Kisah cinta yang tragis ini dipublikasikan secara luas karena surat-surat cinta yang dibocorkan kepada seorang penulis.
Kisah ini merupakan kisah cinta yang rumit, beberapa nama dalam kisah ini juga cukup sulit. Ada kemiripan nama, tapi beda pribadi. Ada pula yang namanya berbeda, tapi mengacu pada satu pribadi. Pelan-pelan saja, seperti asap yang membubung dari lilin raksasa di klenteng-klenteng.
Ketika hubungan dengan lelaki yang dicintainya belum jelas, Hilda Tan berkali-kali menerima surat cinta dari lelaki lain. Tan Tjin Hiauw adalah lelaki yang ia cintai, sedangkan Lie Tok Sim adalah lelaki yang berkali-kali mengiriminya surat. Cinta Hilda kepada Tan Tjin Hiauw membuatnya menolak cinta Lie Tok Sim. Surat-surat balasan yang berisi penolakan cinta malah dijual oleh Lie Tok Sim kepada seorang penulis.
Hilda sebetulnya telah meminta Lie Tok Sim untuk mengembalikan atau membakar surat-surat tersebut, namun Lie Tok Sim tidak memenuhinya. Dari sanalah, dari surat-surat balasan yang dieksploitasi itu, lahirlah roman percintaan yang berjudul Rasia Bandoeng atawa Satoe Pertjintaan jang Melanggar Peradatan “Bangsa Tiong Hoa”: Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917 (selanjutnya ditulis Rasia Bandoeng saja).
Fakta
dan Fiksi dalam Rasia Bandoeng
Roman Rasia Bandoeng kini telah berusia
seabad dan diterbitkan
ulang oleh Komunitas Aleut dan Penerbit Ultimus dengan
perubahan beberapa ejaan. Roman itu ditulis oleh seorang bernama Chabanneau.
Nama itu sebenarnya sebuah jenama untuk minuman cognac atau
konyak.
James T. Siegel, dalam Fetish, Recognition, Revolution, seperti dikutip Lina Nursanty dalam artikel bertajuk "Siapakah Chabanneau?" (Pikiran Rakyat, 18 Februari 2015), mengidentifikasi Chabanneau sebagai laki-laki.
“Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris ‘his’ atau ‘him’ kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang diceritakan adalah seorang laki-laki,” tulis Lina.
Dari curahan hati Hilda yang ditulis dalam surat kepada Lie Tok Sim itulah Chabanneau melahirkan roman percintaan yang menggemparkan Bandung. Kisah itu menjadi percintaan terlarang antara dua insan semarga (sama-sama bermarga Tan). Dua sejoli saling cinta, dirintangi adat dan orangtua, kawin lari, dan mesti menanggung segala konsekuensi dari keputusannya.
Hilda Tan atau Tan Gong Nio adalah putri Tan Djia Goan, seorang pengusaha sukses penjual batik yang juga mengambil alih sebuah toko makanan dan minuman, Provisien en Dranken, milik Jo Eng Hoeij di Pasar Baru, Bandung. Hilda jatuh cinta kepada Tan Tjin Hiauw, putra Tan Sio Tjhie, pengusaha yang telah bangkrut.
Chabanneau menyamarkan nama asli para tokohnya, kendati
masih dengan inisial aslinya. Hermine Tan (nama asli) diganti menjadi Hilda Tan
(HT), Tan Tjeng Hoe menjadi Tan Tjin Hiauw (TTH), Tan Djin Gie menjadi Tan Djia
Goan (TDG), dan Tan Sim Tjong menjadi Tan Sio Tjhie (TST).
Cara penamaan tokoh ini tentu saja memungkinkan pembaca pada zamannya bisa menduga siapa yang sedang dikisahkan itu. Apalagi roman ini diberi subjudul Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng. Jika dikaitkan dengan penamaan di Kota Bandung, memang sempat ada Gang Simcong (sebuah jalan kecil di Jalan Jenderal Sudirman yang bisa tembus ke Jalan Kelenteng dan Jalan Kebonjati, sekarang berubah menjadi Gang Adibrata) dan Sekolah Dasar Simcong.
“Dulu namanya Sekolah Rakyat Simcong. Banyak anak-anak Tionghoa yang tidak mampu yang bersekolah di sini,” ujar Yunus (73) warga asli Gang Simcong saat ditemui Lina dari Pikiran Rakyat di rumahnya di RW 08 Kelurahan Kebonjeruk, Kecamatan Andir.
Simcong adalah Tan Sim Tjong, yang dalam novel bernama Tan Sio Tjhie.
Cara penamaan tokoh ini tentu saja memungkinkan pembaca pada zamannya bisa menduga siapa yang sedang dikisahkan itu. Apalagi roman ini diberi subjudul Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng. Jika dikaitkan dengan penamaan di Kota Bandung, memang sempat ada Gang Simcong (sebuah jalan kecil di Jalan Jenderal Sudirman yang bisa tembus ke Jalan Kelenteng dan Jalan Kebonjati, sekarang berubah menjadi Gang Adibrata) dan Sekolah Dasar Simcong.
“Dulu namanya Sekolah Rakyat Simcong. Banyak anak-anak Tionghoa yang tidak mampu yang bersekolah di sini,” ujar Yunus (73) warga asli Gang Simcong saat ditemui Lina dari Pikiran Rakyat di rumahnya di RW 08 Kelurahan Kebonjeruk, Kecamatan Andir.
Simcong adalah Tan Sim Tjong, yang dalam novel bernama Tan Sio Tjhie.
Dua
Sikap Orangtua
Tan Djia Goan sebenarnya berpikiran cukup maju. Hal itu tampak dari pilihan menyekolahkan anaknya ke sekolah Lagere School dan dididik ala Eropa, serta pernah mengirim putrinya tersebut ke HBS (Hoogere Burgerschool) di Batavia, hingga kedua putrinya mempunyai nama Eropa: Helena untuk Tan Kaij Nio dan Hilda untuk Tan Gong Nio. Namun, dalam soal perkawinan, ia masih menjunjung adat leluhurnya (baca: Sekolah-Sekolah di Zaman Belanda).
Riset Bambang Tjahjadi (Tan Siong Bouw), yang terbit dengan judul "Pernikahan Semarga dalam Komunitas Tionghoa Peranakan di Bandung pada Awal Abad ke-20 (Kasus Keluarga Tan Sim Tjong)" menjelaskan bahwa pernikahan semarga sebenarnya dilarang keras.
Dengan merujuk buku Hukum Dinasti Qing (1644-1911), Bambang menulis: “Pernikahan semarga (satu klan) tidak direstui keluarga dan merupakan hal yang tabu. Klan merupakan bagian sel awal masyarakat Tionghoa. Perasaan kebersamaan anggota klan garis ayah sangat kuat. Mereka tidak dapat dipisahkan di mana pun mereka berada. Anggota klan saling menolong sehingga dalam satu klan tidak ada seorang pun yang merasa lemah.”
Bambang menambahkan, sembari merujuk catatan Oskar Weggel dalam Chinesische Rechtgeschichte (1980), bahwa menurut adat Tionghoa pada masa dinasti Mancu (Qing), di Tiongkok, setiap pernikahan bertujuan untuk menjaga kesinambungan generasi penerus keluarga patrilineal melalui keturunan anak lelaki serta untuk perluasan klan.
“Pelanggaran aturan ini tidak hanya mengakibatkan hukuman
melalui proses pengadilan, tetapi pernikahan yang ada dianggap tidak sah atau
tidak pernah terjadi. Larangan ini berlaku pula untuk pernikahan sesama saudara
sampai kekeluargaan derajat keempat,” tulisnya.
Sementara itu, Tan Sio Tjhie justru mendukung langkah anaknya (Tan Tjin Hiauw). Sebuah fragmen dalam Rasia Bandoeng menggambarkan percakapan keluarga yang berakhir dengan keputusan merestui hubungan asmara itu. Dalam pertemuan tersebut terungkap beberapa pertimbangan yang melatari keputusan menerima hubungan anaknya.
“Umur Hilda Tan masih remaja, mereka satu marga, dan adanya harapan keterbukaan karena keluarga Tan Djia Goan menganut agama Kristen. Selain itu, ada perbedaan kekayaan atau status sosial. Pada saat itu, Tan Sio Tjhie (Tan Sim Tjong) sudah jatuh miskin, sedangkan Tan Djia Goan (Tan Djin Gie) merupakan hartawan terkemuka. Pada pertemuan itu mereka sepakat jika Hilda Tan (Hermine Tan) telah berhenti sekolah, Tan Sio Tjhie mengajukan lamaran kepada pihak keluarga Tan Djia Goan,” tulis Bambang.
Sementara itu, Tan Sio Tjhie justru mendukung langkah anaknya (Tan Tjin Hiauw). Sebuah fragmen dalam Rasia Bandoeng menggambarkan percakapan keluarga yang berakhir dengan keputusan merestui hubungan asmara itu. Dalam pertemuan tersebut terungkap beberapa pertimbangan yang melatari keputusan menerima hubungan anaknya.
“Umur Hilda Tan masih remaja, mereka satu marga, dan adanya harapan keterbukaan karena keluarga Tan Djia Goan menganut agama Kristen. Selain itu, ada perbedaan kekayaan atau status sosial. Pada saat itu, Tan Sio Tjhie (Tan Sim Tjong) sudah jatuh miskin, sedangkan Tan Djia Goan (Tan Djin Gie) merupakan hartawan terkemuka. Pada pertemuan itu mereka sepakat jika Hilda Tan (Hermine Tan) telah berhenti sekolah, Tan Sio Tjhie mengajukan lamaran kepada pihak keluarga Tan Djia Goan,” tulis Bambang.
Hilda
Tan Tahan Banting
Faktor terakhir itulah, ditambah inisial tokoh-tokoh dalam Rasia Bandoeng yang serupa dengan nama-nama sebenarnya, yang membuat para pembaca pada masa itu mudah mengetahui siapa yang sedang diceritakan oleh Chabanneau.
Setahun kemudian, pada 1919, Tan Tjin Hiauw, lelaki yang diperjuangkan dengan sekuat hati oleh Hilda itu, meninggal pada bulan Mei. Jenazahnya dimakamkan di TPU Kebon Jahe di Jalan Pajajaran, kemudian dipindahkan ke TPU Cikutra—meski dalam penelusuran Bambang Tjahjadi makam tersebut sampai sekarang belum ditemukan.
Pada tahun dan bulan yang sama dengan
kepergian suami untuk selama-lamanya, anak kedua mereka lahir. Namun, nasib
Hilda tak berubah, ia justru semakin dikucilkan oleh ayahnya dan tidak boleh
berhubungan dengan ibu serta kakaknya. Dalam keterpurukan mental dan finansial,
Hilda akhirnya mendapat pekerjaan berkat bantuan seorang misionaris Belanda. Di
tempat kerja itulah ia berjumpa dengan Emil Verduyn Lunel, seorang blasteran
Eurosia, yang kelak menikahinya.
Lagi-lagi, pernikahan ini pun tidak direstui ayah Hilda. Alasannya: menikahi blasteran dianggap lebih hina dibanding menikah dengan semarga. Tan Djia Goan tak sekadar menolak memberi restu, ia bahkan menggunakan pengaruhnya untuk mengganggu karier Emil di Bank Escompto. Emil sampai kehilangan pekerjaan. Suami kedua Hilda itu kemudian meninggal dalam tahanan Jepang, sembilan hari sebelum Jepang menyerah.
“Sebagai janda perang, Hilda Tan (Hermine Tan) kemudian meninggalkan Indonesia tahun 1946 dan tinggal di Belanda. Banyak penderitaan yang dialaminya, baik karena kesulitan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial baru di Belanda maupun karena sakit akibat penderitaan batin yang dialaminya,” tulis Bambang.
Hilda Tan meninggal pada November 1957 di Haarlem, Belanda. Jauh dari puak, jauh dari tanah air, bernisankan keberanian menentang adat yang masih dipeluk teguh orangtuanya. (irf)
Lagi-lagi, pernikahan ini pun tidak direstui ayah Hilda. Alasannya: menikahi blasteran dianggap lebih hina dibanding menikah dengan semarga. Tan Djia Goan tak sekadar menolak memberi restu, ia bahkan menggunakan pengaruhnya untuk mengganggu karier Emil di Bank Escompto. Emil sampai kehilangan pekerjaan. Suami kedua Hilda itu kemudian meninggal dalam tahanan Jepang, sembilan hari sebelum Jepang menyerah.
“Sebagai janda perang, Hilda Tan (Hermine Tan) kemudian meninggalkan Indonesia tahun 1946 dan tinggal di Belanda. Banyak penderitaan yang dialaminya, baik karena kesulitan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial baru di Belanda maupun karena sakit akibat penderitaan batin yang dialaminya,” tulis Bambang.
Hilda Tan meninggal pada November 1957 di Haarlem, Belanda. Jauh dari puak, jauh dari tanah air, bernisankan keberanian menentang adat yang masih dipeluk teguh orangtuanya. (irf)
Ket:
- Tayang pertama kali di tirto.id pada 16 Februari 2018
- Foto: tirto.id/Getty Images/iStockphoto & Komunitas Aleut
No comments:
Post a Comment