11 December 2019

Kisah Para Pejuang Kemerdekaan yang Bernasib Suram



Para veteran perang kerap kesulitan, bahkan gagal, menyesuaikan diri dengan kebebasan di masa kemerdekaan.

Setelah perang kemerdekaan berakhir, tak semua kombatan yang berjuang membela Indonesia menjadi berjaya hidupnya. Jiwa keperwiraan yang dipanggul di setiap pertempuran dan sepanjang revolusi, mesti luluh lantak ditekuk kenyataan yang mencegat di garis depan berikutnya.

Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram), yang mengalami masa revolusi dan sempat melewatkannya sebagai kombatan, menulis beberapa cerpen untuk mengabadikan kondisi para mantan pejuang itu. Beberapa di antaranya: "Demam", "Terondol", dan "Jalan Kurantil No. 28", cerpen-cerpen yang relatif kurang dikenal pembaca.

"Demam" (1950) dan "Terondol" (1947) dihimpun dalam buku Menggelinding 1 yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada 2004, dua tahun sebelum Pram meninggal. Sementara "Jalan Kurantil No. 28" terdapat dalam buku Subuh (pertama terbit tahun 1951).

Pram memang menulis banyak buku, yang dalam kata-katanya disebut sebagai anak-anak rohaninya: ada yang terkenal dan panjang umur, ada juga yang kurang popular atau bahkan mati muda. Namun demikian, ia tak pernah membeda-bedakan anak-anak rohaninya.

Dalam esai "Kesusastraan dan Perjuangan" yang dimuat dalam Mimbar Penyiaran DUTA tahun 1952 ia menjelaskan, “Kesusastraan sebagai pancaran dari kegiatan jiwa, bahkan perjuangan jiwa, adalah dokumentasi manusia yang tegas.”

 

Kirno, Oestin, Mahmud Aswan

Ketika Belanda menduduki kota, Kirno serta pasukannya mundur bergerilya ke hutan-hutan di Mantingan. Ia jatuh sebagai korban dan menggelepak di rumah seorang lurah: kakinya buntung, matanya buta.

Saat perang berakhir, ia mengutuk keadaan dirinya. Kirno menjadi seorang pemarah. Ati, kekasihnya, diusir dari rumah ketika mencoba menemuinya yang mula-mula setelah 
kecamuk revolusi. Hanya Tini, adiknya, yang menjadi penghibur batin Kirno. Bocah itu kerap disuruhnya bernyanyi untuk mengobati semua luka jiwa.

“Terbayang dalam kepalanya betapa bebasnya dulu mempergunakan kaki dan matanya, sekalipun dalam zaman penjajahan. Ya, sekalipun demokrasi dan kemerdekaan tak diteriakkan orang. Dan dalam negara demokrasi dan merdeka ia kehilangan haknya untuk berjalan dan melihat. Ya, sekalipun demokrasi menjamin kebebasan perseorangan. Sekali lagi ia mengeluh. Sekali lagi. Dan sekali lagi,” tulis Pram. (hlm. 476).

Kedatangan Ati, perempuan yang dipujanya sebelum dan semasa perang, menjadi jalan bagi Kirno untuk menumpahkan segala kekecewaan dan kemarahannya kepada dunia. Hidup, penderitaan, dan segala perasaan yang sesak di dada ia tumpahkan.

“Ati kawan-kawanku mati seorang-seorang dan dilupakan orang. Dan aku pun mati dilupakan orang sekarang. Bukankah itu sudah adat dunia sesudah perang selesai. Ati? Perang selesai dan masing-masing yang masih hidup boleh memperoleh kedudukannya masing-masing dalam masyarakat yang dibentuknya sendiri. Bukankah itu sudah adat dunia sesudah perang, Ati?” (hlm. 477).

Di atas kursi roda (Pram menyebutnya kereta) Kirno terus mengeluarkan segala isi hatinya. Ati sang kekasih barangkali dianggapnya sebagai dunia itu sendiri, tempat semua cita dan bunga harapan bersemi. Dalam kondisi tak berdaya—kemana-mana didorong adiknya, Kirno akhirnya menyerah. Telah habis segala asa. Sudah tumpas semua harap. Namun meski begitu, sebelum ia menyuruh Ati pergi, sempat juga ia mengenangkan sisa-sisa keinginannya.

“Waktu engkau pergi, aku sudah buta, aku pun sudah tak bisa berjalan lagi, Ati. Ingin betul aku selalu duduk di sampingmu. Ingin betul aku selalu mendengar suaramu. Ati. Tapi jangan datang padaku hanya suara saja. Ya, hanya suaramu saja yang menunjukkan padaku engkau masih ada. Suara—dan perasaan sedikit. Dan kenang-kenangan sedikit. Pergilah engkau, Ati. Pulanglah engkau. Itu lebih baik untukku,” ujarnya. (hlm. 484)

Kisah tersebut ditulis Pram dalam cerpen "Demam" yang pertama kali dimuat dalam Mimbar Indonesia tahun 1950.

Sementara dalam "Jalan Kurantil No. 28" yang dihimpun dalam Subuh (1952), Pram menceritakan seorang mantan serdadu yang meskipun fisiknya masih lengkap, namun kepribadiannya telah hilang.

“Sepatu itu melangkah-langkah jua, pendek-pendek lesu dan tetap. Warnanya hitam—bekas sepatu 
serdadu Gurkha. Baru sekali ini sepatu itu menciumi aspal Jalan Kurantil. Dulu sepatu itu gagah, mengkilat dan galak juga. Dia pernah menginjak dada bangkai berpuluh-puluh prajurit dari berbagai bangsa dan di berbagai medan perang. Tapi kini sudah hilang keindahan dan kegagahannya. Tumitnya sudah miring. Hitamnya telah berbulu-bulu putih-putih, hidung bopeng-bopeng, dan jahitannya sudah banyak yang rantas. Langkahnya tak tegap lagi, tapi melangkah juga. Di dalamnya tersembunyi kaki yang kecil, tipis, dan kehijau-hijauan, dan di atasnya menjulur betis yang tipis, lutut, paha, kemudian celana pendek militer. Dulu betis itu besar dan bertenaga juga, walaupun tak mengalami perang di mana-mana. Hanya sekali itu mengalami pertempuran, di Jalan Kramat. Perbandingan antara betis dan sepatu besar itu jadi perhatian semua orang yang melihatnya. Tapi betis itu berjalan saja, sekalipun orang menamai kaki kijang atau kaki pinokio.” (hlm. 26).

Teeuw dalam naskahh "Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer" yang dimuat di Jurnal Kebudayaan Kalam 6 Thn. 1995 menjelaskan bahwa kutipan tersebut adalah awal cerita yang amat mengerikan.

“Awal ceritanya sangat mengerikan, dievokasi dehumanisasi dan desintegrasi seorang manusia; tokoh ini menjadi fungsi ‘bungkusan pakaian’-nya yang serba kumal. Kepribadiannya tidak ada lagi. Ia terdiri dari daging yang dibungkus dalam sepatu dan pakaian lain yang telah ada sejarahnya di luar dia, bahkan badannya sendiri telah tua,” tulisnya. (hlm. 35)

Mahmud Aswan nama mantan serdadu itu. Setelah meringkuk dalam penjara sebagai 
tawanan perang selama empat tahun, ia pergi ke Jalan Kurantil No. 28 untuk kembali ke pada istrinya tercinta. Namun rupanya tak ada tempat lagi baginya di dunia ini, ia mendapati istri, anak dan rumahnya semuanya telah diambil alih oleh temannya. Mahmud limbung, dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya ia mendekati sungai Ci Liwung dan menceburkan diri. Konon perang telah dimenangkan, tapi bagi Mahmud yang ada hanya kekalahan. Keluarga—yang kata Pram sebagai mula kehidupan manusia, payung yang melindungi keturunan manusia dari hujan dan terik pergaulan hidup, telah direnggut orang lain.

Dalam "Terondol", cerpen yang pertama kali dimuat dalam Sadar (No. 2 Th. II, 16 Mei 1947), Pram tak berkisah tentang gerilyawan republik, namun orang Indonesia mantan tentara Belanda yang baru pulang tugas dari Australia. Oestin namanya.

Setelah 
pendudukan Jepang berakhir, ia kembali ke Indonesia hendak menemui keluarganya di kampung. Surat dikirimkan, tapi balasan yang datang membuatnya berdegup. Karena ia dianggap telah mati dalam pertempuran laut, istrinya menikah lagi dan telah menambah dua orang anak.

Kecewa ada, tapi tak lekas membuatnya putus asa. Dikirimkan lagi surat kedua, kali ini meminta agar anaknya diantarkan ke Jakarta. Namun ternyata anaknya tak diizinkan menemui bapaknya.

“Sekali ini ia menangis. Ia merasa sedih. Karena itu ia merasa hidup kembali. Tetapi ia benci pada hidup seperti itu. Ah! Apalagi kalau ia membuka kopor, tampak setelan piama. Ia mau mengistimewakan keturunannya di antara anak-anak sebayanya. Hambar saja harapannya. Walaupun gunung, kalau dipacul setiap hari, datar juga akhirnya. Demikian pula dengan harapan. Kecewa dan kecewa, berbaris; lemah juga ketabahannya,” tulis Pram. (hlm. 45)

Tak kuat menahan kecewa yang datang bertubi, akhirnya Oestin menyerah. Dadanya 
dimakan TBC, darah keluar. Seminggu ia tak bangun dari tempat tidur. Habis kesanggupannya, habis harta benda, habis harapan, habis cita-cita, habis segala-galanya. Ia terondol. Seperti ayam tak berbulu kedinginan di dalam hujan.

“Sebulan kemudian perusahaan ibunya bangkrut, badannya! Ia diantarkan kembali, berpatok dua,” tulis Pram. (hlm. 45)

Menanggapi cerita "Jalan Kurantil No. 28", A. Teeuw menyebutnya bukan kisah yang isinya sangat dalam, tapi menunjukkan empati dan simpati Pram bagi korban perjuangan serta keinsafan akan kesia-siaan dan kepercumaan perjuangan kemerdekaan yang konon dimenangkan.

Teeuw menambahkan bahwa berkat penguasaan bahasa, kekuatan gaya, dan keaslian imajinasinya, Pram berhasil mentransformasikan kenyataan revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia tanpa menjadi propagandis revolusi.

“Tidak menyembunyikan kelemahan manusia, individual maupun kolektif, yang tiap kali tergoda hawa nafsu dan keangkaraannya. Justru kejujuran citra revolusi yang disajikan Pramoedya menjadikannya meyakinkan, meningkatnya kredibilitasnya. Manusia dan kemanusiaan, itulah yang akhirnya menjadi pokok, tema utama, dalam kenyataan hulu maupun dalam kenyataan hilir yang kita sebut seni,” tulis A. Teeuw dalam "
Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer" yang dimuat di Jurnal Kebudayaan Kalam 6 Thn. 1995.

Cerita Kirno, Oestin, dan Mahmud Aswan adalah kisah manusia-manusia yang menjelempah di hadapan realita. Mereka larut dalam peperangan, memperjuangankan apa yang mereka yakini benar. Namun setelah perang berakhir, harapannya tercabik dan merawankan kemanusiaan.

 

Para Veteran dalam Fakta dan Fiksi

Tokoh-tokoh yang diceritakan Pramoedya dalam naskah-naskah di atas memang fiksi. Namun karakter-karakternya diambil dari kisah nyata yang dialami dan disaksikan sendiri oleh Pram.

Masa revolusi antara 1945-1950 (termasuk masa pendudukan Jepang, 1942-1945) seakan menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi Pramoedya. Ia banyak sekali menulis naskah tentang masa-masa bergolak itu. Selain Menggelinding 1 dan Subuh yang beberapa ceritanya diulas di sini, ada juga Percikan RevolusiDi Tepi Kali BekasiBukan Pasar Malam, hingga Perburuan.

Bukan Pasar Malam, sebagai misal. Novelet itu merupakan kisah nyata yang dialami Pramoedya sendiri. Ditulis dengan setting setelah revolusi berakhir, novelet itu mengisahkan betapa pahitnya kehidupan para kombatan di masa pascarevolusi. Sosok yang diceritakan dalam Perburuan, sebagai misal yang lain, adalah orang sekampungnya sendiri.

Siapa yang diceritakan hidupnya pahit dalam novelet itu? Ya, Pram sendiri.

Topik-topik tentang para 
mantan pejuang alias veterang perang umumnya menggambarkan kesulitan, bahkan kegagalan, mereka menyesuaikan diri dengan situasi kemerdekaan. Mereka mengalami kegagapan di tengah situasi baru. Dilamun oleh mimpi tentang cerahnya kemerdekaan, mereka justu menghadapi realitas yang tidak mudah: kemerdekaan tidak berarti apa-apa bagi perbaikan nasib mereka.

Salah satu kisah legendaris tentang nasib para pejuang pascarevolusi adalah Lewat Djam Malam, sebuah film besutan 
Usmar Ismail yang naskahnya ditulis oleh Asrul Sani. Iskandar, tokoh utama film itu, mengalami depresi karena pengalaman perang yang menghantui dan dipersulit oleh rekan-rekan seperjuangannya yang justru hidup di atas kecurangan dan korupsi. (irf)



Ket:

- Tayang pertama kali di tirto.id pada 20 Februari 2018

No comments: