Redaksi?
Biasanya kami sudah terlalu lelah mengurusi naskah yang berjejal di hampir 15
jam yang dicacah dalam sejumlah sif. Meski demikian, ada juga sesekali reporter
yang ikut nonton, biasanya anak muda yang energinya masih penuh meski seharian
telah dibantai tenggat.
Editor news hampir bisa dipastikan tak pernah ada yang ikut acara musik.
Alasannya cuma dua: tak berminat dan tuntutan keluarga.
Bagi saya, konsep festival barangkali
juga berpengaruh untuk terus menunda menyamber tiket-tiket itu. Lagi pula,
seumur hidup rasanya baru dua kali saya nonton acara musik. Pertama saat /rif
konser di Sukabumi tahun 2000 dalam rangka promosi album Nikmati Aja. Kedua, konser album Roekmana’s Repertoire Tigapagi di De Majestic, Braga, Bandung,
tahun 2023.
Kala itu, harga tiket /rif hanya Rp
12.000, seharga rokok Lucky Strike tanpa filter yang biasa dibeli seorang kawan
di Jalan Ciwangi, Sukabumi. Konser digelar di sebuah gedung kecil di sisi Lapang
Merdeka yang ditutup dengan lagu “Loe Toe Ye”.
Rasa-rasanya, Maggy kala itu masih “segar”,
belum terlihat renta seperti Andy, dan masih sangat lincah menggebuk drum. Tapi
belakangan karena band ini termasuk salah satu “drunken master”, maka lama-lama
Maggy pun terlihat ringkih.
Sedangkan Roekmana’s Repertoire Tigapagi dibandrol dengan harga Rp 200.000,
termasuk CD album tersebut sebagai tanda masuk. Artinya saya jadi punya dua CD
album itu. Secara keseluruhan konser Tigapagi amat memuaskan, hanya sedikti
gangguan kecil saat sejumlah penonton lain di sebelah saya ikut bernyanyi. Bagi
saya, lagu-lagu Tigapagi bukan jenis yang layak dinyanyikan bareng-bareng, tapi
cukup didengarkan, diresapi, dihayati.
Baru-baru ini, setelah 10 tahun lebih
sejak album pertama menetas, Tigapagi akhirnya mengeluarkan album kedua
bertajuk Rukiah’s Suites. Temanya
masih sekitar 1965 dan Siti Rukiah Kertapati adalah sastrawan serta aktivis Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi sayap PKI. Lagu-lagunya pun sepintas
masih sama dengan album pertama, harmoni-harmoni yang “Tigapagi banget”.
Album Rukiah’s Suites hanya dicetak dalam bentuk piringan hitam. Ini dikonfirmasi oleh Tigapagi di akun
Instagram-nya. Bagi saya dan mungkin mayoritas pendengar yang bisa saja dicap
sebagai “rombongan mendang-mending”, hal ini tentu sangat disayangkan. Harga
piringan hitam jelas lebih mahal dari cakram padat. Lagi pula tak semua orang
punya turntable. Tigapagi sebaiknya
tak beranjak menjadi “band mahal dan eksklusif”.
Namun barangkali dalam dua acara musik itu ada juga yang pernah saya hadiri, tapi kemungkinan lupa. Tak apa. Yang cukup saya sesali adalah tak hadir dalam acara dendang sore Semakbelukar di Kineruku pada 2013 saat mereka akhirnya membubarkan diri yang menghancurkan semua alat musiknya. Lalu hanya menyisakan sang vokalis, David Hersya, yang kini mulai aktif lagi membuat sejumlah syair. [irf]
No comments:
Post a Comment