Ahmad Bakri adalah salah seorang pengarang Sunda yang produktif. Ketika dirinya telah pensiun dan diangkat menjadi Kepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah, Ciamis, ia malah meminta hanya jadi Wakil Kepala. Alasannya satu: ingin punya waktu luang untuk mengarang.
Tulisannya tersebar di sejumlah media
Sunda. Karangannya yang tercecer itu kemudian banyak diterbitkan dalam bentuk
buku oleh penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung.
Baik roman, serial, maupun kumpulan
cerita pendeknya, dapat diperoleh di penerbit tersebut yang beralamat di Jalan
Gumuruh No.38, Kota Bandung. Selain itu, terdapat juga di sejumlah toko buku.
Nadran adalah salah satu
karyanya. Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) atau dalam bahasa
Sunda disebut carita pondok (carpon). Buku ini terdiri dari tujuh carpon, dan “Nadran”
adalah satu judulnya.
Seperti karya Ahmad Bakri lainnya, meski
Nadran menghamparkan sejumlah tema,
namun garis merahnya adalah tentang tragedi dan komedi dengan latar belakang
perkampungan Sunda.
Bagi orang Sunda yang pernah tinggal
di kampung perdesaan, apa yang dituturkan Ahmad Bakri sedikit banyak pasti akan
terbanyang dan menimbulkan perasaan waas
(terkenang sesuatu yang terjadi di masa lalu).
Kasih Tak Sampai
Jika kita membaca sejumlah roman
terbitan Balai Pustaka atau penerbit lainnya yang ditulis oleh para pengarang
asal Minangkabau, maka kita akan mendapati kecenderungan bahwa kisah yang
terhampar rata-rata tentang kasih tak sampai.
Salah satu roman demikian yang paling
banyak menguras air mata pembacanya adalah Tenggelamnya
Kapal van der Wijck karya Hamka. Hal ini kemudian sempat menimbulkan
dugaaan dalam diri saya bahwa hanya pengarang asal Minangkabau yang menyukai
jenis cerita seperti itu.
Namun, setelah membaca beberapa karya
sastra berbahasa Sunda, saya juga akhirnya melihat bahwa sulur perjumpaan dan
perpisahan dalam bingkai kasih tak sampai, juga sering ditulis oleh para
pengarang Sunda, termasuk Ahmad Bakri. Seperti dalam Rajapati di Pananjung, misalnya.
Dan Nadran dibuka oleh kisah seperti itu yang berjudul “Nu Kungsi
Eunteup dina Lelembutan”. Setelah mengalami kebersamaan dalam sebuah pertemuan
yang awalnya tidak disengaja, tokoh “kuring” (lelaki) dan Neng Mamah bertemu
lagi di pantai Pangandaran.
Sebagai catatan, barangkali karena
Ahmad Bakri orang Ciamis, ada beberapa karangannya yang menjadikan panatai
Pangandaran sebagai latar cerita.
Dua orang yang pernah saling menyukai
dan kemudian terpisahkan oleh jarak itu bertemu lagi dalam sebuah vakansi
masing-masing. Keduanya masih saling mencintai, namun ada beberapa hal yang
telah berubah sehingga pengujung cerita dibiarkan menggantung.
Ahmad Bakri hanya memberi semacam
tanda tentang bagaimana kesudahannya hubungan dua orang yang pernah dimabuk
asmara tersebut.
“Kagungan putra…?”
Manéhna unggeuk. Catang nu tadi asa ngalayang téh nyirosot,
ngagejrét kana urutna tadi… Sewur ombak meupeus deukeut pisan. Kuring ngelap
beungeut nu baseuh kacérétan.
Cerita kedua, yakni “Nadran” masih
diwarnai oleh tema ini. Namun, kali ini disertai aroma pengkhianatan yang cukup
kental. Nadran artinya ziarah kubur. Seorang perempuan dan anak laki-lakinya
yang masih kecil mendatangi makam suaminya yang belum lama meninggal. Adegan
dipenuhi keharuan belaka.
Ketika hujan mulai turun, mereka
berteduh di sebuah gubuk tempat kuncen makam
beristirahat. Selain mereka,
ternyata ada orang lain, yakni seorang lelaki dewasa dengan anak perempuannya
yang juga masih kecil. Istrinya juga baru meninggal, malah lebih baru daripada
suami si perempuan tadi.
Mereka pun berkenalan dan mulai
mengobrol. Tak disangka sebelumnya, ternyata pasangan mereka masing-masing yang
sama-sama telah meninggal dunia mempunyai kisah yang pedih dan mengharukan.
Percakapan antara janda dan duda yang
keduanya telah mempunyai anak itu cukup lama. Sebelum berpisah, mereka bertukar
alamat rumah: yang satu tinggal di Bandung, dan satu lagi tinggal di Ciamis.
Sang duda yang berniat menikah lagi dan
tertarik dengan kenalan barunya itu mulai menyusun strategi. Ia hendak
berkunjung ke rumah kenalannya dengan alasan hendak membelikan baju dan mainan
bagi anak sang janda.
Namun, ketika ia tiba di rumah yang
dituju, harapannya pupus. Bagaimana sebetulnya hubungan antara suami si janda
dan istri si duda yang sama-sama telah meninggal itu? Penggalan berikut memberi
tanda bagaimana kisah mereka bermula dan berakhir:
Sihoréng indungna si Asép rék dirapalan. Handeueul lain di
kieuna bari jeung asa tibalik beungeut awahing ku éra… Jauh-jauh panjang
gagang. Ras inget kana lalakon baréto. Angot meureun raheutna haté Adnan
harita.
Cerita Cawokah/Jorang
sebagai Bentuk Keterbukaan?
Dalam beberapa perjalanan menyinggahi
sejumlah perkampungan di wilayah Priangan yang mayoritas warganya beretnik
Sunda, saya kerap menemui ibu-ibu yang tidak ragu bercanda tentang hal-hal tabu
seperti seks.
Mereka terlihat lepas dan santai saja
saat membicarakan hal-hal tersebut. Satu yang pasti: percakapan dan celetukan itu
kerap saya sertai dengan senyuman atau derai tawa.
Di banyak tempat, ibu-ibu Sunda—atau mungkin
ibu-ibu di etnik lain juga melakukan hal yang sama—tampaknya terbiasa dengan ucapan
cawokah atau jorang yang kemudian mereka dipersepsikan sebagai kelompok yang
terbuka, woles, dan gemar bercanda.
Hal ini ternyata muncul juga dalam
salah satu cerpen Ahmad Bakri yang berjudul “Sebel Tuda…!”
Sebagai catatan, dalam cerita ini
kaum perempuan tidak hanya membicarakan hal-hal tabu, tapi juga mengalami
pelecehan seksual yang mereka tanggapi dengan kesal bercampur senang.
Jika dipandang secara kritis dari
perspektif hari ini, apa yang ditulis oleh Ahmad Bakri adalah bentuk
pelanggengan patriarki. Namun, jika dilihat dari konteks zaman, pengarang yang
hidup dari tahun 1917 sampai 1988 ini barangkali berada dalam gelombang masa
yang mayoritas masih menomorduakan perempuan.
Satu hal lagi, di luar perdebatan
wacana tersebut, saya masih bisa menyisakan sangka baik kepadanya, bahwa apa
yang ia tulis mungkin adalah sketsa kehidupan sehari-hari yang ia lihat dan
alami.
“Sebel Tuda…!” menceritakan Ai dan
seseorang yang dipanggil “Euceu” oleh Ai. Artinya, lawan bicara Ai adalah
perempuan yang usianya lebih tua, atau seseorang yang ia hormati.
Keduanya secara bergantian
menceritakan pengalamannya masing-masing digoda dan diraba oleh laki-laki
jahil. Namun, alih-alih melahirkan trauma atau kemarahan besar, mereka justru
menceritakannya dengan kadar kecewa alakadarnya dibumbui tawa geli.
Berikut pengalaman Ai yang ia
ceritakan kepada seseorang yang ia panggil “Euceu”. Ketiaknya diraba seseorang,
seperti hendak memegang payudaranya.
“Srog ka bioskop, nyampak ngagimbung hareupeun lokét. Abdi gé
ngiring pasesedek ngantri… Na atuh keur kitu téh aya… aya kokod gagarayaman
lebah kélék. Rék nyopét nanahaon lebah dinya, cekéng téh dina haté, ari lain rék
ngodok éta mah…”
“Ngodok naon, Ai?”
“Muhun éta, karesep nu carunihin…”
Apakah Ai ada perlawanan dengan cara
berontak? Tidak:
Badé digareuwah dicopét-copét kabujeng teu téga, Ceu.”
“Naha…?”
“Kabujeng karérét beungeutna… Kasééép téh, Ceu. Lebar dicopétkeun
mah, mending diarah, cekéng téh…”
Sementara ini pengalaman Euceu.
Sama-sama di bioskop, namun lebih mengerikan. Seorang lelaki meraba pahanya
sampai ke pangkal paha dekat vagina:
“Pes lampu pareum. Mimiti kokodna téh ngopépang. Teu cara nu
tadi kana leungen. Kana pingping ieu mah muruna téh. Ti lebah tuur mimitina
mah, beuki luhur-beuki luhur lalaunan… ieueueung… mani asa kukurayeun, sieun
teuing muru ka dinya…”
“Ka dinya ka mana, Ceu?”
“Lah Ai mah! Mudun deui kokodna téh kana lebah tuur. Rada
lila eureunna di dinya téh siga ngawahan ngumpulkeun wawanén. Cik hayang nyaho
rék kumaha cekéng téh… Enya waé, ari séak téh hanjat ngaliwatan wates urut
tadi, nepi kana pongpok pisan…”
“Ieung…!”
Apakah Euceu marah? Juga tidak:
“Bendu atuh Euceu téh…?”
“Boro-boro bendu, puguh géték! Rék ngagorowok sieun ngaguyurkeun,
rék diképéskeun sieun kumaonam, da béjana, garong ogé mun kagareuwah téh sok
tuluy nékad… Mun di imah onaman, lahaola waé meureun…”
“Dikumahakeun atuh ku Euceu téh?”
“Teu dikumaha-kumaha… antep wae… Sebel tuda!”
No comments:
Post a Comment