Tahun 1980-an, ketika jilbab
atau sekarang banyak orang menyebutnya dengan hijab—identitas wanita muslim,
masih belum leluasa tampil, budayawan Emha Ainun Nadjib sempat menulis puisi
“Lautan Jilbab”. Berikut sepenggal baitnya :
“Jilbab adalah keberanian di
tengah hari-hari sangat menakutkan / Jilbab adalah percikan cahaya di
tengah-tengah kegelapan / Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan / Jilbab
adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan / Jilbab adalah
kebersahajaan di tengah kemunafikan / Jilbab adalah perlindungan di tengah
sergapan-sergapan.”
Pada saat yang bersamaan,
Jama’ah Shalahuddin kampus Universitas Gajah Mada mementaskan “Lautan Jilbab”.
Pasca pementasan tersebut, Niels Mulder—Sosiolog Belanda yang punya perhatian
pada perkembangan Indonesia, mengatakan bahwa sejak itu jilbab perlahan ikut
menjadi budaya masyarakat.
Memasuki tahun 2000-an, ketika
gelombang dakwah mulai banyak menyentuh para public figure, terutama mereka
yang bergiat di budaya populer, perkembangan jilbab semakin tak terbendung.
Busana ini mulai beririsan dengan majalah wanita, koran, media sosial, serta
perancang busana. Di mana-mana terbentuk komunitas dengan ketertarikan pada
jilbab/hijab. Di tengah kondisi seperti inilah, Dian Wahyu Utami, atau lebih
dikenal dengan Dian Pelangi—salah seorang perancang busana, hadir dan
melahirkan karya-karya yang menarik.
Perempuan kelahiran Palembang
ini membawa angin segar terhadap perkembangan mode di Indonesia. Tahun 2010,
pasca diwawancara oleh CNN, popularitas Dian semakin melambung. Tak lama
berselang, anggota termuda dari Asosiasi Perancang Pengusaha Muda Indonesia
(APPMI) itu kemudian meluncurkan buku yang berjudul “Hijab Street Style”. Buku
ini berisi berbagai gaya berbusana para muslimah yang ia temui di beberapa
negara yang pernah ia kunjungi. Tahun 2014, Dian melahirkan buku “Brain Beauty
Belief; Panduan Menjadi Muslimah yang Cerdik, Cantik, dan Baik.”
Di penghujung tahun 2011, Dian
diundang ke Paris untuk mengikuti The International Fair of Muslim World di Le
Bourget. Selain itu, baru-baru ini juga Dian masuk dalam daftar 500 tokoh mode
berpengaruh dunia versi Majalah Business of Fashion. Pengalaman ini semakin
membuatnya menjadi salah satu perancang busana yang kian diperhitungkan. Busana
hijab rancangan Dian, meski oleh sebagian kalangan dipandang tak selalu syar’I,
atau memenuhi kaidah agama, namun setidaknya telah ikut mempopulerkan sebuah
budaya yang jauh-jauh hari telah dinyatakan oleh Niels Mulder, yaitu budaya berjilbab
di masyarakat Indonesia.
Miranda Risang Ayu dalam buku
“Mencari Senyum Tuhan” yang terbit tahun 2008 pernah menulis, “Dan kuturunkan
kain ke dadaku. Kuturunkan dia supaya ikut tunduk pandanganku. Kuturunkan kain
dari ubun-ubun menyungkup rambutku, supaya terlindung dan selamat aku, dari
terik matahari ketika kerontang, pedih musim ketika dingin, serta gerayang
panas mata dan tangan orang-orang yang berhati lemah yang berkeliaran sepanjang
jalan. Kuturunkan kain ke sekujur tubuhku sapaya terjaga aku, tidak saja dari
gangguan orang-orang yang aku temui tetapi juga dari godaan dalam diriku
sendiri yang ingin bertingkah. Kain ini menyelematkan aku serta orang-orang di
sekelilingku dari daya tarik keperempuananku yang mungkin menipu.”
Barangkali, hari ini, para
jilbaber atau hijaber—begitu label yang kerap dilekatkan, belum banyak dan
belum sepenuhnya memaknai busananya seperti apa yang dituturkan oleh Miranda
Risang Ayu, namun setidaknya semangat itu telah digulirkan. Inilah sepotong
mozaik dari wajah Indonesia kontemporer yang hendak dibawa ke Frankfurt.
Indonesia sebagai negara
dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, dengan hadirnya beberapa
karya Dian Pelangi di rangkaian pameran buku tertua di dunia ini, kiranya dapat
memberikan gambaran kepada khalayak yang hadir di sana, bahwa Islam sebagai
agama anutan mayoritas penduduk di zamrud khatulistiwa, telah dan tengah
mewarnai kebudayaan kontemporer warganya. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment