Senin, 26 November 2012, di harian
Kompas hadir sebuah esai yang ditulis oleh Elya Utama yang berjudul “Dua
Wanita”. Penulis yang belakangan ditengarai bukan nama sebenarnya, dalam
esainya mencoba menggeledah novel “Amba” (2012) dan “Saman” (1998). Ia, lewat
pendeteksian kalimat dan gaya bertutur, menyimpulkan bahwa dua karya yang
ditulis dua wanita tersebut (Laksmi Pamuntjak dan Ayu Utami), sebenarnya adalah
karya satu orang yang entah siapa.
Di sebuah paragraf sebelum penghujung
esai, Elya Utama menulis begini, “Menyangkut kemiripan atau bahkan persamaan
kedua arsitektur novel di atas, saya ingin berspekulasi dengan cara seperti
bagaimana kedua novel itu melakukan spekulasi, yakni dengan menyebut poin-poin
kemungkinan. Pertama, penulis kedua meniru penulis pertama. Bukan tiruan yang
jelek, sangat sempurna, bahkan mendekati kloning. Kedua, penulis pertama dan
kedua berasal dari latar pendidikan arsitektur yang sama, mendirikan firma yang
sama, dan bekerja bersama-sama. Ketiga, dua karya itu sebenarnya karya arsitek
yang sama, namun menggunakan nama yang berbeda-beda.”
Pendapat ini—sedikit banyak, tentu menyeret
dua karya tersebut dan sekaligus penulisnya pada ruang pencampakan yang serius.
Sebuah karya yang konon adalah anak rohani dari pengarang, dituduh sebagai anak
haram yang lahir dari sebuah “perzinahan” proses kreatif. Namun demikian, apakah
pada perjalanannya “Amba” dan “Saman”, juga Laksmi dan Ayu, menjadi tunduk pada
prasangka-prasangka? Ternyata sebaliknya.
Serangan Elya Utama terhadap “Amba”
dalam esainya di harian Kompas, hanyalah satu contoh dari sekian banyak
gugatan, perdebatan, dan kritik yang mengiringi perjalanan karya tersebut. “Amba”
sebagai anak kandung Laksmi, di jalanan pembaca yang keras, telah melalui
serangkaian perkelahian sengit. Dan sampai hari ini, ia mampu bertahan. Kondisi
ini barangkali yang dimaksudkan oleh Muhidin M. Dahlan dalam pengantar di blog
pribadinya :
“’AkuBuku’ adalah 'blog neraka' yg
berisi sehimpun review atau komentar atas apa-apa yang
pernah kubuat dan kutuliskan sekian waktu dalam beberapa buku, baik fiksi atau
nonfiksi. Wadah ini adalah sebentuk ruang bagaimana ‘anak-anak ruhani’ itu
lepas-hidup dan dimaknai kehadirannya di jalanan kota pembaca yang kerap
sengit, ganas, dan amat jarang berbelas kasih. Tapi inilah hidup. Ini neraka.
Ini bukan surga. Di sini, perkelahian selalu berlaku. Maka bertahanlah secara
kreatif. Jangan merunduk. Kalaupun merunduk, janganlah terlalu terbenam. Kalaupun
terbenam, janganlah terlalu lama.”
Jelang gelaran Frankfurt Book Fair
2015, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, “Amba” telah banyak diapresiasi oleh
para pembaca. Novel ini pernah masuk 5 besar Anugerah Sastra Khatulistiwa tahun
2013. Selain itu, karya ini pun disebut-sebut sebagai sebuah pencapaian
gemilang dari perpaduan antara tema kemanusiaan berlatar peristiwa gempa
politik 1965, dan jejalin kalimat puitis yang manis.
Kaki dashi-nya berbunyi sedemikian
rupa, “Di pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam
dan menunggu. Tapi, sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini—sesuatu yang
begitu khas dan sulit diabaikan—dan orang hanya bisa membicarakannya sambil
berbisik, seperti angin di atas batu yang terus-menerus membalun dan menghilang
melalui makam orang-orang tak dikenal....”
Dalam sebuah
wawancara dengan kru 17.000 Islands of Imagination, Laksmi menjelaskan tentang konsepnya
dalam menulis “Amba”. “Karena saya
sangat tidak nyaman dengan perspektif sejarah yang hanya satu sisi. Orde Baru mengatakan
bahwa Komunisme itu jahat, setan, harus diberangus, dan adalah sebuah paham
yang tidak bisa dibiarkan di Indonesia. Hal itu selalu membuat saya miris,
membuat saya betanya-tanya, apakah ini interpretasi satu-satunya yang ada
tentang 65. Yang saya lakukan tidak untuk mengoreksi sejarah atau tidak juga
untuk mengatakan siapa yang salah atau benar, tapi yang ingin saya tunjukan
adalah karena manusia itu kan berkali-kali dalam setiap budaya dan negeri,
mengalami begitu banyak intoleransi dan juga sangat biasa untuk menunjukkan apa
yang mereka percaya lewat kekerasan,” terangnya.
Terkait bahwa karyanya terinspirasi
dari cerita Mahabharata, dan bahkan tokoh-tokohnya sama persis dengan beberapa
tokoh di cerita klasik tersebut, Laksmi menerangkan, “Dan itu (Mahabarata) saya
lihat sebagai sesuatu yang sangat pas untuk juga menunjukan warisan budaya kita
yang luar biasa. Ada sesuatu yang jauh lebih purba, jauh lebih tua, dan juga
sama kayanya dengan Islam misalnya, yang baru datang belakangan ke Indonesia.
Jadi saya mau menunjukan kebhinekaan Indonesia, termasuk cara berpikir dan
kearifan-kearifannya.”
Sejak terbit di tahun 2012, “Amba”
telah beberapakali naik cetak. Juga telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan
diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan judul “The Question of
Red”. Dalam bahasa Jerman, “Amba” diterbitkan oleh penerbit Ullstein
Buchveerlage dengan judul “Alle Farben
Rot”. Sementara dalam bahasa Belanda menjadi “Amba of de Kleur van Rood” dan
diterbitkan oleh penerbit Xander Uitgevers.
“Alle Farben Rot” sebagai versi Jerman
dari “Amba” berhasil menempati posisi satu sebagai karya fiksi terbaik dari
negara-negara di luar Jerman. Karya-karya tersebut diseleksi oleh para penulis
dan kritikus Jerman berpengaruh seperti Ilija Trojanow. Karya Laksmi itu mengalahkan
karya pengarang Irak (Hassan Blasimm-“Der Verruckte vom Freiheitsplatz”),
Jepang (Shuntaro Tanikawa-“Minimal”), Kuba (Leonardo Padura-“Die Palme und der
Stern”), Kolombia (Tomas
Gonzalez-“Mangroven”), Mexico (Antonio Ortuno-“Die Verbrannten”), dan Korea
(Hoon Kim-“Acht Leben”).
“Amba” akan hadir di Frankfurt,
menghamparkan sejarah luka bangsa yang teramat sulit untuk disembuhkan, juga
membawa sekerat cerita tentang perjalanannya yang diliputi kontroversi. Karya
ini tak menjanjikan apa-apa, namun ia mencoba jujur di hadapan kelam catatan
sejarah, lalu melalui perjalanan para tokohnya, ia menjelentrehkan bahwa kekerasan
tak akan pernah menghasilkan apa-apa, selain luka dan dendam. [ ]
PS : Tak sempat naik :)
No comments:
Post a Comment