17 October 2018

Gajih Telah Pergi



Sekolah kami berhadap-hadapan. Saya di SDN Jampangkulon 2, dia di SDN Jampangkulon 4. Kedua sekolah ini pernah terlibat pertikaian gara-gara sepakbola di halaman kedua bangunan sekolah yang memanjang. Genteng banyak yang pecah dihajar bola. 

Guru menghukum kami dengan mewajibkan mengganti genteng yang pecah itu dari rumah. Maka pagi-pagi sejumlah anak SD seperti tukang bangunan karena masing-masing menjingjing genteng.

Salah seorang “musuh” saya yang sekolah di SDN Jampangkulon 4 adalah Dudi yang biasa saya panggil dengan sebutan “Gajih” karena badannya gempal. Gajih adalah lemak sapi yang kerap dijadikan campuran nasi goreng. Sementara dia memanggil saya “Areng” yang artinya arang karena kulit saya hitam dan badan kering meranggas.

Saya tidak tahu, entah mulai kapan kami jadi akrab. Waktu terjadi “perang” bola pun sebenarnya kami sudah berkawan. Agak aneh sebetulnya, sebab kami tidak pernah satu sekolah, dari SD sampai SMA, bahkan pilihan sekolah agama pada sore hari pun tidak pernah sama.

Kiranya kami berkawan dari saling ejek, saling mengolok-olok. Tapi kalau ketemu, sejak kecil, kami akrab, bercanda saling tukar tawa. Dia hampir seumur hidup tinggal di kampung, orangtuanya salah satu orang berada di desa kami. Setelah dewasa ia menikah dengan seorang kawan saya waktu kelas 6 SD. Mereka berumahtangga dengan disangoni sejumlah toko untuk membiayai hidup.

Saya mulai kelas 1 SMA merantau dan sampai sekarang tak tinggal lagi di kampung. Setiap kali pulang dan melewati rumahnya, lalu kebetulan dia tengah duduk di pinggir jalan, saya selalu berteriak, “Gajih!”

Dalam kendaraan yang terus melaju, terdengar samar ia menjawab, “Heh siah Areng!”

Setahu saya, kata “Gajih” memang hanya dilontarkan oleh saya, begitu juga sebaliknya, kata “Areng” yang ditujukan kepada saya hanya dia seorang yang melontarkannya.

Belakangan, saya dengar dia bergiat di komunitas motor trail di kampung. Kerap menyambangi hutan, pantai, perdesaan, dan tempat-tempat antah berantah lainnya. Selain itu, ia juga aktif di organisasi Pemuda Anshor yang dimotori oleh anak bungsu ajengan yang ditinggal di Kecamatan Cimanggu.

Beberapa tahun ke belakang ia dan istrinya menunaikan ibadah haji. Sepulang dari tanah haram, kawan-kawan yang lain memanggilnya Haji Dudi. Sementara saya tak mengubah panggilan: tetap “Gajih”. Itulah panggilan yang murni, saya kira. Tak ada embel-embel haji di depannya, bahkan nama aslinya pun jarang saya sebut. Ia bagaimana pun adalah kawan saya sejak kecil, dan panggilan-panggilan “aneh” hanya akan membuat kami berjarak.

Selasa, 16 Oktober 2018, Abu, kawan saya sebangku selama sembilan tahun memberi kabar: Haji Dudi meninggal dunia diserang stroke.

“Peuting jam 11 di RS Jampangkulon,” katanya.

Sesaat saya terdiam, mengenang lagi waktu yang tercecer di belakang. Selamat jalan Gajih. (irf)

No comments: