Saya pernah bertanya-tanya, kenapa di luar negeri sana ada saja
pendukung klub-klub medioker yang begitu setia tanpa tergoda sedikit pun untuk
menjadi pendukung klub-klub besar. Saya lupa, karena terlalu sering melihat
jersey KW klub besar Eropa di sini, sehingga alpa pada satu hal yang sangat
fundamental; bahwa mereka, pada pendukung klub medioker itu adalah pewaris sah
dari para tetua moyang mereka yang sudah berdiri di tribun sejak dari dulu. Meski bukan klub medioker, namun hal tersebut terjadi pula pada Bobotoh Persib.
Tak tahu persisnya bagaimana proses pewarisan itu berlangsung,
tapi yang saya ingat sekitar tahun 1995, waktu Persib berlaga di Piala Champion
Asia, dengan radio kecil bermerek Sony, saya kesal dengan gelombang radio yang
kemerosok, timbul tenggelam seperti di sapu angin.
Dari pelosok selatan Sukabumi, saya dengan penuh antusias
mendengarkan siaran radio pertandingan-pertandingan Persib melawan Verdy
Kawasaki, Bangkok Bank, Ilhwa Chunma, Thai Farmers Bank, dan Pasay City FC. Di kamar
belakang, waktu kawan-kawan saya bermain petak umpet di halaman masjid, saya
justeru sibuk memutar-mutar antena radio demi mendapatkan suara yang agak
jernih. Ini laga internasional! Dan saya tak boleh melewatkannya.
Persib sudah hampir seperti udara. Di kampung yang jaraknya
ratusan kilometer dari Kota Bandung, kalau Persib berlaga, para tetangga pasti
ramai membicarakannya. Kang Entang, seorang tetangga yang kebetulan juga pemain
bola kelas Kelurahan, paling gencar kalau sudah membincangkan Persib. Kumis
tebalnya yang mirip Adeng Hudaya ngajepat
gagah. “Tah euy, mun maraneh jadi bek, tempo Roby Darwis. Si eta conto paling
alus jang jadi bek!”
Anak-anak, termasuk saya, pasti banyak yang nimbrung
mendengarkan obrolan-obrolan tentang Persib itu. Kami tidak mengenal jarak yang
terbentang, bagi kami karena Persib bermarkas di Ibu Kota Jawa Barat, maka kami
sebagai warga Jawa Barat adalah juga bagian darinya. Sesederhana itu. Tapi
kecintaan yag lahir kemudian seringkali tak terbendung. Persib lalu menjadi
semacam elan vital bagi para bobotoh yang telah dijodohkan oleh Tuhan dengan
klub kebanggaannya. Ya, bukan kami yang memilih Persib, tapi Tuhan yang
menakdirkan.
Silahkan tanya bobotoh, sejak kapan mereka mencintai Persib?
Pasti mayoritas tidak ingat, sebab sejak lahir pun takdir menjadi bobotoh telah
melekat. Ini adalah cinta yang mengalir di urat nadi. Sepakbola telah menjadi
neo tribal yang mengakar. Dan saya hanyut dalam arus besarnya. Di titik ini,
bobotoh tak akan pernah menghitung untung rugi dalam mendukung klubnya.
***
Setelah pertarungan sengit di Piala Champion Asia, Persib pasang
surut; baik secara prestasi maupun secara financial. Saya seringkali mengikuti
beritanya dengan ngeri-ngeri sedap sekaligus ngilu. Yang paling menegangkan
adalah waktu persib hampir terperosok ke jurang degradasi!
Di tengah perjuangan Persib melepaskan diri dari ancaman
degradasi, konon saat itu juga anak Mang Ayi Beutik lahir. Dan sebagai bentuk
do’a, maka Mang Ayi menamai anaknya dengan sebuah nama yang sangat epic :
Jayalah Persibku.
Inilah bentuk totalitas dukungan yang nyata dari seorang bobotoh
kepada Persib. Barangkali orang-orang menyebutnya anomali, dan demi Persib Mang
Ayi telah mempersetankan komentar miring orang-orang itu.
Akhir yang menyedihkan sebetulnya, bahwa Persib juara setelah 19
tahun penantian justeru ketika Mang Ayi telah tiada :(
Mang Ayi Persib Juara!!
***
Tanggal 8 November 2014, pagi-pagi sekira jam 6, saya sudah
berada di depan Gedung Sate. Datang pagi hanya untuk merasa pedih melihat
bus-bus yang dipakai rombongan bobotoh ke Palembang hancur. Rivalitas dan
permusuhan telah memanen anak kandungnya sendiri. Dunia sepakbola memang keras,
dan entah sampai kapan kebencian itu akan tetap subur.
Beberapa bobotoh terluka dan dengan sigap langsung ditolong
anggota PMI. Ada juga yang tengah minum kopi dan merokok sambil
berbincang-bincang ihwal pengalamannya berperang di tol TB. Simatupang.
Katanya, dini hari tadi tol dalam kota tak ubahnya seperti sebuah medan laga
yang menegangkan.
Satu jam kemudian saya pulang untuk persiapan siang hari; pesta
rakyat!
***
Sebenarnya jadwal resmi arak-arakan tim Persib dimulai pada jam
14.00, tapi saya sedari jam 10.00 telah berada di dekat Gasibu dengan kamera
digital di tangan. “Anterin ke Gasibu, takut keburu macet!,” adik saya males
sebetulnya, tapi terpaksa juga nganterin kakaknya.
Betul saja, sisi barat Gedung Sate sudah dipadati bobotoh yang
menunggangi kendaraan roda dua. Motor tak bisa jalan, semua tertahan dalam
lautan biru. Barangkali untuk mengusir suntuk karena macet, beberapa bobotoh
membunyikan klakson dan meraung-raungkan motornya dengan tarikan gas yang
memekakkan telinga. Ada juga suara petasan, mercon, dan flare.
Saya bergerak ke depan Gedung Sate yang juga telah dipadati
bobotoh beragam umur; dari balita sampai aki-aki hadir di sana. Waktu terus
berjalan, menjelang jam dua siang langit mulai kelabu dan mendung. Tak lama
kemudian hujan pun turun. Karena tempat berteduh telah habis, maka saya
putuskan untuk berlari ke arah jalan Banda.
Berteduh sebentar sambil jajan cuanki, dan ngobrol dengan
rombongan bobotoh Dayeuh Kolot. Kemudian meneruskan perjalanan menuju jalan Riau
(Martadinata). Jalanan macet! Menjelang sore saya sampai di jalan Merdeka,
tepat di depan BIP. Di sana suasanannya ramai juga. Orang-orang yang hendak
atau telah selesai berbelanja ikut menonton bobotoh yang konvoi.
Saya naik ke jembatan penyeberangan jalan Merdeka, dan
menyaksikan konvoi bobotoh yang seolah tiada habisnya. Sepanjang mata memandang
ke arah jalan Ir. H. Djuanda, warna biru menguasai. Sementara lagu “Halo-halo
Bandung” terus berkumandang. [ ]
No comments:
Post a Comment