09 February 2015

Pak Dayat dan Pasar Buku Suci


Tadi pagi seorang kawan mengabarkan bahwa Toko Buku Djawa yang berada di Jl. Braga tutup! Ya, bukan tutup sementara, tapi permanen. Dia melihat buku-buku diangkut ke dalam mobil, entah mau pindah ke mana. Toko buku yang dijaga si mbak yang kurang ramah ini akhirnya menyerah. Ada sekira tiga kali saya singgah ke sana, membeli beberapa buku sejarah dan mendapat berkah senyuman si mbak meskipun minimalis. Rasanya baru saja kemarin saya menyaksikan Toko Buku Eureka di Rawamangun dan Depok meregang nyawa, sekarang ada lagi kantong literasi yang tumbang.

Itu boneka siapa?
Seminggu ke belakang, saya juga mencium aroma kematian—bukan hanya toko buku, tapi pasar buku! Terletak di lantai 2 Pasar Cihaurgeulis yang kumuh, siapa pun akan prihatin begitu berkunjung ke Pasar Buku Suci. Sudah lama saya mendengar ihwal kantong literasi ini, namun entah kenapa perlahan hilang dari perhatian dan ingatan. Baru-baru waktu membuka FB, ingatan yang tercecer itu timbul kembali. Pada sebuah akun FB, seseorang mengabarkan bahwa bahwa salahsatu tokoh buku yang pernah berniaga di Suci telah meninggal dunia.

Adalah Pak Dayat orang yang banyak dikenang itu. Saya tidak pernah bertemu dengannya, apalagi mengenalnya secara pribadi. Tapi dari sejumlah obituari koleganya, saya membayangkan beliau adalah orang yang bersahaja-berkawan. Pada Pesta Buku Bandung yang berakhir tanggal 5 Februari kemarin, kabar duka tentang Pak Dayat pun saya temui di “koran” mini Lawang Buku. Di sana menyebutkan bahwa almarhum sempat berkiprah di Pasar Buku Suci.

Kondisi pelataran
Jejalin kabar inilah yang akhirnya menyeret saya untuk mengingat kembali Pasar Buku Suci, dan menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Sekira pukul 13.15 wib saya sudah sampai di parkiran motor Pasar Cihaurgeulis yang kumuh. Dengan kondisi seperti ini mulanya saya ragu, apakah benar di sini tempat menjual buku? Namun keterangan dari tukang parkir, dan tulisan yang tertera di sebuah bangunan sekarat akhirnya menyakinkan saya, bahwa ya memang di sinilah tempatnya.

Telah puluhan kali saya menyambangi Pasar Buku Palasari, meskipun bangunannya sederhana, namun tak pernah saya merasa seprihatin seperti sekarang. Di tangga sebelum pintu masuk saya disambut sebuah boneka yang tergantung. Kalau akhir-akhir ini banyak film horror yang menggunakan boneka, maka apakah ini juga sebuah simbol horor yang lain? Tangga itu ditutupi oleh atap yang hampir hancur. Besi berkarat di mana-mana, dan tali-tali rafia yang terikat.

Lorong gelap
Di dalam kios buku berjajar dalam lorong yang agak gelap, namun hanya beberapa saja yang masih buka. “Tos aruih tadi sěp, ah da tiiseun panginten,” kata seorang ibu setengah baya yang kebetulan kiosnya masih buka, sambil memilih-milih buku berbahasa Sunda yang tanyakan. Sudah pulang? padahal jam dua pun belum, pikir saya. “Buku-buku Sunda těh sok dicandakan ku nu daragang di UNISBA, janten ieu mah sesa wě, tah geuning ieu aya Ajip Rosidi,” sambung si ibu sambil memperlihatkan buku karangan sastrawan kelahiran Jatiwangi itu.

Suaminya sedang sibuk membantu seseorang yang tengah menyalakan lampu. Tak lama beliau pun ikut bergabung. “Bapak, uninga Pak Dayat? Saurna mah kapungkur nu ngagaduhan kios Tanah Air, “ tanya saya ke si bapak.  Sejenak beliau terdiam sambil mengingat-ngingat. “Pak Dayat nu dedeganna alit saněs? Nyak kunaon kitu?.” Saya jelaskan ihwal “pertemuan” saya dengan Pak Dayat yang akhirnya membawa saya ke sini. “Innalillahi…. tah kitu yuswa mah nyak sěp, padahal mah da anom kěněh Pak Dayat těh,” wajahnya memancarkan kekagetan, begitu juga istrinya. Di sesela perbincangan, saya sempat mengambil beberapa gambar pasar buku tersebut.  

Yang dijual di sini mayoritas adalah buku-buku pelajaran untuk siswa sekolah—dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Waktu saya berkunjung, bisa dipastikan bahwa tidak ada seorang calon pembeli pun kecuali saya. Beberapa pemilik kios yang masih buka nampak berwajah kuyu. Kegembiraan macam apa yang hendak mereka rayakan di tengah barang dagangan yang sepi pembeli? Saya agak manaruh curiga pada lantai yang lumayan bersih, jangan-jangan ini disebabkan karena kurangnya pengunjung.

Setelah mendapatkan lima buku yang diminati dan harganya murah meriah, akhirnya saya pamit. Dari atas nampak lahan parkir yang centang-perenang dan kotor. Genangan air dan sampah bekas orang berjualan ikan masih ada. Aroma di sekitar pasar buku itu jangan ditanya lagi, sebab di bawahnya pasar basah maka bisa dipastikan bau busuk yang khas bertahan sepanjang hari. Dengan kondisi yang menyedihkan ini, Pasar Buku Suci seperti hendak menjemput ajal. Namun semoga saja sangkaan saya itu tidak benar.

Lampu baru nih :-)
Di sepanjang jalan Suci (Surapati-Cicaheum) atau Jl. P.H.H. Mustofa, memang ada kompetitor yang sangat mumpuni, apalagi kalau bukan Bandung Book Centre. Toko buku yang mulanya terkenal di kawasan Palasari ini kini melebarkan sayap niaganya.  Terletak pada bangunan yang sama dengan Giant Hypermarket, Bandung Book Centre cukup memanjakan pengunjungnya.


Maka bagi Pasar Buku Suci, dengan kondisi tempat yang kurang layak, disertai dengan hadirnya kompetitor yang berpengalaman, bertahan hidup pun kiranya sudah sebuah prestasi. Saya tak hendak menyalahkan kehadiran toko buku yang berdekatan dengan Giant, justeru bagus untuk menopang kebutuhan buku para pelajar yang kampusnya berjajar sepanjang Jl. Suci, namun kiranya renovasi dan penataan ulang Pasar Buku Suci menjadi kebutuhan yang mendesak, mungkin sama pentingnya dengan menghadirkan taman-taman kota yang kini dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. [ ]   

Bekas pedagang ikan
    
Foto : Arsip Irfan Teguh Pribadi

1 comment:

Aksara Bisu said...

Bagus sekali tulisannya.
Iya, saya sangat prihatin dengan keadaan Bursa Buku Suci saat ini. Sempat beberapa kali saya berkunjung kesana dan menemui satu kios saja yang buka. Menurut penuturan bapak penjaga kiosnya memang penjual disana mayoritas hanya berjualan untuk sampingan saja. Ada pekerjaan tetap lainnya.
Tapi saya kasihan kepada bapak dan ibu yang masih membuka kiosnya (seperti bapak tersebut), pedahal bisa dipastikan mungkin seharian ia tidak mendapatkan uang sama sekali dari berjualan buku disana