumpulan cerita pendek “Ayahmu Bulan,
Engkau Matahari” lahir di tahun 2012. Buku ini berhasil masuk 10 besar Longlist
Kathulistiwa Award 2013. Dan lagi-lagi, kali ini pun Lily tetap konsisten
mengabarkan dunia perempuan. Dengan latar beragam usia, budaya, ras, agama,
penulis menatah berbagai kisah tentang perempuan yang termajinalkan secara
politik, kisah cinta segitiga, persoalan gender, dan pencarian identitas.
Lily yang
juga salah satu pendiri Rumata Artspace dan penggagas Makassar Writers
Festival, dalam karya-karyanya berhasil menuliskan kegelisahan-kegelisahan
perempuan di tengah kehidupan yang kerap tak berpihak. Sapardi Djoko Damono
menyebut penulis kelahiran Makassar 1971 ini sebagai “penulis perempuan yang
memiliki gaya yang patut diperhitungkan.”
Oktober ini,
Indonesia yang menjadi Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, menyediakan
ruang yang cukup lapang bagi para penulis perempuan untuk memamerkan
karya-karyanya di hadapan publik dunia, termasuk karya Lily Yulianti Farid.
Meskipun
belum terlalu lama berkecimpung di ranah sastra Indonesia, namun karya-karya
Lily berhasil memperkaya sudut pandang dan gaya berkisah di karangan para
pengarang. Kiranya anak-anak ruhani Lily yang telah dilepas bebas ke haribaan
pembaca, di tengah “kegelapan” dominasi dunia laki-laki--seperti pada sebuah
kaki dashi yang pernah ia tulis; “Ketika engkau lahir, malam seperti meledak.”
[irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment