11 December 2019

Nadran: Tujuh Cerita tentang Tragedi dan Komedi


Ahmad Bakri adalah salah seorang pengarang Sunda yang produktif. Ketika dirinya telah pensiun dan diangkat menjadi Kepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah, Ciamis, ia malah meminta hanya jadi Wakil Kepala. Alasannya satu: ingin punya waktu luang untuk mengarang.

Tulisannya tersebar di sejumlah media Sunda. Karangannya yang tercecer itu kemudian banyak diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung.

Baik roman, serial, maupun kumpulan cerita pendeknya, dapat diperoleh di penerbit tersebut yang beralamat di Jalan Gumuruh No.38, Kota Bandung. Selain itu, terdapat juga di sejumlah toko buku.

Nadran adalah salah satu karyanya. Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) atau dalam bahasa Sunda disebut carita pondok (carpon). Buku ini terdiri dari tujuh carpon, dan “Nadran” adalah satu judulnya.

Seperti karya Ahmad Bakri lainnya, meski Nadran menghamparkan sejumlah tema, namun garis merahnya adalah tentang tragedi dan komedi dengan latar belakang perkampungan Sunda.

Bagi orang Sunda yang pernah tinggal di kampung perdesaan, apa yang dituturkan Ahmad Bakri sedikit banyak pasti akan terbanyang dan menimbulkan perasaan waas (terkenang sesuatu yang terjadi di masa lalu).


Kasih Tak Sampai

Jika kita membaca sejumlah roman terbitan Balai Pustaka atau penerbit lainnya yang ditulis oleh para pengarang asal Minangkabau, maka kita akan mendapati kecenderungan bahwa kisah yang terhampar rata-rata tentang kasih tak sampai.

Salah satu roman demikian yang paling banyak menguras air mata pembacanya adalah Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka. Hal ini kemudian sempat menimbulkan dugaaan dalam diri saya bahwa hanya pengarang asal Minangkabau yang menyukai jenis cerita seperti itu.

Namun, setelah membaca beberapa karya sastra berbahasa Sunda, saya juga akhirnya melihat bahwa sulur perjumpaan dan perpisahan dalam bingkai kasih tak sampai, juga sering ditulis oleh para pengarang Sunda, termasuk Ahmad Bakri. Seperti dalam Rajapati di Pananjung, misalnya.

Dan Nadran dibuka oleh kisah seperti itu yang berjudul “Nu Kungsi Eunteup dina Lelembutan”. Setelah mengalami kebersamaan dalam sebuah pertemuan yang awalnya tidak disengaja, tokoh “kuring” (lelaki) dan Neng Mamah bertemu lagi di pantai Pangandaran.

Sebagai catatan, barangkali karena Ahmad Bakri orang Ciamis, ada beberapa karangannya yang menjadikan panatai Pangandaran sebagai latar cerita.

Dua orang yang pernah saling menyukai dan kemudian terpisahkan oleh jarak itu bertemu lagi dalam sebuah vakansi masing-masing. Keduanya masih saling mencintai, namun ada beberapa hal yang telah berubah sehingga pengujung cerita dibiarkan menggantung.
Ahmad Bakri hanya memberi semacam tanda tentang bagaimana kesudahannya hubungan dua orang yang pernah dimabuk asmara tersebut.  

“Kagungan putra…?”

Manéhna unggeuk. Catang nu tadi asa ngalayang téh nyirosot, ngagejrét kana urutna tadi… Sewur ombak meupeus deukeut pisan. Kuring ngelap beungeut nu baseuh kacérétan.

Cerita kedua, yakni “Nadran” masih diwarnai oleh tema ini. Namun, kali ini disertai aroma pengkhianatan yang cukup kental. Nadran artinya ziarah kubur. Seorang perempuan dan anak laki-lakinya yang masih kecil mendatangi makam suaminya yang belum lama meninggal. Adegan dipenuhi keharuan belaka.

Ketika hujan mulai turun, mereka berteduh di sebuah gubuk tempat kuncen makam 
beristirahat. Selain mereka, ternyata ada orang lain, yakni seorang lelaki dewasa dengan anak perempuannya yang juga masih kecil. Istrinya juga baru meninggal, malah lebih baru daripada suami si perempuan tadi.

Mereka pun berkenalan dan mulai mengobrol. Tak disangka sebelumnya, ternyata pasangan mereka masing-masing yang sama-sama telah meninggal dunia mempunyai kisah yang pedih dan mengharukan.

Percakapan antara janda dan duda yang keduanya telah mempunyai anak itu cukup lama. Sebelum berpisah, mereka bertukar alamat rumah: yang satu tinggal di Bandung, dan satu lagi tinggal di Ciamis.

Sang duda yang berniat menikah lagi dan tertarik dengan kenalan barunya itu mulai menyusun strategi. Ia hendak berkunjung ke rumah kenalannya dengan alasan hendak membelikan baju dan mainan bagi anak sang janda.

Namun, ketika ia tiba di rumah yang dituju, harapannya pupus. Bagaimana sebetulnya hubungan antara suami si janda dan istri si duda yang sama-sama telah meninggal itu? Penggalan berikut memberi tanda bagaimana kisah mereka bermula dan berakhir:  

Sihoréng indungna si Asép rék dirapalan. Handeueul lain di kieuna bari jeung asa tibalik beungeut awahing ku éra… Jauh-jauh panjang gagang. Ras inget kana lalakon baréto. Angot meureun raheutna haté Adnan harita.


Cerita Cawokah/Jorang sebagai Bentuk Keterbukaan?

Dalam beberapa perjalanan menyinggahi sejumlah perkampungan di wilayah Priangan yang mayoritas warganya beretnik Sunda, saya kerap menemui ibu-ibu yang tidak ragu bercanda tentang hal-hal tabu seperti seks.

Mereka terlihat lepas dan santai saja saat membicarakan hal-hal tersebut. Satu yang pasti: percakapan dan celetukan itu kerap saya sertai dengan senyuman atau derai tawa.

Di banyak tempat, ibu-ibu Sunda—atau mungkin ibu-ibu di etnik lain juga melakukan hal yang sama—tampaknya terbiasa dengan ucapan cawokah atau jorang yang kemudian mereka dipersepsikan sebagai kelompok yang terbuka, woles, dan gemar bercanda.
Hal ini ternyata muncul juga dalam salah satu cerpen Ahmad Bakri yang berjudul “Sebel Tuda…!”

Sebagai catatan, dalam cerita ini kaum perempuan tidak hanya membicarakan hal-hal tabu, tapi juga mengalami pelecehan seksual yang mereka tanggapi dengan kesal bercampur senang.

Jika dipandang secara kritis dari perspektif hari ini, apa yang ditulis oleh Ahmad Bakri adalah bentuk pelanggengan patriarki. Namun, jika dilihat dari konteks zaman, pengarang yang hidup dari tahun 1917 sampai 1988 ini barangkali berada dalam gelombang masa yang mayoritas masih menomorduakan perempuan.

Satu hal lagi, di luar perdebatan wacana tersebut, saya masih bisa menyisakan sangka baik kepadanya, bahwa apa yang ia tulis mungkin adalah sketsa kehidupan sehari-hari yang ia lihat dan alami.

“Sebel Tuda…!” menceritakan Ai dan seseorang yang dipanggil “Euceu” oleh Ai. Artinya, lawan bicara Ai adalah perempuan yang usianya lebih tua, atau seseorang yang ia hormati.

Keduanya secara bergantian menceritakan pengalamannya masing-masing digoda dan diraba oleh laki-laki jahil. Namun, alih-alih melahirkan trauma atau kemarahan besar, mereka justru menceritakannya dengan kadar kecewa alakadarnya dibumbui tawa geli.

Berikut pengalaman Ai yang ia ceritakan kepada seseorang yang ia panggil “Euceu”. Ketiaknya diraba seseorang, seperti hendak memegang payudaranya.

“Srog ka bioskop, nyampak ngagimbung hareupeun lokét. Abdi gé ngiring pasesedek ngantri… Na atuh keur kitu téh aya… aya kokod gagarayaman lebah kélék. Rék nyopét nanahaon lebah dinya, cekéng téh dina haté, ari lain rék ngodok éta mah…”

“Ngodok naon, Ai?”

“Muhun éta, karesep nu carunihin…”

Apakah Ai ada perlawanan dengan cara berontak? Tidak:

Badé digareuwah dicopét-copét kabujeng teu téga, Ceu.”

“Naha…?”

“Kabujeng karérét beungeutna… Kasééép téh, Ceu. Lebar dicopétkeun mah, mending diarah, cekéng téh…”

Sementara ini pengalaman Euceu. Sama-sama di bioskop, namun lebih mengerikan. Seorang lelaki meraba pahanya sampai ke pangkal paha dekat vagina:

“Pes lampu pareum. Mimiti kokodna téh ngopépang. Teu cara nu tadi kana leungen. Kana pingping ieu mah muruna téh. Ti lebah tuur mimitina mah, beuki luhur-beuki luhur lalaunan… ieueueung… mani asa kukurayeun, sieun teuing muru ka dinya…”

“Ka dinya ka mana, Ceu?”

“Lah Ai mah! Mudun deui kokodna téh kana lebah tuur. Rada lila eureunna di dinya téh siga ngawahan ngumpulkeun wawanén. Cik hayang nyaho rék kumaha cekéng téh… Enya waé, ari séak téh hanjat ngaliwatan wates urut tadi, nepi kana pongpok pisan…”

“Ieung…!”

Apakah Euceu marah? Juga tidak:

“Bendu atuh Euceu téh…?”

“Boro-boro bendu, puguh géték! Rék ngagorowok sieun ngaguyurkeun, rék diképéskeun sieun kumaonam, da béjana, garong ogé mun kagareuwah téh sok tuluy nékad… Mun di imah onaman, lahaola waé meureun…”

“Dikumahakeun atuh ku Euceu téh?”

“Teu dikumaha-kumaha… antep wae… Sebel tuda!”

Si Ai nyikikik seuri. 

No comments: