27 November 2014

Insulinde

“Saat kau mencintai sebuah kota, dan sering menjelajahinya dengan berjalan kaki, tubuhmu, apalagi jiwamu, akan mengenal segala sudut jalannya dengan baik.” (Orhan Pamuk : Namaku Merah Kirmizi)

***

Ini tentang penamaan jalan dan daerah. Insulinde atau Archipelago atau dikenal juga dengan Nusantara, di Bandung adalah sewujud nama-nama jalan yang berada di sekitar Departemen van Oorlog (Departemen Peperangan) yang sekarang menjadi Kodam III Siliwangi. Namun ihwal penamaan ini pada akhirnya menjadi identitas dalam penelusuran suatu wilayah.

Kawasan insulinde dihuni nama-nama jalan seperti Jalan Kalimantan, Jawa, Sumatera, Ternate, Seram, Riau, Ambon, Saparua, Bali, Sumbawa, Banda, Bangka, Belitung, Aceh, dan lain-lain. Penamaan ini diberikan sejak dari masa kolonial. Tak heran jika taman yang berada di sekitar jalan-jalan ini disebutnya “Insulinde Park” atau “Taman Nusantara”, yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Taman Lalu-lintas”.

Konon Belanda memberi nama jalan-jalan ini dengan nama-nama pulau yang ada di Nusantara, sebagai simbol bahwa pulau-pulau tersebut adalah wilayah yang harus mereka jaga dan pertahankan. Namun terlepas dari informasi tersebut, pemerintah kolonial Belanda memang kerap menamai jalan secara berkelompok, mungkin maksudnya adalah untuk lebih memudahkan dalam menelusuri suatu daerah. 
Hal ini pernah disinggung oleh Us Tiarsa dalam bukunya yang berjudul Basa Bandung Halimunan :

“Ti mimiti Bandung jadi haminteu (gemeente) loba jalan anyar. Ku walanda dibėrė ngaran anyar deuih. Sanajan kitu, teu sagawayah mėrė ngaranna tėh. Ngaran wayang, kabėh ngaran wayang. Ayana di Pasirkaliki ka kulon. Ngaran gunung, ngaran gunung wungkul. Ngaran wahangan, wungkul ngaran wahangan. Ngaran manuk laleutik ayana tėh di Cihaurgeulis. Ari manuk galedė tur garalak ayana tėh di Ciroyom ka kulon. Ngaran bungbuahan ngawungkul bungbuahan, ayana di Kebonwaru Kalėr. Ngaran kekembangan ngagunduk di Cikudapateuh. Ngaran kota mah ayana tėh di Kebonwaru Kidul.”

(Dari awal Bandung jadi gemeente atau kota madya, banyak jalan baru. Oleh Belanda dikasih nama yang baru pula. Meskipun begitu, tidak sembarangan dalam memberi nama jalan. Nama pewayangan, semuanya pewayangan; adanya di daerah Pasirkaliki sebelah barat. Nama gunung, semuanya nama gunung. Nama sungai, semuanya nama sungai. Nama burung-burung kecil adanya di Cihaurgeulis—sekitar Gedung Sate. Kalau nama burung-burung besar adanya di Ciroyom sebelah barat. Nama buah-buahan hanya buah-buahan, adanya di Kebonwaru Utara. Nama-nama kembang berkumpul di Cikudapateuh. Dan nama-nama kota adanya di Kebonwaru Selatan).

Dari diskusi dan berbagi informasi dengan Komunitas Aleut, Jl. Sunda yang mulanya saya sangka termasuk juga ke dalam wilayah insulinde, ternyata pengecualian. Penamaan Jl. Sunda termasuk baru jika dibandingkan dengan nama-nama jalan yang masuk ke dalam wilayah insulinde. 

Sunda sendiri sebetulnya mempunyai beberapa pengertian. Dulu deretan pulau dari Bali dan Nusa Tenggara disebutnya kepulauan Sunda Kecil, sedangkan beberapa peneliti asing justeru menganggap Sunda itu ya Nusantara. Silang sengkarut pengertian ini konon terkait juga dengan bangunan kampus ITB yang kata beberapa orang desainnya “Minang banget”, padahal kita tahu bahwa ITB letaknya di wilayah yang didiami oleh etnis Sunda. Hal ini menjadi masuk akal kalau Sunda diartikan sebagai Nusantara.

