Tadi pagi seorang kawan mengabarkan bahwa Toko Buku Djawa
yang berada di Jl. Braga tutup! Ya, bukan tutup sementara, tapi permanen. Dia
melihat buku-buku diangkut ke dalam mobil, entah mau pindah ke mana. Toko buku
yang dijaga si mbak yang kurang ramah ini akhirnya menyerah. Ada sekira tiga
kali saya singgah ke sana, membeli beberapa buku sejarah dan mendapat berkah
senyuman si mbak meskipun minimalis. Rasanya baru saja kemarin saya menyaksikan
Toko Buku Eureka di Rawamangun dan Depok meregang nyawa, sekarang ada lagi
kantong literasi yang tumbang.
Itu boneka siapa? |
Seminggu ke belakang, saya juga mencium aroma kematian—bukan
hanya toko buku, tapi pasar buku! Terletak di lantai 2 Pasar Cihaurgeulis yang
kumuh, siapa pun akan prihatin begitu berkunjung ke Pasar Buku Suci. Sudah lama
saya mendengar ihwal kantong literasi ini, namun entah kenapa perlahan hilang
dari perhatian dan ingatan. Baru-baru waktu membuka FB, ingatan yang tercecer
itu timbul kembali. Pada sebuah akun FB, seseorang mengabarkan bahwa bahwa
salahsatu tokoh buku yang pernah berniaga di Suci telah meninggal dunia.
Adalah Pak Dayat orang yang banyak dikenang itu. Saya tidak
pernah bertemu dengannya, apalagi mengenalnya secara pribadi. Tapi dari
sejumlah obituari koleganya, saya membayangkan beliau adalah orang yang
bersahaja-berkawan. Pada Pesta Buku Bandung yang berakhir tanggal 5 Februari
kemarin, kabar duka tentang Pak Dayat pun saya temui di “koran” mini Lawang
Buku. Di sana menyebutkan bahwa almarhum sempat berkiprah di Pasar Buku Suci.
Kondisi pelataran |
Jejalin kabar inilah yang akhirnya menyeret saya untuk
mengingat kembali Pasar Buku Suci, dan menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Sekira
pukul 13.15 wib saya sudah sampai di parkiran motor Pasar Cihaurgeulis yang
kumuh. Dengan kondisi seperti ini mulanya saya ragu, apakah benar di sini
tempat menjual buku? Namun keterangan dari tukang parkir, dan tulisan yang
tertera di sebuah bangunan sekarat akhirnya menyakinkan saya, bahwa ya memang
di sinilah tempatnya.
Telah puluhan kali saya menyambangi Pasar Buku Palasari,
meskipun bangunannya sederhana, namun tak pernah saya merasa seprihatin seperti
sekarang. Di tangga sebelum pintu masuk saya disambut sebuah boneka yang
tergantung. Kalau akhir-akhir ini banyak film horror yang menggunakan boneka,
maka apakah ini juga sebuah simbol horor yang lain? Tangga itu ditutupi oleh
atap yang hampir hancur. Besi berkarat di mana-mana, dan tali-tali rafia yang
terikat.
Lorong gelap |
Di dalam kios buku berjajar dalam lorong yang agak gelap,
namun hanya beberapa saja yang masih buka. “Tos
aruih tadi sěp, ah da tiiseun panginten,”
kata seorang ibu setengah baya yang kebetulan kiosnya masih buka, sambil
memilih-milih buku berbahasa Sunda yang tanyakan. Sudah pulang? padahal jam dua
pun belum, pikir saya. “Buku-buku Sunda těh sok dicandakan ku nu daragang di
UNISBA, janten ieu mah sesa wě,
tah geuning ieu aya Ajip Rosidi,” sambung si ibu sambil memperlihatkan buku
karangan sastrawan kelahiran Jatiwangi itu.
Suaminya sedang sibuk membantu seseorang yang tengah
menyalakan lampu. Tak lama beliau pun ikut bergabung. “Bapak, uninga Pak Dayat?
Saurna mah kapungkur nu ngagaduhan kios Tanah Air, “ tanya saya ke si
bapak. Sejenak beliau terdiam sambil
mengingat-ngingat. “Pak Dayat nu
dedeganna alit saněs?
Nyak kunaon kitu?.” Saya jelaskan ihwal “pertemuan” saya dengan Pak Dayat
yang akhirnya membawa saya ke sini. “Innalillahi….
tah kitu yuswa mah nyak sěp,
padahal mah da anom kěněh Pak Dayat těh,”
wajahnya memancarkan kekagetan, begitu juga istrinya. Di sesela perbincangan,
saya sempat mengambil beberapa gambar pasar buku tersebut.
Yang dijual di sini mayoritas adalah buku-buku pelajaran
untuk siswa sekolah—dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Waktu saya
berkunjung, bisa dipastikan bahwa tidak ada seorang calon pembeli pun kecuali
saya. Beberapa pemilik kios yang masih buka nampak berwajah kuyu. Kegembiraan
macam apa yang hendak mereka rayakan di tengah barang dagangan yang sepi
pembeli? Saya agak manaruh curiga pada lantai yang lumayan bersih,
jangan-jangan ini disebabkan karena kurangnya pengunjung.
Setelah mendapatkan lima buku yang diminati dan harganya
murah meriah, akhirnya saya pamit. Dari atas nampak lahan parkir yang
centang-perenang dan kotor. Genangan air dan sampah bekas orang berjualan ikan
masih ada. Aroma di sekitar pasar buku itu jangan ditanya lagi, sebab di
bawahnya pasar basah maka bisa dipastikan bau busuk yang khas bertahan
sepanjang hari. Dengan kondisi yang menyedihkan ini, Pasar Buku Suci seperti
hendak menjemput ajal. Namun semoga saja sangkaan saya itu tidak benar.
Lampu baru nih :-) |
Di sepanjang jalan Suci (Surapati-Cicaheum) atau Jl. P.H.H.
Mustofa, memang ada kompetitor yang sangat mumpuni, apalagi kalau bukan Bandung Book Centre. Toko buku yang
mulanya terkenal di kawasan Palasari ini kini melebarkan sayap niaganya. Terletak pada bangunan yang sama dengan Giant
Hypermarket, Bandung Book Centre
cukup memanjakan pengunjungnya.
Maka bagi Pasar Buku Suci, dengan kondisi tempat yang kurang
layak, disertai dengan hadirnya kompetitor yang berpengalaman, bertahan hidup
pun kiranya sudah sebuah prestasi. Saya tak hendak menyalahkan kehadiran toko
buku yang berdekatan dengan Giant, justeru bagus untuk menopang kebutuhan buku
para pelajar yang kampusnya berjajar sepanjang Jl. Suci, namun kiranya renovasi
dan penataan ulang Pasar Buku Suci menjadi kebutuhan yang mendesak, mungkin
sama pentingnya dengan menghadirkan taman-taman kota yang kini dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. [ ]
Bekas pedagang ikan |
Foto : Arsip Irfan Teguh Pribadi
1 comment:
Bagus sekali tulisannya.
Iya, saya sangat prihatin dengan keadaan Bursa Buku Suci saat ini. Sempat beberapa kali saya berkunjung kesana dan menemui satu kios saja yang buka. Menurut penuturan bapak penjaga kiosnya memang penjual disana mayoritas hanya berjualan untuk sampingan saja. Ada pekerjaan tetap lainnya.
Tapi saya kasihan kepada bapak dan ibu yang masih membuka kiosnya (seperti bapak tersebut), pedahal bisa dipastikan mungkin seharian ia tidak mendapatkan uang sama sekali dari berjualan buku disana
Post a Comment