Pikiran Rakyat |
Sebenarnya bukan saya yang berlangganan, tapi bapak. Eh,
menyebut bapak pun sebenarnya kurang tepat juga, sebab yang berlanggan adalah
sekolah yang pimpin oleh bapak. Begini alurnya : sekolah bapak berlanggan
koran, tapi karena posisi desa saya berada sekira 150 km dari Kota Sukabumi,
jadi koran pagi pun baru sampai ke kampung sekira jam satu siang, di mana
sekolah sudah bubar. Nah, akhirnya tukang koran pun mengantarkannya ke rumah,
dan saya biasanya menjadi pembaca mula-mula (kadang kalah cepat dengan kakak-kakak
saya yang juga gemar membaca koran). Besok pagi, akhirnya koran itu baru sampai
ke sekolah dan dibaca secara bergiliran oleh para guru.
Adalah Aa Dirman yang rumahnya dekat sawah yang menjadi agen
Harian Pikiran Rakyat. Sawah itu
kalau musim kemarau suka dipakai sepakbola, dan rumah Aa Dirman kerap menajdi
korban; kadang genting atau kaca jendelanya pecah dihantam bola yang meluncur
terlampau deras. Bocah-bocah yang main bola, termasuk saya, bisanya langsung
melarikan diri seperti para kriminal. Dari kejauhan masih terdengar suara Aa
Dirman atau Amih (istrinya) yang jengkel dengan ulah para begundal cilik.
Karena sudah bosan dengan kejadian yang berulang, akhirnya
si empunya rumah memagari tempat tinggalnya dengan menanam pohon-pohon yang
tumbuh tinggi dan rindang. Itu pun nampaknya dirasa masih kurang, sebab
beberapa kawat kemudian dipasang dan ditanami tumbuhan rambat. Aman sudah. Kami
tenang, Aa Dirman pun tenteram. Solusi yang brilian tepat pada waktunya.
Usia Pikiran Rakyat |
Dari Pikiran Rakyat
yang paling saya buru adalah tulisan tentang sepakbola. Dulu pernah juga
menjadi bobotoh Persib dan AC Milan. Belakangan klub Italia itu sudah saya
tinggalkan sebab muak dengan ulah para Mafioso yang ikut ancrub dalam pengaturan skor. Kalau orang-orang berkeyakinan bahwa
klub pujaan masa kecil tak akan lekang oleh waktu, buat saya itu tidak berlaku,
meskipun kadang-kadang—kalau melihat jersey AC Milan, ada juga selintas ingatan
terbang ke masalalu. Untuk Persib tidak berubah, mungkin hal itu karena sudah
lebur dalam budaya, bahasa, dan tradisi.
Dalam pikiran anak-anak, saya tidak begitu mengerti pesan apa
yang disampaikan oleh Mang Ohle, selain tampilan kartun yang cukup jenaka saja
yang saya lihat. Peci hitam, sarung, dan kumisnya masih terekam jelas sampai
sekarang.
Kalau ada cerita epic tentang anak kecil yang belajar
membaca dari bungkus sisa belanjaan, barangkali salahsatunya adalah saya. “Mun aya koran urut ngabungkus asin atawa
tarasi tong dipiceun, anggursi diajar maca,” begitu kata mama. Hal ini
menjadi tidak terlalu sulit buat saya, sebab kakak-kakak saya rajin menjadi mentor.
Maka begitulah, sebelum masuk sekolah dasar saya sudah bisa membaca koran, yang
kemudian sombong di hadapan teman-teman kelas 1 SD. Waktu mereka masih lělěngkah halu mengeja “INI BUDI, INI BAPAK BUDI”, saya diserang bosan yang
hebat.
Tapi kemampuan membaca itu (buat saya) ternyata tak
selamanya membawa berkah. Entah kenapa kalau membaca koran sambil duduk mata
suka tidak kuat; ngantuk luar biasa. Maka saya bersiasat, akhirnya membaca
koran sambil nangkarak di sofa. Kebiasaan
itu akhirnya menyeret saya ke optic untuk membeli kacamata minus.
Datangnya koran ke rumah memang tidak selalu lancar,
kadang-kadang telat sehari karena pengantarnya sakit atau ada keperluan yang
mendesak. Suatu hari saya disuruh bapak mengambil koran ke rumah Aa Dirman, hal
ini tentu saja melahirkan ketakutan, sebab saya adalah salahsatu kriminal yang
kerap membuat jengkel si agen koran. “Dibantun
ka bumi Aa Dirman, Pak? Pan biasana oge sok dijajapkeun ku si akang,” saya
mencoba mengelak. “Si akangna keur gering
meureun, jung buru bawa,” dan saya tak bisa menghindar lagi.
Tiba di halaman depan rumah agen koran saya menggigil. Sejenak
hanya mematung seperti hendak mengemis. Tapi akhirnya dipaksakan juga mendekati
pintu, “Punten.” Mesti beberapakali
saya bilang permisi sebelum akhirnya ada suara menyahut dari dalam, “mangga.”
“Badě aya peryogi naon sěp?”, kata Amih yang muncul dari
balik pintu. “Bade ngabantun koran
piwarang bapak.” Sejenak Amih seperti tak percaya, ada kerut dikeningnya. “Nyak saha jenengan bapak těh?,”setelah saya kasih tahu akhirnya beliau masuk ke dalam dan balik
lagi sambil membaca koran. “Punten kituh
nyak wartoskeun ka bapak, nyěta
si akangna nuju teu damang,” saya hanya mengangguk. Saya selamat, dan sepanjang
perjalanan pulang yang terasa hanya perasaan ngemplong.
Selain berita sepakbola dan Mang Ohle, saya lupa lagi apa
yang suka saya baca dari Pikiran Rakyat.
Begitulah setiap hari selama bertahun-tahun, koran yang dibaca hanya Pikiran Rakyat, sampai saya sempat
menyangka bahwa harian ini adalah satu-satunya yang ada di Indonesia. Kepompong
kampung memang seperti barikade yang mengisolasi wawasan. Memang ada dua
majalah yang saya tahu; pertama Media Pembinaan
(majalah intern Departemen Agama, jatah bapak kalau sudah ngambil gaji dari Kota
Sukabumi), dan yang kedua Tandang (entah
majalah apa, saya hanya melihat sampul depannya, itu pun milik tetangga).
Dulu Asma Nadia belum ada |
Entah tahun berapa, keyakinan ini perlahan runtuh (meskipun
masih ragu) ketika tiba-tiba bapak berganti koran. Pikiran Rakyat diganti dengan Republika. Agen koran ini bukan lagi Aa Dirman, melainkan kawan bapak di partai politik yang bernama Pak Daday. Pergantian ini kemungkinan didasari karena konon Republika terkait erat dengan ICMI, yang dalam pandangan bapak
berpihak pada Islam. Kekecewaan muncul karena Persib menjadi sangat jarang
diberitakan, meskipun AC Milan masih muncul sesekali.
Kondisi ini akhirnya memaksa saya membaca beberapa rubrik yang
tersedia. Mungkin karena sudah duduk di bangku SMP, saya mencoba membaca rubrik
Resonansi. Dalam pemahaman yang menggapai-gapai
karena maknanya dirasa terlalu susah, saya mulai berkenalan dengan beberapa
tulisan Miranda Risang Ayu, Zaim Uchrowi, Sinansari Ecip, Zaim Saidi, dan Farid
Gaban. Nama-nama ini akhirnya lebih melekat di ingatan daripada isi tulisannya.
Namun ada seseorang yang sangat pogot dalam membaca Republika.
Namanya Didin, saya tentu saja memanggilnya A Didin. Masih saudara sebenarnya,
sebab ibunya A Didin adalah bibi mama saya. Beliau lulusan Pesantren Gontor
Ponorogo, wajahnya memancarkan aura kecerdasan. Hampir setiap hari dia selalu
memanggil saya untuk meminjam koran, dia sendiri menunggu di Masjid Agung dekat
Alun-alun desa. “Tong diwartoskeun ka
bapa nyak isin,” dan saya hanya mengangguk. Setelah memberikan koran
biasanya saya kembali bermain. Setelah shalat ashar koran itu dikembalikan.
Pertengahan tahun 1998, menjelang saya merantau ke Kota
Sukabumi untuk melanjutkan sekolah, entah kenapa koran tidak pernah datang lagi
ke rumah untuk selama-lamanya. Perpisahan dengan kampung hampir bersamaan
dengan hilangnya koran yang telah menemani saya selama bertahun-tahun. Untunglah
di kota media cetak begitu melimpah, dan di kota pula lahir sebuah titik balik
keyakinan, bahwa koran sesungguhnya bukan hanya Pikiran Rakyat dan Republika.
Namun kenang-kenangan akan media cetak yang dikenal mula-mula tidak pernah
hilang sampai sekarang. [ ]
Foto :
* Arsip Irfan TP
* republika.co.id
* twitter.com/@JalanIslam
No comments:
Post a Comment