25 December 2019

A.S. Dharta dalam Kecamuk Revolusi, Asmara, dan Kemesuman Borjuis


A.S. Dharta adalah sastrawan romantis yang memilih jalur kiri. Pramoedya Ananta Toer menganggap Dharta sebagai guru politiknya.

Kepergian A.S. Dharta pada 7 Februari 2007, tepat hari ini 12 tahun silam, diikuti kisruh obituari tentang dirinya. Harian Pikiran Rakyat menjadi medan laga. Sepuluh hari setelah hayatnya tumpas, tulisan Ajip Rosidi muncul.

Menurut Ajip, tulisannya semula berjudul “A.S. Dharta 1923-2007”, tapi diubah redaksi Pikiran Rakyat menjadi “Akhir Hidup Pengarang Lekra”. Tulisannya dingin dan cenderung sinis. Ia secara terbuka menyatakan tidak hormat terhadap A.S. Dharta setelah kasus perselingkuhan yang membuat penyair asal Cibeber, Cianjur tersebut dipecat dari Konstituante dan Lekra.

Rasa tidak hormat itu, menurutnya, terutama dilandasi karena A.S. Dharta menyesali perbuatannya dan meminta ampun kepada partai agar ia diterima kembali menjadi kader.

“Saya sendiri sejak itu tidak bisa menaruh respek kepada Dharta,” tulisnya.

Tak hanya itu, Ajip pun mengisahkan sebuah fragmen saat dirinya bertemu dengan A.S. Dharta di Bandung pada akhir November 1965 atau sebulan setelah peristiwa G30S.

Ia dalam perjalanan pulang dari percetakan Ganaco di Jalan Gereja (sekarang Jalan Peristis Kemerdekaan), sementara A.S. Dharta selesai melapor dari kantor polisi di ujung utara Jalan Braga. Dalam pertemuan itu, imbuh Ajip, A.S. Dharta meminta uang kepadanya, tapi ia tolak.

“Dharta memang cenderung suka meminta uang kalau bertemu walaupun sebenarnya kami tidak begitu akrab,” terangnya.

Pada dua alinea terakhir, Ajip lagi-lagi menunjukkan ketidaksukaannya. Sebulan sebelum A.S. Dharta meninggal, anak penyair itu menelepon Ajip mengabarkan jika bapaknya yang tengah sakit keras ingin dijenguk olehnya. Namun, sampai ajal menjemput, keinginan tersebut tak dipenuhinya.

“[…] tapi dia (A.S. Dharta) sendiri sudah mulai pikun. Cibeber letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat memenuhinya. Saya tidak berani berjanji,” begitu alasannya.

Lalu ia pungkasi tulisannya dengan pertanyaan skeptis yang menghubungkan pilihan politik A.S. Dharta dengan alam setelah kematian. Ia menulis, “Tapi mungkin sebagai komunis dia tidak percaya akan adanya alam di balik kematian, sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?”

3 Maret 2007, di surat kabar yang sama, Martin Aleida—mantan wartawan Harian Rakjat—menanggapi tulisan itu. Ia menyayangkan Ajip Rosidi yang mengiringi kematian A.S. Dharta dengan tulisan yang menurutnya penuh caci maki.

“Tanpa diperiksa dengan seksama, sehina macam apakah Dharta sehingga dalam kematiannya ini sang istri, anak, dan cucu-cucunya yang belum kering airmata dukanya harus menanggung malu lewat kata-kata yang diumbar oleh budayawan kaliber internasional asal Jawa Barat itu?” tulis Martin.

Tujuh hari kemudian, giliran tulisan Budi Setiyono—editor buku kumpulan esai sastra A.S. Dharta yang bertajuk Kepada Seniman Universal (2010)—hadir ke hadapan pembaca Pikiran Rakyat.

Ia menitikberatkan kiprah A.S. Dharta sebagai sastrawan Sunda. Rachmatullah Ading Affandie—wartawan dan sastrawan Sunda—seperti dikutip Setiyono, menyebut A.S. Dharta sebagai salah satu sosok yang ikut mengembangkan bahasa dan sastra Sunda setelah perang. Ia disejajarkan dengan Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Rustandi, dan Ajip Rosidi.

“Semestinya pembicaraan tentang karya dan sosok sastrawan Sunda inilah yang kita harapkan dari Ajip Rosidi, dalam pembicaraan soal ‘Akhir Hidup Pengarang Lekra’, sehingga akan lebih memperkaya bahasa dan kesusastraan Sunda,” tulisnya.

Dua “serangan” itu membuat Ajip Rosidi akhirnya menulis ulang. 7 April 2007 tulisannya muncul lagi di Pikiran Rakyat. Setelah menerima surat dari A. Makmur K., kerabat A.S. Dharta, yang mengabarkan bahwa saudaranya itu adalah orang beriman, Ajip kali ini mengakui kesilapannya dan menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga mendiang atas tulisan obituarinya yang pertama, yang memojokkan A.S. Dharta.

Meski demikian, pada permulaan tulisannya Ajip tetap menyodorkan satu pembelaan. Menurutnya, mengenang hidup orang yang telah meninggal tergantung kepada hubungan yang dikenang dengan yang mengenang.

“Setiap orang niscaya punya kenangan atau anggapan yang berlainan tentang seseorang,” imbuhnya.

Si Banyak Alias Didikan Digulis

A.S. Dharta lahir pada 7 Maret 1924. Nama kecilnya adalah Endang Rodji. Pada perjalanannya, nama itu bersulih menjadi Adi Sidharta, kemudian A.S. Dharta. Sebagai seorang penyair dan penulis, ia juga mempunyai sejumlah nama pena, yakni Klara Akustia, Kelana Asmara, Jogaswara, Barmara Putra, dan lain-lain.

Salah satu nama itu, yakni Kelana Asmara, menurut Ajip menunjukkan bahwa A.S. Dharta pada dasarnya adalah orang yang romantis. Nama tersebut sempat digunakan saat ia menulis sajak di majalah Gelombang Zaman yang berkantor di Garut, pimpinan Achdiat K. Mihardja dan Tatang Sastrawiria.

“Kita tahulah kira-kira orangnya bagaimana kalau menggunakan nama seperti itu. Entah Kelana yang mencari asmara, entah Asmara yang berkelana,” tulisnya.

Asrul Sani mengatakan, Klara Akustia diambil dari nama Hongaria. Namun, menurut Ajip pendapat itu keliru, sebab Klara adalah nama panggilan bagi istrinya yang melarikan diri bersama serdadu KNIL ke negeri Belanda. Sementara Akustia, tambahnya, adalah “Akus(e)tia” meski sang istri telah mengkhianatinya.

Keterangan Ajip tersebut agak berlainan dengan yang ditulis Budi Setiyono. Nama asli Klara adalah Aini, pelabuhan hati A.S. Dharta saat cinta remaja mulai mekar. Aini tak disebutkan sebagai istrinya. Dan saat api revolusi berkobar, Aini dikawin paksa oleh tentara Belanda. Artinya, Klara tidak berkhianat tapi karena terpaksa.

Dan nama Jogaswara—entah sesuai dengan alasan A.S. Dharta atau sebaliknya—Ajip melekatkannya dengan nama tokoh dalam kisah Mantri Jero karangan R. Memed Sastrahadiprawira. Ia menebak A.S. Dharta mengagumi Jogaswara yang merupakan ksatria muda yang jujur dan berpegang teguh pada kebenaran.

Menurut Asep Sambodja dalam Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra (2011), nama Jogaswara digunakan A.S. Dharta saat ia menulis esai yang penuh elan bertajuk “Angkatan 45 Sudah Mampus” di Spektra edisi Th. 1, No. 15, 27 Oktober 1949.

Budi Setiyono yang menjadi 
anak angkat keluarga A.S. Dharta menulis, pada usia enam tahun penyair ini ditinggal wafat oleh ibunya yang bernama Fatimah. Lalu Moh. Usman, ayahnya, menyusul kemudian. Kepergian kedua orang tuanya benar-benar memukulnya.

“Saya seolah terlempar ke neraka,” ujar A.S Dharta kepada Budi Setiyono.

Lebih lanjut ia mengabarkan, jiwa A.S. Dharta bergejolak ketika diangkat anak oleh Okayaman, seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Ia juga sempat dididik Douwes Dekker saat sekolah di Nationaal Handele Lallegiun (NHL).

