Saat penanaman kopi di dataran tinggi Priangan membuahkan hasil yang baik, VOC segera memberlakukan Preangerstelsel atau Sistem Priangan dan menjadi pemasok kopi terbesar di dunia.
Sejarah kopi di Nusantara bermula saat Jenderal Adrian van
Ommen membawa bibit kopi pada 1696 dari Malabar, pantai barat daya India.
Gubernur Jenderal VOC Joan (Johan) van Hoorn kemudian bereksperimen menanamnya
di pedesaan dekat Batavia yang sekarang bernama Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Van Hoorn barangkali tak pernah menyangka jika percobaannya yang sekadar kesenangan, akan menjadi sumber bencana bagi penduduk Jawa, khususnya Priangan, lewat revolusi ekonomi dan sosial yang sangat mencekik.
Tahun 1707, Van Hoorn membagikan bibit kopi kepada para kepala daerah pribumi di sepanjang pantai Batavia sampai Cirebon. Ternyata di dataran rendah percobaan itu tidak terlalu berkembang.
Penanaman lalu dialihkan ke dataran yang lebih tinggi, yakni ke perbukitan di Karawang. Setelah itu, mulai menyebar ke daerah yang lebih tinggi lainnya di daerah Priangan, dan hasilnya jauh lebih baik.
Bupati Cianjur, Arya Wiratana, mulai menyetor untuk pertama kalinya hampir lima puluh kilogram atau sekitar seratus pon kopi ke gudang VOC pada 1711. Ia memperoleh harga sebesar 50 gulden per pikul, dengan catatan bahwa saat itu 1 pikul sama dengan 125 pon.
“[Harga yang] cukup lumayan, meskipun sangat sedikit dibanding dengan harga yang tercatat di pasar Belanda,” tulis Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014).
Penanaman kopi di Priangan yang menunjukkan hasil cukup memuaskan, membuat VOC keranjingan. Mulai tahun 1720, mereka memberlakukan Preangerstelsel atau Sistem Priangan yang mewajibkan para petani di Priangan untuk menanam kopi lewat paksaan para elite daerah.
Van Hoorn barangkali tak pernah menyangka jika percobaannya yang sekadar kesenangan, akan menjadi sumber bencana bagi penduduk Jawa, khususnya Priangan, lewat revolusi ekonomi dan sosial yang sangat mencekik.
Tahun 1707, Van Hoorn membagikan bibit kopi kepada para kepala daerah pribumi di sepanjang pantai Batavia sampai Cirebon. Ternyata di dataran rendah percobaan itu tidak terlalu berkembang.
Penanaman lalu dialihkan ke dataran yang lebih tinggi, yakni ke perbukitan di Karawang. Setelah itu, mulai menyebar ke daerah yang lebih tinggi lainnya di daerah Priangan, dan hasilnya jauh lebih baik.
Bupati Cianjur, Arya Wiratana, mulai menyetor untuk pertama kalinya hampir lima puluh kilogram atau sekitar seratus pon kopi ke gudang VOC pada 1711. Ia memperoleh harga sebesar 50 gulden per pikul, dengan catatan bahwa saat itu 1 pikul sama dengan 125 pon.
“[Harga yang] cukup lumayan, meskipun sangat sedikit dibanding dengan harga yang tercatat di pasar Belanda,” tulis Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014).
Penanaman kopi di Priangan yang menunjukkan hasil cukup memuaskan, membuat VOC keranjingan. Mulai tahun 1720, mereka memberlakukan Preangerstelsel atau Sistem Priangan yang mewajibkan para petani di Priangan untuk menanam kopi lewat paksaan para elite daerah.
Selain VOC, keuntungan hanya diperoleh oleh para menak
atau bangsawan, dan para santana atau golongan pertengahan antara bangsawan dan
rakyat biasa. Mereka memobilisasi rakyat dengan harga murah, namun kerja sangat
keras.
Saking menguntungkannya, saat meninggal pada 1726, bupati Cianjur masih berhak mendapatkan 26.000 ringgit gulden dan bunga atas jumlah tersebut. Sementara menak lain di Kampung Baru memiliki tagihan sebesar 32.000 ringgit gulden kepada VOC, dan mempunyai sejumlah tanah dan bangunan.
Enam tahun setelah diberlakukannya Sistem Priangan, VOC menjadi produsen kopi terpenting. Mereka menguasai setengah sampai tiga perempat perdagangan kopi di dunia, dan setengahnya dihasilkan dari Priangan barat, yakni Kabupaten Cianjur.
Keuntungan besar ini membuat VOC semakin gila. Mereka lagi-lagi memberlakukan kebijakan yang semakin mencekik para petani. Secara sewenang-wenang mereka menurunkan harga produk mentah kopi di Batavia dari 50 menjadi 12 gulden per pikul.
Mereka juga mulai memperkenalkan sistem pikul dan harga yang licik dengan membedakan antara pikul gunung dengan pikul Batavia. Untuk per pikul gunung beratnya 102 kg, sementara pikul Batavia seberat 56 kg.
“Para produsen dipaksa menyerahkan jumlah kopi yang ditentukan dalam ukuran pikul gunung tapi menerima pembayaran dalam jumlah pikul Batavia yang sama. Perbedaan berat dijelaskan sebagai biaya pengeringan selama transportasi dari daerah-daerah pergunungan ke gudang-gudang Batavia,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008).
Sistem monopoli yang diberlakukan dipertajam dengan dijadikannya Priangan sebagai daerah tertutup bagi orang asing, terutama warga Tionghoa. Mereka mengerahkan pasukan patroli hutan untuk mencegah para penyelundup. Para pelanggar ditangkap dan dikirim ke markas penahanan.
Saking menguntungkannya, saat meninggal pada 1726, bupati Cianjur masih berhak mendapatkan 26.000 ringgit gulden dan bunga atas jumlah tersebut. Sementara menak lain di Kampung Baru memiliki tagihan sebesar 32.000 ringgit gulden kepada VOC, dan mempunyai sejumlah tanah dan bangunan.
Enam tahun setelah diberlakukannya Sistem Priangan, VOC menjadi produsen kopi terpenting. Mereka menguasai setengah sampai tiga perempat perdagangan kopi di dunia, dan setengahnya dihasilkan dari Priangan barat, yakni Kabupaten Cianjur.
Keuntungan besar ini membuat VOC semakin gila. Mereka lagi-lagi memberlakukan kebijakan yang semakin mencekik para petani. Secara sewenang-wenang mereka menurunkan harga produk mentah kopi di Batavia dari 50 menjadi 12 gulden per pikul.
Mereka juga mulai memperkenalkan sistem pikul dan harga yang licik dengan membedakan antara pikul gunung dengan pikul Batavia. Untuk per pikul gunung beratnya 102 kg, sementara pikul Batavia seberat 56 kg.
“Para produsen dipaksa menyerahkan jumlah kopi yang ditentukan dalam ukuran pikul gunung tapi menerima pembayaran dalam jumlah pikul Batavia yang sama. Perbedaan berat dijelaskan sebagai biaya pengeringan selama transportasi dari daerah-daerah pergunungan ke gudang-gudang Batavia,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008).
Sistem monopoli yang diberlakukan dipertajam dengan dijadikannya Priangan sebagai daerah tertutup bagi orang asing, terutama warga Tionghoa. Mereka mengerahkan pasukan patroli hutan untuk mencegah para penyelundup. Para pelanggar ditangkap dan dikirim ke markas penahanan.
Perlawanan Petani Priangan
Kerja berat yang hanya menguntungkan VOC dan para elite
daerah membuat para petani Priangan membenci pohon kopi. Bagi mereka, budidaya
tanaman kopi hanya menambah beban tanpa penghasilan tambahan. Mereka bekerja
untuk sesuatu yang bukan kepentingan mereka.
Hal ini membuat para petani melakukan sejumlah perlawanan. Mula-mula mereka melarikan diri dari daerahnya agar terbebas dari beban kerja yang ditimpakan, meskipun langkah tersebut sangat berat karena para bupati memperluas daerah wajib penanaman dan mengerahkan rakyat untuk bekerja.
Selain itu, perlawanan lainnya adalah lewat kerja serampangan yang mengakibatkan rusaknya pohon kopi dan buah kopi yang banyak tercecer.
Menurut catatan Breman, pengrusakan tersebut dilakukan para petani dengan cara menggunakan cangkul begitu dekat dengan pohon kopi. Padahal, menurut aturan yang disampaikan para mandor, petani seharusnya menghindarkan cangkul dari batang pohon dan di sekeliling batang pohon dalam jarak sekaki. Ketika begitu dekat dengan batang pohon, tanah mestinya dicukil bukan dicangkul.