Pengertian Sunda kemudian hanya dikenal sebagai sebuah etnik di wilayah Jawa bagian barat, dan juga agama leluhur yang disebut Sunda Wiwitan. Sampai di sini mengertilah kita mengapa Jl. Sunda tidak termasuk ke dalam wilayah insulinde.

Insulinde, seperti keterangan Us Tiarsa di atas, memang hanya salahsatu pengelompokan nama jalan atau wilayah di Bandung. Maka pada permulaannya, atau bahkan sebelum kompleks perumahan banyak dibangun, mengidentifikasi sebuah wilayah di Bandung bisa dengan mudah dilakukan berdasarkan pengelompokkan nama. 

Namun kini hal tersebut jadi agak rumit, sebab banyak nama kompleks perumahan yang namanya sama dengan nama wilayah yang sudah terkenal lebih dahulu. Lagi-lagi Us Tiarsa pernah menjelaskan hal ini masih dalam buku yang sama:

Teu matak sasab jaman harita mah nyanyabaan di kota Bandung tėh. Babari ngapalkeunnana ngaran jalan jeung ngaran lembur tėh. Ngawungkul, sawewengkon-sawewengkon. Asal disebut wewengkonna weh, teu matak hėsė. Anyeuna mah apan matak riweuh. Loba nu sarua. Ngaran jalan nu makė bubuahan, contona, apan di Ahmad Yani aya di Cijerah aya. Margahayu, ngaran lembur di sabudeureun lapang udara lebah Sayati, anyeuna mah dipakė ngaran kompleks di Rancabolang (di tukangeun kompleks pertokoan Metro, Jl. By pass anyeuna). Malah Cipaganti ogė aya deuih di Ciwastra.

Ongkoh anyeuna mah mėrė ngaran patempatan tėh sasat dialus-alus tepi ka matak hėsė nyebutna. Ngaran jalan di kompleks Margahayu Raya ogė apan makė ngaran planėt. Di Gumuruh apan makė ngaran bėntang palak (astrologi). Rėa deuih nu dirobah pėdah kadėngėna teu matak genah kana ceuli. Upamana waė Lemahneundeut Kulon jadi Sarijadi. Ciborėtė jadi Kawaluyaan, Cilokotot jadi Margahayu Permai, Balaindah jadi Balėėndah, jeung sajabana.

---Terjemahan tidak tersedia, tersebab lebih dari satu paragraph; terlampau banyak. Capė euy nerjemahkeunna :D ---

Dalam buku Bandung Purba; Panduan Wisata Bumi, serampangannya penamaan daerah di Bandung belakangan ini pernah disinggung juga. Sebagai contoh, kompleks Bumi Asri kini terdapat di mana-mana; di Padasuka, di Cijerah, dan di Margahayu. Jadi kalau mau mencari alamat rumah atau kantor di Bumi Asri, mesti jelas dulu Bumi Asri yang mana, jangan sampai tertukar, sebab Bumi Asri yang satu dengan Bumi Asri yang lain jaraknya berjauhan.

Contoh lain adalah nama Padasuka. Kini terdapat komplek Padasuka yang letaknya antara Padalarang dan Cimahi. Padahal Padasuka sudah terkenal ke mancanegara dengan angklungnya adalah yang terletak di dekat Cicaheum, tempat Saung Udjo berkesenian.
  
Contoh yang paling lucu barangkali kasus yang terdapat di utara Rajamandala. Dalam Peta Topografi buatan AMS (USA), di hilir sungai Cimeta, ada tempat yang bernama Rancabaeud. Namun waktu ditanyakan kepada orang tua di daerah Ciburahol, apakah masih ada Rancabaeud, orang tua itu tersenyum sambil berkata, “nama tempat itu kini sudah diganti menjadi Rawasari!” Demikian juga di dekat Sayati, ada nama tempat Rancabusiat, kini sudah berganti menjadi Rancakasiat. Kurang lebih seperti itu keterangan dari T. Bachtiar & Dewi Syafriani sebgai pengarang buku tersebut.

“Apa arti sebuah nama?,” kata William Shakespeare. Mesti ada orang yang membisikkan ke kupingnya, mungkin mang Ridwan kamil lebih tepat, katakan kepadanya, “meh teu lieur keleuusss...!” [ ]

1 comment:

Unknown said...

Keren mas tulisannya