Dulu namanya Rumah Buku. Sekira tahun 2008 saya terdaftar
sebagai anggota. Kemudian angin berhembus ke Jakarta, membawa saya ke negeri
antah-berantah yang panas, keras, sekaligus berdebu. Rahmat kerja. Ya, rahmat
semestinya menjadi semangat, bukan malah memperkosa waktu dengan rutinitas yang
beku. Pada pertengahan musim kemarau saya ucapkan sayonara kepada semesta ibu
kota. Bagaimana pun lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ada riwayat yang
tercatat di sana; tentang cuaca yang rudin, festival film, pasar buku, dan
jiwa-jiwa yang saya cintai.
Pagi ini saya mendapati diri tengah duduk di sebuah meja
kayu panjang di teras belakang Kineruku. Masih seperti dulu, udara sejuk
menguasai Bandung. Pepohonan berdiri tegar dengan rimbunnya. Deretan buku,
film, dan t-shirt band memenuhi ruangan. Ah, saya menghembuskan nafas dan
menghirupnya kembali dalam-dalam. Bukankan suasana seperti ini yang saya cari?
Beberapa mahasiswa tengah membaca dan menulis. Mereka yang
kampusnya di jalan Setiabudi itu ada sekira tiga orang, perempuan semuanya. Tak
lama kemudian ada obrolan mencuat, tapi dalam bisik yang sangat sopan, seperti
enggan mengganggu ribuah huruf yang bersemayam. Indah sekali.
Di sini, di sudut Kineruku ini seperti ada sesobek mozaik
yang ditemukan. Tentang cinta yang dirawat dalam-dalam pada paragraph-pragaraf
hidup yang memancar dari huruf-huruf. Orang-orang selalu bilang, “kau
menulislah untuk menambah penghasilan.” Ingin rasanya saya bisikkan kepada
kuping-kuping mereka, “kawan, ini adalah minat yang ditakar tanpa pamrih, bukan
ambisi saya mengejar pundi-pundi, biarlah dia datang sendiri tanpa mesti
dikejar.”
Barangkali saya dianggap naïf, absurd, bahkan munafik. Tapi
kejujuran adalah sewujud riasan menor yang tak perlu lagi ditambah kosmetik.
Kini sudah hampir dzuhur, namun cuaca seperti masih jam
tujuh pagi. Oksigen melimpah dari celah-celah hijau daun. Wedang jahe tinggal
setengah, dan baru habis batang ke tiga. Kawan-kawan sudah bertelur, dan hidup
terus berjalan. Dalam ritus yang pasang surut, ketulusan menjadi urat nadi yang
berdenyut. Di sini, di Kineruku saya berumah, dan mencoba merawat apa-apa yang
saya cintai. [ ]
No comments:
Post a Comment