Pada masa revolusi, imbuh Setiyono, A.S. Dharta bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang beralamat di Menteng 31. Ia turut bertempur dalam pelbagai palagan. Ia juga aktif dalam sejumlah organisasi dengan memimpin Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, dan Serikat Buruh Pelabuhan.

Dalam beberapa esainya yang kemudian dihimpun menjadi buku Kepada Seniman Universal (2010), A.S. Dharta rajin menyeru para sastrawan untuk turut lebur dalam revolusi dan ikut mewarnai arah kehidupan masyarakat. Kata-katanya bergemuruh atau, meminjam ungkapan Wiji Thukul, “berkeringat dan berdesakan mencari jalan”.

Menurutnya, lewat kata-kata, sastrawan wajib berontak terhadap segala yang tak lurus dan menentang segala yang tak adil. Dalam esai bertajuk “Sastrawan di Tengah Api Revolusi” yang memakai nama Purwa Atmadja - Barisan Rakyat, ia menulis:

“[…] dalam detik-detik keadilan seakan sayup-redup membayang dihadang gelombang napas akhir imperealisme… dan kekuatan proletar mendidih-menyusun dalam kanal persatuan kekuatan raksasa, sastrawan turun dari ke-akua-annya, cair membanjir dalam kesadaran murba, serta bergumul memeras air mata jiwa di gelanggang kodratnya.”

“Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni: bandar humanisme damai bahagia,” imbuhnya.

Maka saat peristiwa Madiun 1948 meletus, A.S. Dharta kecewa terhadap Angkatan 45 yang menurutnya tidak ikut menjadi bagian dalam gelombang sejarah itu. Lewat esai “Angkatan 45 Sudah Mampus”, ia menganggap angkatan itu telah usai dan akan segera berganti oleh angkatan baru yang lebih sempurna dan lebih kuat.

Saat Mochtar Lubis menulis artikel dalam Siasat edisi 4 Desember 1949 yang bertajuk “Hidup, Mati?” ia menanggapinya dalam Spektra edisi Th. 1 No. 27, 27 Februari 1950. Ia menerangkan beberapa poin tentang angkatan 45. Menurutnya angkatan tersebut bukanlah sebuah ideologi, melainkan mata rantai yang menyambungkan angkatan lama dan angkatan baru.

Kritik ia paparkan terhadap angkatan tersebut yang menurutnya terlampau terlena dengan cinta abstrak. Pergerakannya semu dan hanya akan mengklaim apa yang diperjuangkan oleh rakyat dan pemuda progresif.

“Dalam tubuh Angkatan 45 merajalela anasir kelas pertengahan. Mereka senang semboyan-semboyan hampa, asal menggetarkan rasa. Mereka senang dan dengan penuh elan berjuang di tengah massa, selama kelihatan tenaga massa dapat menyelamatkan kepentingan mereka,” tulisnya.

Kenyataan itu membuat A.S. Dharta mengajukan hal baru: “dari agitasi ke organisasi, dari elan keinginan ke energi pelaksanaan”.

Dan enam belas hari sebelum tulisannya itu terbit, dengan memakai nama pena Jogaswara, ia terlebih dahulu menulis sebuah sajak yang ditujukan kepada Chairil Anwar, sosok yang menjadi simbol Angkatan 45:

“Dan engkau mengamuk/berani menghantam, gempur segala/asal ngamuk, asal pukul/pukul! pukul! pukul!/jangan tanya karena apa, untuk apa…

Ach, Chairil!/Mengamuk semata untuk ngamuk/sama dengan mereka peminum candu: Nol Besar!”

Guru Pram yang Terjerat Kemesuman Borjuis

Sekali waktu di bulan Agustus 2001, seperti dituturkan Koesalah Soebagyo Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (2006), Pramoedya Ananta Toer dan sejumlah kawannya menghadiri undangan Ajip Rosidi di rumahnya di kawasan Rawa Bambu, Pasar Minggu. Acara itu dimaksudkan untuk menyambut kedatangan kawan mereka, yakni Sobron Aidit.

Selesai makan, mereka berbincang. Saat asyik mengisap rokok, Pram tiba-tiba dikejutkan oleh perkataan tuan rumah.

“Pram, aku kecewa sekali. Dalam buku Nyanyi Sunyi itu kau kagumi A.S. Dharta,” ucap Ajip.

“Kemudian aku kecewa sekali!” jawab Pram spontan.

“Semua guru saya mengecewakan saya: A.S. Dharta, H.B. Jassin, Pak Said!” imbuhnya.

“Kalau aku, dari semula nggak bisa menghargai Dharta,” ucap Ajip sambil tertawa.

“Ya, Dharta itu yang narik-narik saya ke politik. Waktu itu saya kan nggak tahu apa-apa. Dia itu yang ngajak-ngajak,” sahut Pram.

Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid 1 (2000), Pram memang menceritakan A.S. Dharta kepada anaknya, Titiek, dalam sebuah surat. Setelah menikah dengan Maemunah Thamrin, pengantin baru itu tak diperbolehkan keluar rumah selama dua minggu. Sementara ia tak punya uang.

“Dan bagiku sendiri merupakan hari-hari yang sangat berat. Padaku sama sekali tidak ada uang. Dan aku malu setengah mati menumpang seperti itu. Dalam waktu semacam itu A.S. Dharta datang menyerahkan buku Mother Gorki,” tulisnya.

“Kau tak ada keberatan toh, menerjemahkan ini?” ucap A.S. Dharta kepadanya.
Pram pun menyanggupinya dan akhirnya mempunyai uang. Setelah pindah ke sebuah rumah petak yang butut, yang terletak pada tanah yang miring di dekat sawah, kawan-kawannya menjadi sering berkunjung, terutama A.S. Dharta.

Episode hidup ini Pram ceritakan juga dalam “Sunyisenyap di Siang Hidup”, sebuah cerita cukup panjang yang dihimpun dalam Menggelinding 1 (2004).

Pram menambahkan, A.S. Dharta banyak membicarakan sejumlah soal yang sebelumnya tak terpikirkan olehnya, sehingga ia mempunyai pandangan baru dalam bidang seni dan sastra.

“Dia yang menerangkan: tidak ada sesuatu bisa terlepas dari persoalan politik. Dengan kata-katanya yang bersemangat disertai hujan tampias dari mulutnya aku dengarkan dia dengan cermat. Aku tak tahu sesuatu tentang politik sebagaimana aku sangka semula,” terangnya.

Entah bagaimana mula kekecewaannya kepada A.S. Dharta, gurunya itu, yang jelas sang guru pernah terpeleset dalam kasus perselingkuhan yang akhirnya membuat ia dipecat dari Konstituante dan Lembaga Kebudayaan Rakyat, di mana ia sebagai pendiri sekaligus sekjen. Dalam autokritiknya, A.S. Dharta menyebut kasus itu dengan istilah “kemesuman borjuis”.

Selain dirinya, kasus serupa juga menjerat S. Sudjojono, pelukis yang juga anggota Konstituante. Berbeda dengan dirinya yang meminta kembali ke partai, S. Sudjojono dalam autobiografinya, Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017), justru memilih keluar dari partai.

“Cinta saya pada Rose (kekasihnya) tidak bisa diputuskan, sebab saya tidak mau jadi orang munafik dan terus-terusan berzinah […] Saya minta keluar, dan mereka boleh mengumumkan: Saya dipecat. Itu terjadi tahun 1958, saya keluar dari partai, dari parlemen, dan dari Lekra. Karier saya sebagai politikus berakhir, saya komplet sepenuhnya bisa melukis,” tulisnya.

Saat gempa politik 1965 berguncang, A.S. Dharta ditahan di penjara Kebonwaru, Bandung dan baru dibebaskan pada 1978. Orde Baru membatasi aktivitasnya. Dalam hari-hari penuh pengawasan dan stigma, ia menyusun kamus Sunda-Inggris di kampung halamannya di Cibeber, Cianjur, yang sayangnya tak sempat diselesaikan sampai ia pergi untuk selama-lamanya.

Rosihan Anwar, wartawan yang mengaku tidak mengenal A.S. Dharta secara pribadi, menulis dalam Sejarah Kecil Indonesia Jilid 3 (2009), “The time of great passion is over, zaman bergairah dan bersyahwat besar sudah lewat. Selamat jalan, penyair!” (irf)



Ket:

- Tayang pertama kali di tirto.id pada 7 Februari 2019

- Foto: sejarahsosial.org

No comments: