Kemarin saat melintas di Jl. Braga, persis di depan Bank Indonesia, beberapa orang berjajar di pinggir jalan. Mereka melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara sambil memegang uang baru. Ya, uang baru, masih segar bugar, baru keluar dari cetakan. Mereka tengah “berjualan” uang. Kira-kira begini prakteknya; uang dengan pecahan yang variatif--bisa lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, dan bahkan limapuluh ribu—yang mereka tukar dari bank, kemudian masing-masing pecahan itu dijajakan kepada masayarakat yang berminat. Tentu karena ini laku berdagang, maka jumlah uang baru yang mereka tukarkan dengan masyarakat jumlahnya lebih sedikit. Artinya ada selisih yang menjadi keuntungan mereka sebagai upah atas segar-bugarnya kondisi uang.
Masyarakat yang
“membeli” uang baru dari mereka biasanya demi memenuhi kebutuhan seremonial
lebaran, yaitu bagi-bagi rupiah kepada para “peminta-minta”. Pada hari raya
yang berlumur bumbu opor tersebut, ketika mayoritas kaum Muslim di Indonesia
kembali ke puaknya masing-masing, uang dengan kondisi fisik aduhai adalah
salahsatu penanda, bahwa dari lembaran-lembaran yang dibagikan tersebut tergambar
tentang anak-anak yang minta jatah preman sebab puasanya tamat.
Barangkali semangatnya
hanyalah semacam pemberian reward
kepada karyawan yang kerjanya bagus. Lalu diadopsi menjadi bunga-bunga
penyemangat anak-anak dalam rangka latihan beribadah. Hal seperti ini—dalam kerangka
Ramadhan dan Lebaran tentu saja-- saya yakin banyak dialami anak-anak, atau
mereka yang pernah menjadi anak-anak. Saya pun pernah mengalaminya. Artinya lembaran
uang baru itu adalah bunga yang dipanen anak-anak di tengah kegembiraan yang
khas. Dunia yang penuh toleransi dan acap dirayakan dengan riang, sebagaimana kecenderungan
tulisan Ramadhan yang mengaitkan masjid dengan playground akhir-akhir ini.
Tapi tunggu
dulu, ternyata ga se-selo itu, setidaknya dari beberapa
potong kutipan berikut. Adalah Rahmat Abdullah (alm), mantan pegiat salahsatu
partai politik di Indonesia, dalam bukunya menulis begini :
“Ajaib, bulan yang seharusnya semua
orang kurang makan, minum, dan belanja, ternyata malah defisit besar, keranjang
sampah selalu penuh dengan makanan lebih. Makanan orang-orang miskin yang
malang, yang selalu merasa kurang. Selalu tegang bila lebaran tak pamer
kekayaan, pakaian baru, makanan mahal yang membosankan dan lemparan uang logam yang diperebutkan anak-anak, sekolah sempurna untuk
jadi miskin berkepanjangan, dengan belajar meminta-minta sejak usia dalam
ayunan.”
Ya tepat,
poinnya seperti yang saya hitamkan tersebut. Meskipun redaksinya “uang logam”
namun intinya sama, beliau menyoroti ihwal budaya meminta-minta. Kurang gahar
apa sengatan ini “sekolah sempurna untuk jadi miskin berkepanjangan”. Luar biasa!
Satu hal
lagi dari kutipan di atas, di luar yang saya hitamkan, rupanya itu serangan
kepada ibu-ibu dan bapak-bapak yang doyan belanja. Coba cek lagi, benar ga porsi untuk belanja makan, minum, dan
laku konsumsi lain justru membengkak di bulan yang dituntut banyak menahan ini?
Dan apakah betul keranjang sampah selalu penuh dengan makanan lebih yang
dibuang karena tak tertampung perut? Kalau benar, maka ibu-ibu dan bapak-bapak
masuk kepada golongan--yang seperti kata beliau—“orang-orang miskin yang
malang, yang selalu merasa kurang.”
Ibu-ibu,
bapak-bapak, mas, mbak, akang, teteh, dan siapa pun mungkin akan berkata dengan
setengah gumam, “ah, itu mah dianya aja yang ga selo, kurang piknik, terlampau serius! Ini kan bulan festival, sasih karnaval, semuanya bisa jungkir
balik, sah-sah saja toh namanya juga
merayakan, lagian datangnya juga setahun sekali, jadi wajar toh berlebihan sedikit mah.”
Betul, siapa
pun boleh berpendapat. Namun dari sini mencuatkan satu—setidaknya buat saya—kesadaran
baru, bahwa Ramadhan dan Lebaran ternyata bisa juga menjadi sekolah, madrasah
yang mendidik bagaimana caranya menjadi miskin, miskin secara mental meskipun
dengan kelimpahan materi. Padahal kalau mau menengok sedikit tentang kewajiban
zakat fitrah, bulan ini justru bulannya memberi, bulan ketika setiap jiwa
menjadi kaya, karena hampir semuanya menjadi muzakki (pemberi zakat) dengan
mengeluarkan zakat fitrah.
Kondisi ini,
mental menjadi miskin ini, barangkali karena terlalu banyak yang melewatkan
waktu berbuka dengan hanya yang manis-manis saja. Padahal salah satu ustadz
kekiri-kirian di Kota Bandung pernah memberi tausiyah pendek penuh hikmah ihwal
berbuka. “Berbukalah dengan yang kuminis-kuminis”, demikian nasihatnya.
Mulanya saya
tak percaya, namun kemudian menemukan isyarat yang sangat hakikat dari seorang penulis
kuminis--demikian seperti yang dituduhkan banyak orang—terkenal di negeri ini. Begini
kata Pramoedya Ananta Toer sekali waktu, “Saya
hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu
bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde
baru selama 34 tahun di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah
menolong saya. Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya
berdoa itu sama dengan mengemis!”
Kiranya sidang
pembaca bisa menafsirkan sendiri kata-katanya. Saya sudahi dulu sampai di sini,
sebab saya hendak ngabuburit. Barangkali nanti sore ada yang
kebetulah melintas di Jl. Braga dengan memakai kendaraan, tengoklah di sebelah
kiri jalan, mudah-mudahan bisa melihat deretan para “penjual” uang itu. [ ]
No comments:
Post a Comment