01 December 2019

H.B. Jassin dalam Pusaran Kontroversi Terjemahan Alquran



Dalam kepiluan setelah istrinya wafat, Jassin terus membaca Alquran kemudian menerjemahkannya secara puitis. 

Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya permulaan Alquran. Secara umum, kaum muslimin di Indonesia terbagi dua dalam meyakini kapan diturunkannya Alquran yang pertama kali. Pertama, tanggal 17 Ramadan. Kedua, pada malam lailatul qadar, yaitu salah satu malam di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.

Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu mula-mula pada abad ke-17 M oleh Syekh Abdul Ra’uf al-Fansuri, seorang ulama asal Singkil, Aceh. Kelak, ulama ini lebih dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Ra’uf as-Singkili, saat nama kampung halamannya dilekatkan di belakang nama.

Karya yang ia tulis bernama Turjuman al-Mustafid. Kitab ini sejatinya tidak murni terjemahan, melainkan tafsir Alquran. Ia merupakan kitab tafsir yang paling awal beredar di wilayah Melayu. Meski demikian, kitab ini meletakkan dasar-dasar bagi terjembataninya terjemahan dan tafsir.

Setelah Turjuman al-Mustafid, sampai abad ke-19 nyaris tak ditemukan lagi terjemahan Alquran ke dalam bahasa Indonesia. Baru pada abad ke-20 sejumlah karya terjemahan dan tafsir Alquran kembali dibuat, di antaranya Al-Furqon karya A. Hassan (1928), Tafsir Hidayatur Rahman karya K.H. Munawar Chalil (1935), Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H. Zainuddin Hamid dkk. (1959), Tafsir Al-Qur’anul Hakim karya H.M. Kasim Bakry dkk. (1960).

Pada 1977, terjemahan Alquran karya H.B. Jassin—sosok yang kata Asrul Sani sebagai “tukang kebun” yang merawat segala macam bentuk dan kekhasan sastra Indonesia—diterbitkan oleh penerbit Djambatan dan diberi nama Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia.

Karya ini dilatari oleh meninggalnya sang istri pada 12 Maret 1962. Dalam Majalah Budaja Djaja edisi November 1975, Jassin mengutarakan awal mula perjalanan dirinya menerjemahkan Alquran.

“Terjadilah kehendak Allah subhanahu wata’ala, bahwa istri saya dipanggil ke hadirat Ilahi pada tanggal 12 Maret 1962, kini telah 13 tahun yang lalu. Kejadian ini sangat menggugah kesadaran saya akan arti hidup manusia dalam hidupnya yang singkat di dunia ini. Berbuatlah baik terhadap sesama manusia, bersabarlah, balaslah kejahatan dengan kebajikan, niscaya kejahatan akan berobah menjadi kebajikan,” tulisnya.

Sejak istrinya meninggal, selama 7 hari berturut-turut rumahnya ramai oleh tetangga, kerabat, dan sahabat yang membaca Alquran sampai khatam 30 juz. Saat masuk hari kedelapan, ia disergap getir-sepi. Rumah tak lagi ramai dan istri tak lagi menemani.

Jassin yang berduka terus menerus membaca Alquran. Menurutnya, selama sepuluh tahun lebih setelah istrinya meninggal, baik saat di Indonesia maupun ketika melakukan perjalanan keluar negeri, hari-harinya tak pernah lepas dari Alquran.

Dalam pendahuluan Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia cetakan ke-2 (1982) yang sentimental, Jassin mengemukakan bahwa ia merasa tumbuh jiwa dan pengetahuannya karena menyelami hikmah-hikmah yang terkandung dalam Alquran.

Suatu hari, hatinya terbuka untuk mulai menerjemahkan Alquran. Setelah tanggal 7 Oktober 1972, di negeri Belanda, pikiran untuk menerjemahkan Alquran secara puitis timbul ketika Jassin membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, yang ia peroleh pada tahun 1969 dari seorang kawannya, Haji Kasim Mansur.

“Itulah terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan yang luas dan universal sifatnya. Untuk menimbulkan kesan yang estetis, penyair mempergunakan irama dan bunyi. Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga—jika perlu—irama singkat melompat-lompat atau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian melompat lagi penuh tenaga hidup. Bunyi yang merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi bukan saja di ujung baris, tapi juga di antara baris, mempertinggi kesan keindahan pada pendengar atau pembaca,” tambahnya.

Kesan dan pengalamannya membaca terjemahan Alquran karya Abdullah Yusuf Ali itulah yang mendorongnya menerjemahkan Alquran secara puitis.

Kontroversi Puitisasi Bacaan Mulia

Dalam menyusun terjemahannya, Jassin mempertimbangkan persajakan Indonesia yang menurutnya kaya akan aneka ragam bunyi, sehingga tidak sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi persajakan di ujung baris, di antara baris, ataupun di tengah baris.

Selain itu, ia juga memperhatikan letak perkataan, tanpa mengubah makna yang terkandung, tapi lebih membuatnya “bertenaga”. Sebagai contoh, dalam pendahuluannya Jassin mengutip surat ke-26 (asy-Syu’araa) ayat 36 yang mengisahkan Fir’aun meminta pertimbangan kepada para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa:

“Mereka menjawab: Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim ke kota-kota para bentara.”

Menurut Jassin, ayat tersebut akan lebih bertenaga dan penuh ancaman jika baris terakhir disusun ulang sebagai berikut:

“Dan kirim para bentara ke kota-kota.”

Contoh lain yang dalam pandangannya bakal menimbulkan penghayatan estetis secara audiovisual adalah perbedaan pilihan kata dari terjemahan Alquran pada umumnya. Ia mengambil surat ke-61 (ash-Shaff) ayat 2:

“Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?”

Dapat dipuitisasi menjadi:

“Mengapa kamu katakan apa yang tiada kamu lakukan?”

Karya Jassin ini berujung kontroversi. Majalah Tempo edisi 10 Juli 1982 melaporkan bahwa tidak lama setelah Al Quranul Karim Bacaan Mulia disebarkan pada 1978, berbagai nama serentak muncul di berbagai media massa sebagai penyerang. Bermacam surat datang ke Menteri Agama serta Majelis Ulama Indonesia, meminta terjemahan tersebut dicabut dari peredaran.

Sementara itu, di Surabaya, sebuah “panitia peneliti” lahir sendiri secara spontan—terdiri dari sejumlah ulama Jawa Timur. Bahkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengajukan koreksi. DDII juga mengeluarkan pernyataan bersama dengan Ikatan Masjid Indonesia Jakarta Raya.

Selain itu, dalam waktu yang amat berdekatan, tiga buah buku terbit untuk membahas karya Jassin tersebut, yaitu Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin (1978) oleh Nazwar Syamsu, Polemik tentang Al Quranul Karim Bacaan Mulia (1979) oleh H. Oemar Bakry, dan Sorotan atas Terjemahan Quran H.B. Jassin (1979) oleh K.H. Siradjuddin Abbas.

Sebagai doktor Sastra Indonesia yang bukan seorang ulama di bidang agama Islam, oleh mereka yang keberatan, Jassin dianggap tidak layak untuk menerjemahkan Alquran. Selain itu, kemampuan bahasa Arab Jassin juga banyak diragukan.

“Bagaimana pula ia bisa dipercaya dalam berbagai ilmu alat yang biasa dipakai ulama buat memahami persis kandungan Quran? Dari kenyataan itu orang jadi sangat mudah melihat (atau mencari) kesalahannya,” tulis Tempo.

Keberanian Jassin memakai nama Bacaan Mulia untuk Al Quranul Karim pun oleh sebagian kalangan—DDII salah satu yang keberatan—dianggap merendahkan.

“Seharusnya kan Quran Wahyu Ilahi,” ujar seorang tokoh DDII, seperti ditulis H. H. Oemar Bakry dalam bukunya.

