31 January 2015

Ada Apa di Taman Balai Kota?


Siapa cinta Bandung
Harus lulus ilmu ingatan
---Eddy D. Iskandar

Di Kota Bandung, sekarang ini, barangkali taman kota sedang menjadi panglima hiburan. Semenjak Wali Kota dijabat oleh Ridwan Kamil, taman-taman baru bermunculan, dan yang lama dihidupkan kembali. Sebut saja dari mulai Taman Pasupati (Taman Jomblo), Taman Film, Taman Musik, Taman Superhero, Taman Fotografi, Taman Hewan, Taman Lansia, Taman Panatayuda, sampai dengan Taman Balai Kota.

Dalam menyelami sejarah kota, kita seringkali dibantu oleh mereka yang rajin mendokumentasikan perjalanan kota. Arsip-arsip kota, baik yang dibukukan, maupun yang tercecer di lembar-lembar koran, mulanya adalah sebuah kerja sunyi para pendokumentasi yang penuh kewaskitaan. Cinta dan minat mereka yang besar adalah jalan panjang dalam menjaga ingatan.

Pada kesempatan ini, saya hendak mencatat Taman Balai Kota dan sekitarnya. Minangka sebagai sebuah kerja kecil dalam rangka mempelajari ilmu ingatan.

***

Pada tanggal 1 April 1906, Gubernur Jenderal J.B. van Heutz menetapkan status Kota Bandung yang semula adalah ibu kota Kabupaten Bandung, ditingkatkan menjadi Gemeente (Pemerintah Kota). Maka Kota Bandung pun resmi terlepas dari Kabupaten Bandung. Karena hal inilah, Kota Bandung pun dituntut untuk mempunyai gedung pemerintahan sendiri yang berpusat di Gemeente Huis atau Balai Kota. Pada perjalanannya Balai Kota mempunyai sebuah taman, yang kini dikenal dengan nama Taman Balai Kota.

Sejarah seputar Balai Kota Bandung dan tamannya bisa ditemui di beberapa buku tentang Kota Bandung. Salah satunya adalah di buku Gementee Huis karangan Sudarsono Katam, yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama.

Taman Balai Kota berada di dalam komplek Balai Kota Bandung. Semenjak taman ini dirapikan dan dipercantik dengan berbagai ornamen baru, jumlah pengunjung pun semakin bertambah. Mayoritas pengunjung adalah remaja dan anak-anak. Mereka memanfaatkan taman ini untuk latihan menari, main bola, pacaran, foto-foto, atau sekadar duduk-duduk di bangku taman.

Satu hal yang paling terkenal di Taman Balai Kota adalah keberadaan patung badak putih. Hewan ini dipilih konon karena dulu di Bandung banyak terdapat badak. Sebagai tambahan informasi, Rumah Sakit Hasan Sadikin dulu bernama Rumah Sakit Ranca Badak, bahkan di salah satu jendelanya masih terdapat sisa sebuah gambar badak.

Di bawah patung badak putih terdapat kolam ikan yang dilengkapi dengan air mancur. Di badan patung tertulis tentang larangan mengambil ikan di kolam dengan cara apa pun. Di sekitar kolam ada beberapa bangku yang sering dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk bersantai sambil ngobrol.   

Naon hubunganna lauk emas jeung Bandung?
Tak jauh dari patung badak, kini terdapat juga patung ikan mas yang berjumlah lima ekor. Entah apa pertimbangannya sehingga heman ini dipilih untuk “menemani” si badak putih. Selintas pikiran saya tertuju ke patung ikan besar di alun-alun Cisaat, Sukabumi. Patung itu dipilih karena di Cisaat ada sebuah daerah yang terkenal sebagai produsen ikan mas, yaitu Cibaraja. Artinya pembuatan patung ikan mas masih ada kaitannya dengan suatu daerah setempat. Namun entah kalau yang ada di Taman Balai Kota Bandung ini.

Di sebelah patung ikan, di kiri dan kanannya, berjajar tiga pilar berwarna putih yang kemungkinan besar berfungsi sebagai penerangan di waktu malam. Bergeser sedikit ke arah Utara, tertulis dengan rapi : “Taman Balai Kota”.

Yang tak kalah “nge-hit” adalah dengan dibuatnya gembok duriat—saya lebih senang menyebutnya begitu (gembok cinta) tempat para pasangan, terutama anak-anak muda, mengaitkan gembok yang terkunci di terali yang berbentuk kotak. Anak kunci itu kemudian dibuang ke kolam dekat patung badak putih. Di hampir setiap gembok tertulis nama pasangan yang mencoba mengabadikan cintanya.

Duriat dikonci ku gembok
Di atas terali kotak itu tertulis “LOVE” berwarna merah, yang sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial karena dianggap menjiplak. Fenomena gembok cinta ini memang sudah merambah banyak tempat, di antaranya Korsel dan Prancis, yang kemudian menular ke Bandung. Selain itu, tanaman bunga berbagai warna ikut pula mempercantik Taman Balai Kota.    

Di sebelah selatan terdapat patung se-dada Raden Dewi Sartika yang terlihat kusam. Patung pelopor pendidikan untuk perempuan Priangan ini nampak kurang terawat. Di bawahnya ada plakat peresmian oleh Wali Kota pada masanya, yaitu Wahyu Hamijaya. 

Sebagaimana taman-taman yang lain, Taman Balai Kota pun konon dilengkapi dengan wifi, namun entah saya belum pernah mencobanya. Himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya terpasang di beberapa sudut taman. Hal ini dibarengi juga dengan ketersediaan tempat sampah yang relatif cukup banyak.

Keran Air Minum
Sebuah terobosan sempat dilakukan oleh pemkot bagi para pengunjung taman, dengan dibuatnya keran air siap minum. Namun entah kenapa tidak lama setelah diluncurkan, fasilitas ini kemudian tidak berfungsi. Harian terbesar di Jawa Barat pernah memuatnya di sebauh edisi ihwal berita ini. Informasi yang disajikan koran tersebut adalah karena adanya gangguan pada rangkaian listrik yang terhubung dengan keran air tersebut. Entah sekarang apakah sekarang sudah diperbaiki atau belum.

Kebutuhan akan air minum memang cukup besar, apalagi bagi anak-anak dan remaja yang mayoritas beraktifitas fisik seperti menari dan main bola, yang tentunya akan cepat membutuhkan air untuk menggantikan cairan tubuh yang keluar. Namun sepanjang yang saya perhatikan, tidak ada satu orang pun yang minum langsung dari keran tersebut. Artinya ada dua kemungkinan; fasilitas itu rusak, atau pengunjung bawa minum sendiri.

Gazebo
Di tengah taman terdapat sebuah gazebo yang dulu digunakan sebagai tempat duduk dan bersantai. Sekarang gazebo tersebut dipasangi teralis dan pintu, serta dikunci. Artinya tidak bisa digunakan lagi oleh pengunjung taman. Entah apa alasannya sehingga tempat ini menjadi tertutup untuk umum.

Batas taman di sebelah timur adalah aliran kanal Cikapayang yang airnya cukup bersih, meskipun alirannya kecil dan tidak terlalu deras. Kanal ini dibatasi oleh pagar besi yang memanjang, namun sayang ada dua pagar yang kondisinya rusak, sehingga cukup membahayakan jika ada anak kecil yang main di sekitarnya.

Patung Raden Dewi Sartika
Di timur aliran Cikapayang adalah Jl. Merdeka yang dibatasi oleh trotoar, yang kini trotoar tersebut sedang dipercantik dengan pagar, bunga, dan lampu maung yang keren. Lampu itu berbeda dengan lampu taman yang ada di dalam. Antara Taman Balai Kota dengan trotoar disambungkan oleh sebuah jembatan yang melintas di atas kanal Cikapayang. Kemudian ada juga jembatan penyeberangan yang melintas Jl. Merdeka.

Semenjak taman-taman kota ramai dikunjungi masyarakat, beberapa tembok di pinggir jalan “dihiasi” kata-kata sindiran sebagai bentuk kritik kepada pemerintah, yang tidak menyediakan toilet di dalam taman. Salah satunya yaitu yang terdapat di Jl. Perintis Kemerdekaan, tak jauh dari Gedung Indonesia Menggugat. Hal ini sebagai fakta bahwa masyarakat tidak “lelap” hanya dengan fasilitas umum yang didayagunakan, namun mereka juga tetap menyimpan daya kritis sebagai bukti cintanya kepada kota.

Kayanya sih buat penerangan
Syukurlah di Taman Balai Kota kini tersedia fasilitas toilet dan sekaligus musholla, meskipun pengerjaannya belum selesai dan belum bisa digunakan, namun ini membuktikan bahwa pemerintah merespon dengan cukup cepat aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Taman Balai Kota dikelilingi oleh Jl. Merdeka di sebelah timur, Jl. Wastukancana di barat, Jl. Aceh di utara, dan Jl. Perintis Kemerdekaan di selatan. Di ke empat jalan tersebut disedikan jalur khusus untuk pengendara sepeda, meskipun sebenarnya tetap jalan yang sama dengan para pengendara mobil dan sepeda motor. Jalur tersebut hanya dibatasi oleh sebuh garis putih dan dipertegas dengan beberapa gambar sepeda di dalam jalur tersebut. Dari segi keamanan--apalagi jika dihadapkan dengan kesadaran berkendara yang masih minim, tentu jalur khusus sepeda ini masih jauh dari optimal.

