Dalam waktu
beberapa minggu, kabar duka datang berturut-turut dari kampung. Belum lama
Gajih, kawan saya sejak SD pergi selama-lamanya, kini giliran Haji Empan yang
meninggal. Paman berkabar lewat WA.
Haji Empan
masih saudara. Saudara jauh barangkali. Istrinya adalah sepupu mama. Para orangtua
mungkin saja merasa sebagai saudara dekat, tapi bagi saya sebagai generasi yang
lebih muda, hal-hal seperti itu terasa kurang sebagai sebuah pengalaman. Saya mengingat
Haji Empan justru lewat mesin fotocopy.
Dulu,
setahu saya, Haji Empan adalah orang pertama di kampung yang mempunyai mesin pengganda
itu. Sedari SD, bapak yang seorang guru sering menyuruh saya memfotocopy
pelbagai teks yang terkait dengan pekerjaannya.
Jarak rumah
dengan warung fotocopy Haji Empan kira-kira satu kilometer. Saya mencapainya
dengan berjalan kaki. Pernah juga memakai sepeda saat sepeda tua warisan kakak
pertama diperbaiki dengan jok yang tetap dibiarkan terbuka tanpa alas busa,
hanya per besi yang kerap mengganggu bokong.
Karena satu-satunya,
maka di tempat forocopy itu kerap bertemu dengan guru-guru yang hendak
memperbanyak teks-teks entah. Sebagai bocah, saya cukup tersiksa dengan tipe
warung Haji Empan, sebab tak satu pun menjual makanan ataupun minuman. Ya,
selain jasa fotocopy, warung tersebut hanya menjual alat tulis kantor dan beberapa
perlengkapan otomotif.
Kalau sedang
mengantri, saya duduk pada sebuah bangku di depan warung yang menghadap jalan,
dan di baliknya tampak bukit. Orang-orang menyebutnya Pasir (bukit) Pogor. Di sesela
gangguan suara motor dan mobil yang melintas, saya selalu membayangkan rumah
Mang Sanud yang berada di bukit itu.
Mang Sanud
adalah kawan sejalan Mang Supri yang kedua merupakan petugas kebersihan alias pengangkut
sampah legendaris di kampung saya. Mang Sanud perawakannya bongkok, sedangkan
Mang Supri tegap. Keduanya perokok. Hanya saja rokok Mang Supri agak
menyeramkan, sebab beraroma kemenyan.
Saat saya membayangkan rumah Mang Sanud yang berada di Pasir Pogor dan antrian telah habis, Haji Empan selalu membuyarkan lamunan.
“Cép,
badé motokopi naon?” ujarnya.
Saya pun
terperanjat.
Selain mesin
fotocopy, tersedia juga mesin laminating tempat orang-orang melapisi KTP, Ijazah,
NEM, dan lain-lain dengan plastik yang direkatkan secara kencang. Bapak pun
melakukan hal yang sama.
Kini Haji
Empan telah tiada. Juga Mang Sanud dan Mang Supri. Yang masih tersisa hanya
kenangan. (irf)
No comments:
Post a Comment