Nazwar Syamsu menuding Jassin telah mengganti kata “Muslim” hanya dengan “orang yang menyerahkan diri (kepada Tuhan)” dalam satu ayat tentang Ibrahim. Nazwar juga mencurigai Jassin yang menerjemahkan “tafshilal kitab” dengan “menjelaskan al-Kitab”. Menurutnya, seperti dikutip Tempo“tafshilal kitab” mestinya diartikan “Kitab Penjelasan”.

“Dengan cara Jassin itu, Quran adalah buku yang menjelaskan kitab suci Kristen yang kini disebut Alkitab itu,” tambah Nazwar.

Agus Rois dalam Teror, Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016), menjelaskan bahwa tahun 1978 umat Islam kembali dibuat berang oleh Jassin (kasus Jassin yang pertama adalah tahun 1968 saat meloloskan cerpen “Langit Makin Mendung” di majalah Sastra). Di jalan-jalan, tulisnya, di bawah kibaran bendera terdengar suara keras, “Seret Jassin!” “Hukum Jassin!”

Meski banyak ditentang, karya Jassin ini malah naik cetak untuk yang kedua kalinya oleh penerbit yang berbeda. Cetakan kedua ini terbit tepat pada hari ulang tahun Jassin yang ke-65. Entah mundur karena reaksi yang keras dari masyarakat atau karena waktu yang sempit jelang ulang tahun Jassin, yang jelas penerbit Djambatan akhirnya mundur dan digantikan oleh Yayasan 23 Januari 1942.

“Kami tertarik pada semangat Jassin dalam menghadapi kritik. Bukan mundur, malah tambah maju,” ujar Katilis Panigoro, sekretaris Yayasan 23 januari 1942.

Selain mendapat banyak penolakan, Jassin juga mendapat dukungan dari Mukhtar Luthfi al-Anshari, ketua panitia Majelais Ulama DKI yang mengoreksi terjemahannya. Menurut Mukhtar Luthfi al-Anshari, kebanyakan ulama hanya berpegang pada sebagian saja kitab-kitab tafsir andalan sebagai perbandingan, di Indonesia terutama mengacu kepada tafsir Ibnu Katsir. Kondisi ini tambahnya, membuat mereka terkejut saat ada terjemahan yang tidak sejalan dengan aliran standar yang telah mereka pilih.

Dalam pengantar untuk cetakan kedua karya Jassin, Mukhtar Luthfi al-Anshari menyebut bahwa hanya ada sekitar 30 “kesalahan khusus”, meski tidak ada yang menyangkut ayat atau materi hukum. Sisanya adalah “kesalahan umum” yang juga ada dalam terjemahan dan tafsir lain karena kurangnya referensi.

Saat memeriksa kritik yang dilontarkan kepada Jassin oleh Oemar Bakry dan Nazwar Syamsu, Mukhtar Luthfi al-Anshari menyatakan bahwa Jassin yang benar.

Panitia koreksi yang diketuai oleh Mukhtar Luthfi al-Anshari dibentuk karena kerasnya protes dari sejumlah kalangan terhadap karya Jassin tersebut. Meski pada cetakan pertama Buya Hamka (ulama cum sastrawan yang dihormati) dan menteri agama mengisi kata pengantar, juga adanya sambutan simpatik dari Prof. Aboebakar Atjeh, pro-kontra bermunculan.

Alquran Berwajah Puisi

Al Quranul Karim Bacaan Mulia hendak naik cetak untuk yang ketiga kalinya pada permulaan tahun 1990-an. Saat memeriksa naskah karya tersebut, Jassin berpikir untuk menampilkan Alquran yang berwajah puisi.

Jassin menemukan susunan sejumlah mushaf Alquran terbitan Indonesia, Turki, Mesir ,dan Arab Saudi yang semuanya berbentuk prosa.

Menurut Islah Gusmian dalam “Kontroversi Alquran Berwajah Puisi karya H.B. Jassin: Studi tentang Cara Penulisan dan Layout Mushaf Alquran” (Jurnal Istiqro’, Vol. 05, No. 01, 2006), bentuk prosa yang Jassin maksud adalah model penulisan ayat-ayat Alquran yang terpaku pada kepentingan memenuhi ruang bidang halaman yang telah ditentukan.

Islah menambahkan bahwa terjemahan ayat-ayat yang satu kesatuan pikiran kadang disambung dengan ayat sebelumnya demi memenuhi ruang kosong yang ada, meski sedikit, dan sisanya bersambung ke baris berikutnya.

“Model penulisan semacam ini, menurut H.B. Jassin bisa mengganggu konsentrasi pembaca dalam merenungi isi dan arti suatu ayat,” tulisnya.

Seperti karya sebelumnya, Alquran Berwajah Puisi juga melahirkan kontroversi di kalangan umat Islam yang menganggap—ya, bahkan sebelum mereka mengetahui bagaimana karya tersebut—bahwa Jassin telah membuat Alquran yang dipuisikan.

“Dan, betul saja, sekali lagi, di tahun 1992, Jassin kembali jadi pesakitan. Ia kembali mendapatkan ancaman. Bukunya Alquran Berwajah Puisi, versi panjang dari Alquran Bacaan Mulia yang mengobrak-abrik tipografi Quran, dengan segera ditentang,” tulis Agus Rois dalam Teror, Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016).
Beberapa kalangan yang mendukung Jassin mencoba mengajukan pertanyaan: “Apa salah Jassin menyusun Alquran ke dalam baris-baris puisi?”

Mereka menjelaskan bahwa saat Alquran turun di Mekkah, suaranya membelah cahaya, dan batin orang Arab tersentuh oleh keindahan bunyinya. Mereka juga mengutip sebuah sabda nabi yang berbunyi:

“Hiasilah Alquran dengan suara kalian, dengan suara yang merdu dan pelan-pelan, niscaya kalian akan bersama-sama malaikat yang mulai dan taat, siang-malam.”

Namun, tambah Agus, orang-orang terlanjur mengatakan Jassin—yang dikenang sebagai pembela cerpen Langit Makin Mendung yang dituduh melecehkan Nabi Muhammad—adalah kafir yang membuat Alquran tandingan.

Hassan Basri, Ketua MUI waktu itu, menolak diterbitkannya Alquran Berwajah Puisi karena dianggap mempermainkan salah satu mukjizat Nabi Muhammad tersebut. Sementara itu, Fuad Moh. Fachruddin mengaitkan penulisan Alquran Berwajah Puisi dengan perilaku orang-orang Syiah.

Ali Yafie dan Ma’ruf Amin menyatakan ketidaksetujuan terhadap karya Jassin tersebut dengan pertimbangan demi ketenangan umat Islam. Menurut mereka, cara penulisan Alquran merupakan petunjuk langsung dari Tuhan sehingga tidak bisa diubah.

Seperti Alquranul Karim Bacaan Mulia, dalam catatan Islah Gusmian, karya Jassin yang ini pun mendapat dukungan dari beberapa tokoh intelektual Muslim, di antaranya Prof. H. Chatibul Umam (Guru Besar fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah), Ali Audah (sastrawan dan penerjemah sejumlah literatur Arab), dan Abdurrahman Wahid (Ketua PBNU).

“Sejauh tidak ada tanda baca dan kedudukan ayat yang diubah, mereka tidak mempermasalahkan upaya Jassin tersebut,” tulis Islah.

Sebagai pemegang otoritas, MUI dan Lajnah Mushaf Alquran Depatemen Agama menolak format Alquran versi Jassin dengan melayangkan surat resmi kepada sastrawan asal Gorontalo tersebut. Alasan Hassan Basri: naskah versi Jassin tidak sesuai dengan Mushaf Utsmani. Sementara itu, rapat pleno Lajnah Pentashih Mushaf Alquran memutuskan bahwa karya Jassin tersebut dinilai lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya.

Keputusan tersebut membuat Alquran Berwajah Puisi yang diterbitkan Djambatan tidak bisa beredar secara luas. Dan karena pemerintah (Departemen Agama) dan MUI menolak karya itu, masyarakat pun akhirnya menganggap karya Jassin sebagai mushaf yang sesat. (irf)



Ket:

-Tayang pertama kali di tirto.id pada 10 Juni 2018
-Foto: bukalapak.com

No comments: