03 July 2015

Pendidikan Menjadi Miskin Ala Ramadhan dan Lebaran


Kemarin saat melintas di Jl. Braga, persis di depan Bank Indonesia, beberapa orang berjajar di pinggir jalan. Mereka melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara sambil memegang uang baru. Ya, uang baru, masih segar bugar, baru keluar dari cetakan.  Mereka tengah “berjualan” uang. Kira-kira begini prakteknya; uang dengan pecahan yang variatif--bisa lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, dan bahkan limapuluh ribu—yang mereka tukar dari bank, kemudian masing-masing pecahan itu dijajakan kepada masayarakat yang berminat. Tentu karena ini laku berdagang, maka jumlah uang baru yang mereka tukarkan dengan masyarakat jumlahnya lebih sedikit. Artinya ada selisih yang menjadi keuntungan mereka sebagai upah atas segar-bugarnya kondisi uang.

Masyarakat yang “membeli” uang baru dari mereka biasanya demi memenuhi kebutuhan seremonial lebaran, yaitu bagi-bagi rupiah kepada para “peminta-minta”. Pada hari raya yang berlumur bumbu opor tersebut, ketika mayoritas kaum Muslim di Indonesia kembali ke puaknya masing-masing, uang dengan kondisi fisik aduhai adalah salahsatu penanda, bahwa dari lembaran-lembaran yang dibagikan tersebut tergambar tentang anak-anak yang minta jatah preman sebab puasanya tamat.

Barangkali semangatnya hanyalah semacam pemberian reward kepada karyawan yang kerjanya bagus. Lalu diadopsi menjadi bunga-bunga penyemangat anak-anak dalam rangka latihan beribadah. Hal seperti ini—dalam kerangka Ramadhan dan Lebaran tentu saja-- saya yakin banyak dialami anak-anak, atau mereka yang pernah menjadi anak-anak. Saya pun pernah mengalaminya. Artinya lembaran uang baru itu adalah bunga yang dipanen anak-anak di tengah kegembiraan yang khas. Dunia yang penuh toleransi dan acap dirayakan dengan riang, sebagaimana kecenderungan tulisan Ramadhan yang mengaitkan masjid dengan playground akhir-akhir ini.

Tapi tunggu dulu, ternyata ga se-selo itu, setidaknya dari beberapa potong kutipan berikut. Adalah Rahmat Abdullah (alm), mantan pegiat salahsatu partai politik di Indonesia, dalam bukunya menulis begini :

“Ajaib, bulan yang seharusnya semua orang kurang makan, minum, dan belanja, ternyata malah defisit besar, keranjang sampah selalu penuh dengan makanan lebih. Makanan orang-orang miskin yang malang, yang selalu merasa kurang. Selalu tegang bila lebaran tak pamer kekayaan, pakaian baru, makanan mahal yang membosankan dan lemparan uang logam yang diperebutkan anak-anak, sekolah sempurna untuk jadi miskin berkepanjangan, dengan belajar meminta-minta sejak usia dalam ayunan.”

Ya tepat, poinnya seperti yang saya hitamkan tersebut. Meskipun redaksinya “uang logam” namun intinya sama, beliau menyoroti ihwal budaya meminta-minta. Kurang gahar apa sengatan ini “sekolah sempurna untuk jadi miskin berkepanjangan”. Luar biasa!

Satu hal lagi dari kutipan di atas, di luar yang saya hitamkan, rupanya itu serangan kepada ibu-ibu dan bapak-bapak yang doyan belanja. Coba cek lagi, benar ga porsi untuk belanja makan, minum, dan laku konsumsi lain justru membengkak di bulan yang dituntut banyak menahan ini? Dan apakah betul keranjang sampah selalu penuh dengan makanan lebih yang dibuang karena tak tertampung perut? Kalau benar, maka ibu-ibu dan bapak-bapak masuk kepada golongan--yang seperti kata beliau—“orang-orang miskin yang malang, yang selalu merasa kurang.”

Ibu-ibu, bapak-bapak, mas, mbak, akang, teteh, dan siapa pun mungkin akan berkata dengan setengah gumam, “ah, itu mah dianya aja yang ga selo, kurang piknik, terlampau serius! Ini kan bulan festival, sasih karnaval, semuanya bisa jungkir balik, sah-sah saja toh namanya juga merayakan, lagian datangnya juga setahun sekali, jadi wajar toh berlebihan sedikit mah.

Betul, siapa pun boleh berpendapat. Namun dari sini mencuatkan satu—setidaknya buat saya—kesadaran baru, bahwa Ramadhan dan Lebaran ternyata bisa juga menjadi sekolah, madrasah yang mendidik bagaimana caranya menjadi miskin, miskin secara mental meskipun dengan kelimpahan materi. Padahal kalau mau menengok sedikit tentang kewajiban zakat fitrah, bulan ini justru bulannya memberi, bulan ketika setiap jiwa menjadi kaya, karena hampir semuanya menjadi muzakki (pemberi zakat) dengan mengeluarkan zakat fitrah.

Kondisi ini, mental menjadi miskin ini, barangkali karena terlalu banyak yang melewatkan waktu berbuka dengan hanya yang manis-manis saja. Padahal salah satu ustadz kekiri-kirian di Kota Bandung pernah memberi tausiyah pendek penuh hikmah ihwal berbuka. “Berbukalah dengan yang kuminis-kuminis”, demikian nasihatnya.

Mulanya saya tak percaya, namun kemudian menemukan isyarat yang sangat hakikat dari seorang penulis kuminis--demikian seperti yang dituduhkan banyak orang—terkenal di negeri ini. Begini kata Pramoedya Ananta Toer sekali waktu, “Saya hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde baru selama 34 tahun di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya. Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama dengan mengemis!”

Kiranya sidang pembaca bisa menafsirkan sendiri kata-katanya. Saya sudahi dulu sampai di sini, sebab saya hendak ngabuburit. Barangkali nanti sore ada yang kebetulah melintas di Jl. Braga dengan memakai kendaraan, tengoklah di sebelah kiri jalan, mudah-mudahan bisa melihat deretan para “penjual” uang itu. [ ]         


No comments: