Seorang ibu berusia 60 tahun mendatangi kantor polisi. Ia melaporkan bahwa anaknya hilang.
Raul dos Santos Figuera namanya. Anak itu berusia 25 tahun. Pegawai bank yang hidupnya monoton. Kantor-rumah, rumah-kantor. Sesekali pergi ke bioskop, restoran, dan rumah pacarnya, Sonia, yang akhirnya meninggalkannya.
"Saya bahkan menelepon kamar mayat. Bapak bisa bayangkan keputusasaan seorang ibu mencapai titik ini..", ucapnya.
Polisi tak berbuat banyak. Si ibu lalu mendatangi ruang redaksi sebuah kantor media. Dia tiba pukul tujuh pagi, namun awak redaksi baru pada datang pukul sembilan lebih. Dia harus menunggu. Mau beli makan, tak berminat.
Esoknya, sepotong berita kecil muncul di koran, di sudut halaman polisi, dengan foto yang sangat kecil. Potret Raul sedikit buram dan kecil.
"Bagaimana orang bisa tahu ini Raul? Saya berharap begitu besar untuk berita ini, Anda tidak bisa bayangkan! Dan sekarang harapan itu kandas jadi seukuran foto ini," keluhnya.
Tak patah arang, sang ibu lalu menemui pemuka agama. Berharap anaknya yang hilang diumumkan pada khotbah-khotbah gereja.
Raul diculik pada 12 Juni 1970, dan dibebaskan sembilan hari kemudian bertepatan dengan final Piala Dunia yang mempertemukan Brazil vs Italia.
Penyiksaan begitu gamblang. Meremukkan mentalnya. Ngilu di sekujur badan. Palang Burung (pau de arara) menjadi metode penyiksaan yang mengerikan.
Dalam jeda penyiksaan, Raul kerap bergumam:
"Berapa banyak lagi yang seperti aku, tanpa tujuan, tanpa harapan, sementara orang-orang biasa di jalanan menutup mata dan tak peduli. Mereka belanja, pergi kerja, baca koran, tertawa, dan bersorak untuk tim mereka, berdoa, dan anjing-anjing yang lewat di jalan penuh tipu-tipu ini, tak sadar akan teriakan-teriakan yang terlontar di ruang bawah tanah terdekat? Sebuah hidup yang tenang, tapi siapa sangka?"
Setelah melewati sembilan hari yang meneror jiwa raganya, Raul dibebaskan. Aparat sadar mereka salah tangkap.
Sebelum pulang ke rumah, Raul mampir ke sebuah kedai untuk makan dan minum bir. Saat itu final Piala Dunia 1970 tengah digelar. Lewat televisi hitam putih, orang-orang bersorak dan berteriak, merayakan piala ketiga baagi Brazil. Sementara Raul telah kehilangan minat pada sepak bola.
***
1970 (2023) yang ditulis Henrique Schneider dan diterjemahkan oleh Gladhys Elliona, memotret satu masa kelam dalam sejarah Brazil kala pemerintahan dijalankan oleh diktator militer yang bertahan hingga 21 tahun--berakhir tahun 1985.
Hajatan akbar sepak bola menyamarkan, bahkan menutupi kegilaan junta militer. Luka menganga dan darah mengalir di balik riuh dan gemuruh.
Kisah ini mengingatkan pada peristiwa serupa yang terjadi di Argentina menjelang dan selama Piala Dunia 1978. Diktator militer (Jorge Rafael Videla) yang mengudeta Isabel Peron melakukan serangkaian kekerasan kepada para aktivis, mahasiswa, dan orang-orang yang dianggap lawan politiknya.
Film Buenos Aires 1977 (2006) mengisahkan dengan jelas bagaimana kekerasan demi kekerasan yang dilakukan negara terjadi di sekitar perhelatan akbar olahraga. Ada tragedi di balik gegap gempita.
Dalam lanskap yang lebih luas, Asian Games 1962 juga berdampak pada masyarakat. Ribuan warga Betawi tergusur dari kampung halamannya demi pembangunan Gelora Bung Karno.
Dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, saat Doel lulus sebagai insinyur, bapaknya membawanya ke lokasi bekas leluhurnya di Senayan.
"Gue cuman mau ngajak elu biar elu tahu bahwa di sini bekas tanah leluhur elu," ujarnya.
***
Novel 1970 (2023) pada akhirnya berusaha membantah omongan Alfredo Buzaid (Menteri Kehakiman Brasil 1969-1974) yang berkata, "Tidak ada penyiksaan di Brasil." [irf]
No comments:
Post a Comment