Sekolah kami berhadap-hadapan. Saya di SDN Jampangkulon 2,
dia di SDN Jampangkulon 4. Kedua sekolah ini pernah terlibat pertikaian
gara-gara sepakbola di halaman kedua bangunan sekolah yang memanjang. Genteng banyak
yang pecah dihajar bola.
Guru menghukum kami dengan mewajibkan mengganti genteng yang pecah itu dari rumah. Maka pagi-pagi sejumlah anak SD seperti tukang bangunan karena masing-masing menjingjing genteng.
Guru menghukum kami dengan mewajibkan mengganti genteng yang pecah itu dari rumah. Maka pagi-pagi sejumlah anak SD seperti tukang bangunan karena masing-masing menjingjing genteng.
Salah seorang “musuh” saya yang sekolah di SDN Jampangkulon 4
adalah Dudi yang biasa saya panggil dengan sebutan “Gajih” karena badannya
gempal. Gajih adalah lemak sapi yang kerap dijadikan campuran nasi goreng. Sementara
dia memanggil saya “Areng” yang artinya arang karena kulit saya hitam dan badan
kering meranggas.
Saya tidak tahu, entah mulai kapan kami jadi akrab. Waktu terjadi
“perang” bola pun sebenarnya kami sudah berkawan. Agak aneh sebetulnya, sebab
kami tidak pernah satu sekolah, dari SD sampai SMA, bahkan pilihan sekolah
agama pada sore hari pun tidak pernah sama.
Kiranya kami berkawan dari saling ejek, saling mengolok-olok.
Tapi kalau ketemu, sejak kecil, kami akrab, bercanda saling tukar tawa. Dia hampir
seumur hidup tinggal di kampung, orangtuanya salah satu orang berada di desa
kami. Setelah dewasa ia menikah dengan seorang kawan saya waktu kelas 6 SD. Mereka
berumahtangga dengan disangoni sejumlah toko untuk membiayai hidup.
Saya mulai kelas 1 SMA merantau dan sampai sekarang tak
tinggal lagi di kampung. Setiap kali pulang dan melewati rumahnya, lalu
kebetulan dia tengah duduk di pinggir jalan, saya selalu berteriak, “Gajih!”
Dalam kendaraan yang terus melaju, terdengar samar ia
menjawab, “Heh siah Areng!”
Setahu saya, kata “Gajih” memang hanya dilontarkan oleh saya,
begitu juga sebaliknya, kata “Areng” yang ditujukan kepada saya hanya dia
seorang yang melontarkannya.
Belakangan, saya dengar dia bergiat di komunitas motor trail
di kampung. Kerap menyambangi hutan, pantai, perdesaan, dan tempat-tempat antah
berantah lainnya. Selain itu, ia juga aktif di organisasi Pemuda Anshor yang
dimotori oleh anak bungsu ajengan yang ditinggal di Kecamatan Cimanggu.
Beberapa tahun ke belakang ia dan istrinya menunaikan ibadah
haji. Sepulang dari tanah haram, kawan-kawan yang lain memanggilnya Haji Dudi. Sementara
saya tak mengubah panggilan: tetap “Gajih”. Itulah panggilan yang murni, saya
kira. Tak ada embel-embel haji di depannya, bahkan nama aslinya pun jarang
saya sebut. Ia bagaimana pun adalah kawan saya sejak kecil, dan panggilan-panggilan “aneh”
hanya akan membuat kami berjarak.
Selasa, 16 Oktober 2018, Abu, kawan saya sebangku selama
sembilan tahun memberi kabar: Haji Dudi meninggal dunia diserang stroke.
“Peuting jam 11 di RS Jampangkulon,” katanya.
Sesaat saya terdiam, mengenang lagi waktu yang tercecer di
belakang. Selamat jalan Gajih. (irf)
No comments:
Post a Comment