Hal lainnya adalah memetik dan mengangkut buahnya dengan asal-asalan. Akibatnya, baik di kebun maupun di jalan terdapat sejumlah ceceran buah kopi yang di antaranya yang masih muda, dan terdapat pula buah kopi yang kering menggantung karena dipetik dengan serampangan.
“Keengganan mereka bekerjasama menjadi begitu kuat sehingga selama beberapa tahun Kompeni bahkan tidak bisa memperoleh jumlah terbatas yang dituntutnya. Para petani mengabaikan kebun kopi mereka,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008).
Satu kasus bahkan mencuat saat kondisi semakin gawat: bupati Cianjur tewas dibunuh. Ia menjadi satu-satunya menak di Priangan yang dibunuh bawahannya saat diberlakukannya Preangerstelsel. Breman mencatat beberapa versi tentang peristiwa ini. Pertama, bupati dibunuh oleh seorang pria yang cemburu, dan versi kedua ia dibunuh oleh bawahannya yang terlilit hutang.
“Besarnya kejadian itu tidak banyak diketahui karena laporan tentang hal itu tidak lengkap,” tulisnya.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan bagi VOC bukan kasus pembunuhan tersebut, melainkan perlawanan tidak langsung yang dilakukan oleh para petani yang muak dengan sistem penanaman kopi.
Perlawanan jenis ini,
imbuh Breman, cukup mengejutkan karena sebelumnya pelbagai laporan kolonial
menggambarkan orang Jawa khususnya Priangan, adalah masyarakat yang patuh dan
mau menyesuaikan diri dengan sejumlah aturan serta perubahan ritme kehidupan.
Namun, ada yang luput dari laporan-laporan tersebut, yakni tentang perlawanan terselubung nan alot dari penduduk terhadap sistem produksi yang tidak ada kepentingannya bagi mereka.
Saat VOC bangkrut di pengujung abad ke-18, pemerintah kolonial melanjutkannya dengan memberlakukan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa mulai tahun 1830 dengan perluasan komoditas.
Dan penderitaan rakyat Priangan terus berlanjut sampai diberlakukannya undang-undang agraria pada 1870, yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengelola perkebunan bekas lahan tanam paksa.
Di titik ini jelaskah bahwa kopi dalam rentang waktu yang panjang pernah menjadi sumber bencana bagi rakyat. Ia tak semanis narasi kiwari yang telah menjelma dalam pelbagai lini, terutama gaya hidup perkotaan dalam kantong-kantong kaum urban.
Dalam kumpulan prosa bertajuk Filosofi Kopi (2006), Dewi Lestari sempat menulis, “Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”
“Sisi pahit” itu barangkali secara bebas dapat kita lekatkan pada sejarah penghisapan, tentang rakyat yang tak berdaya menghadapi penindasan demi kopi yang menggiurkan. (irf)
Namun, ada yang luput dari laporan-laporan tersebut, yakni tentang perlawanan terselubung nan alot dari penduduk terhadap sistem produksi yang tidak ada kepentingannya bagi mereka.
Saat VOC bangkrut di pengujung abad ke-18, pemerintah kolonial melanjutkannya dengan memberlakukan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa mulai tahun 1830 dengan perluasan komoditas.
Dan penderitaan rakyat Priangan terus berlanjut sampai diberlakukannya undang-undang agraria pada 1870, yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengelola perkebunan bekas lahan tanam paksa.
Di titik ini jelaskah bahwa kopi dalam rentang waktu yang panjang pernah menjadi sumber bencana bagi rakyat. Ia tak semanis narasi kiwari yang telah menjelma dalam pelbagai lini, terutama gaya hidup perkotaan dalam kantong-kantong kaum urban.
Dalam kumpulan prosa bertajuk Filosofi Kopi (2006), Dewi Lestari sempat menulis, “Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”
“Sisi pahit” itu barangkali secara bebas dapat kita lekatkan pada sejarah penghisapan, tentang rakyat yang tak berdaya menghadapi penindasan demi kopi yang menggiurkan. (irf)
Ket:
- Tayang pertama kali di tirto.id pada 9 Juli 2019
No comments:
Post a Comment