Kira-kira di
penghujung tahun 2008, saya pernah mereka-reka satu teori hidup. Dengan
pandangan kaca jendela tembus ke kebun singkong dan komplek kuburan, saya
menyimpulkan bahwa hidup manusia bergerak dari satu gerbong menuju-mencapai kebahagiaan
ke gerbong selanjutnya. Semua usaha dan kehendak manusia semata untuk memenuhi
harapan kebahagiaan. Misal; orang lapar pasti makan, haus ya minum, bodoh ya
belajar, jomblo ya cari pacar, dan seterusnya.
Tapi tunggu,
pada buku Puthut ini teori saya sedikit retak. Terutama pada bagian pemenuhan
pasangan. Apakah benar mempunyai pasangan akan menggenapi pundi-pundi
kebahagiaan?
Dari 15
cerita yang disajikan di buku ini, pasangan justru—setidaknya menurut
Puthut—adalah pangkal dan muara luka. Dalam jenak hidup manusia, terutama yang
sadar betul akan identitasnya sebagai makhluk sosial, mempunyai pasangan tentu
bukan perkara aneh. Lumrah bahkan. Namun serupa barang pecah belah, hubungan
antar manusia yang kerap didominasi oleh perasaan ini pada perjalanannya
acapkali rumit. Di sini, di tempatnya yang paling dalam, perasaan mampu
mengoyak tanpa robek, dan melukai tanpa darah.
Pada cerita
“Hujan yang Sebentar”—saya random membacanya--, terdapat satu paragraph yang
lirih, tentang satu pasangan yang bertemu justru untuk saling melupakan. Bagaimana
lelaki itu bertemu perempuannya di stasiun kereta api dengan percakapan yang
tertahan. Mereka bertemu bukan untuk saling menegaskan hubungan, namun
sebaliknya. Pertemuan yang justru melahirkan luka baru :
“Tapi kepastian itu datang juga,
akhirnya. Telah aku terima undangan pernikahan dengan namamu di sana, beberapa
bulan yang lalu. Aku memandang ke jendela, senja, dan hujan. Pertemuan itu
tidak membuka apa-apa, tertemuan itu telah menutup segalanya.”
Dengan gaya
bertutur yang minim dialog—“Obrolan Sederhana” sebagai pengecualian, Puthut
bereksperimen tentang kemungkinan-kemungkinan cerita. Pada satu nomor,
bagaimana dia menceritakan pertemuan dua orang lelaki yang baru kenal, namun
berbicara tentang hal-hal yang sebetulnya hanya layak diceritakan kepada
orang-orang terdekat.
Dalam
“pengasingan” dari kehidupan yang penuh residu, kedua lelaki itu bertemu dalam
sebuah ruang bercakap yang cukup karib. Ditemani rokok, kopi, dan kemudian
arak, mereka berbicara tentang hidup yang tak bahagia. Ketika obrolan sampai
pada tema pasangan hidup, salahsatu dari mereka mengutarakan hal ini, “Pasangan yang terlalu membuatmu banyak
berpikir, apalagi sampai mengasingkan diri, kurasa bukan pasangan yang tepat.”
Lagi-lagi ihwal pasangan!
Membaca
sekujur cerita yang disajikan Puthut di buku ini, dalam lereng ingatan saya
hadir kembali sosok-sosok dalam “Orang-orang Bloomington”-nya Budi Darma, dan
dua tokoh dalam film “Lost in Translation”-nya Sofia Coppola. Hidup yang
terasing, orang asing, pasangan, dan bagaimana cara pereka cerita begitu tega
membangun karakter-karakternya, saya kira itu benang merahnya.
Dalam cerita
kedua yang berjudul “Kisah Asing”, aroma Budi Darma dan Sofia Coppola begitu
kentara. Dua insan beda jenis kelamin, sama-sama mempunyai latar kisah cinta
yang tak ideal; bertemu di sebuah apartemen, dalam pertemuan yang mula-mula
cukup dingin. Namun pada perjalanannya kedua orang itu bisa saling mengisi,
seolah masing-masing menemukan potongan mozaik yang selama ini mereka cari.
Dalam
pengantarnya di buku ini, Arman Dhani—penyunting-- menegaskan, bahwa meskipun
cerita-cerita yang terhimpun di sini adalah tentang cinta yang kandas, hubungan
yang terselubung, atau kasih yang terlarang, namun akan terburu-buru jika
menyetarakannya dengan sinetron-sinetron kelas dua yang kerap mengusai kanal televisi
nasional. Memang di titik inilah Puthut sebagai si pengolah kisah patut
diapresiasi. Dia berhasil menggabungkan kisah yang sebetulnya banal, dengan
kepiawaian meramu sudut pandang, plus
pilihan diksi yang kuat, sehingga bangunan-bangunan cerita tidak senorak opera
sabun. [ ]
No comments:
Post a Comment