Jalur sepeda
Jalur sepeda tersebut dibuat untuk mendukung program “Jum’at Bersepeda” yang diluncurkan oleh pemkot, maka tak heran jika di halaman Balai Kota terdapat tempat parkir sepeda. Seperti parkiran untuk mobil, tempat parkir sepeda pun dilengkapi tulisan khusus untuk para “inohong” seperti Kepala Dinas.

Satu hal yang patut diperhatikan untuk para pengendara mobil adalah, mobil yang tidak memiliki tanda lulus uji emisi, dilarang parkir di komplek Balai Kota. Namun pada pelaksanaan kontrolnya; apakah berlaku ketat atau sebaliknya, memang perlu pengamatan dan informasi yang lebih lanjut.

Masjid Al Ukhwuwah
Di sebelah barat terdapat Masjid Al Ukhuwwah yang berfungsi selain untuk sholat lima waktu, juga untuk sholat Jum’at para pegawai Balai Kota dan masyarakat sekitar. Di lahan masjid itu dulunya berdiri sebuah loji gerakan Freemasonry yang bernama St. Jan, atau dalam lidah Sunda menjadi Setan.  Us Tiarsa dalam kenangan masa kecilnya sempat menulis :

“Nu disebut Gedong Sětan těh, gedong leutik peuntaseun Gedong Papak (Balěkota) beulah kulon. ěta gedong wangunna mah teu beda ti gerěja. Ceuk kolot mah saban poě, rěk beurang rěk peuting peuting, rěa julig nyiliwuri, sětan marakayangan, jeung jin kapir ti mana ti mendi ngadon carurak-curak di dinya.”

Namun kemudian beliau mengetahui nama dan fungsi gedung tersebut yang sebenarnya, ternyata berbeda dengan apa yang beliau dengar dari orangtuanya :

“Kakara běh dieu nyaho yěn ěta gedong (loji) těh baheulana tempat kaom těosofi karumpul. Ngaran gedongna těh Saint Jan.”

Tangganya terlalu curam
Masjid Al Ukhuwwah dan Balai Kota dihubungkan oleh sebuah jembatan penyeberangan yang anak tangganya curam. Jangankan untuk penyandang difabel, untuk manusia normal pun anak tangga itu cukup mengkhawatirkan. Mungkin karena itulah, kini di dekat gerbang masuk Balai Kota sebelah barat dibuat zebra cross yang dilengkapi dengan tombol penyeberangan. Setiap pejalan kaki yang mau menyeberang cukup memijat tombol tersebut, nanti lampu merah dan sirine akan menyala untuk menghentikan para pengendara.

Namun ada saja hal ironi yang menyertai, zebra cross itu ternyata berujung pada sebuah tembok. Persis seperti zebra cross yang di Jl. Aceh, dulu sebelum ada pemberitahuan dari masyarakat, zebra cross tersebut berujung pada sebuah pagar. Atau seperti halte angkot di Jl. Pasirkaliki, mulanya halte itu persis menghadap pagar, jadi kalau mau naik angkot harus naik pagar dulu. Juragan sehat?

***


Jembatan di Cikapayang
Taman Balai Kota secara umum telah memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang publik untuk interaksi sosial, yang selama ini kurang diperhatikan. Suksesi kepemimpinan memang banyak mendorong akan pemenuhan kebutuhan ini. Hal ini tentu—bagi pemkot, adalah panen pujian yang dituai dari masyarakat, terutama yang tersaji di media sosial populer. Namun walau bagaimana pun, ruang publik ini tetap menyisakan sejumlah kekurangan yang secepatnya perlu dibenahi. Agar ke depan, tempat berkumpul masyarakat yang murah meriah ini lebih genah-merenah-tumaninah. [irf]      

Lampu Maung

Trotoar di Jl. Merdeka sedang dipercantik

Kedah lulus uji emisi

Latihan nari dulu biar kekinian

Omat runtah piceun kana tempatna lur!


Foto : Arsip Irfan TP

2 comments:

Marjo[RBB] said...

Alus wa, jadi pengen jalan kaki lagi di bandung....

Irfan said...

Hehehe....geus lawas pisan eta euy pangalaman teh