Yang terlambat saya sadari, salah satunya adalah bahwa generasi telah berganti. Di kampung, sekarang setiap kali duduk di warung kopi, atau nongkrong di alun-alun, banyak sekali anak muda yang tidak saya kenali. Mereka menyapa, namun saya tertegun dan bertanya-tanya, “siapa mereka itu sesungguhnya?” Beberapa orang yang usianya sama atau tidak terpaut jauh dengan saya, ternyata mengalami hal serupa; semacam gegar generasi. Pada malam takbiran seorang kawan mengeluh, katanya dia duduk di pinggir alun-alun sambil membakar rokok, dan mendapati banyak sekali anak muda yang menyapa dan menyalaminya, namun hanya sedikit yang dikenalinya.
Perubahan ini ternyata adalah pangkal, sedangkan salah satu penyebabnya yaitu kematian. Generasi terdahulu; orang-orang tua yang sering kami temui di mesjid, di alun-alun, di warung kopi, di acara tahlilan, dan beberapa pemuda yang kerap mengadu jago di palagan bola, satu-persatu telah berpulang. Yang tersisa sekarang mayoritas ialah anak baru gede yang dulu, sebelum saya pergi merantau, masih sebentuk bocah-bocah manis yang belum pandai menerbangkan layang-layang.
Waktu seperti bergerak tergesa, dalam kurun waktu 17 tahun semenjak saya meninggalkan rumah, bocah-bocah itu tumbuh subur dalam balutan masa puber yang mendidih. Sedangkan angkatan tua satu-persatu tumbang, yang kata Chairil Anwar; “sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Waktu benar-benar hakikat, dia menggulirkan generasi demi generasi, tak terbendung dan meyakinkan.
Maut terkadang datang merayap, tapi seringkali menyambar. Di penghujung Ramadhan kemarin tak kurang dari empat orang kembali menghadap Sang Khalik. Seseorang yang usianya belum genap 40 tahun, setelah sahur pamit sama istrinya hendak rebahan sambil menunggu adzan subuh. Ketika istrinya membangunkan untuk sholat dia telah lewat. Di kampung sebelah ada seorang pemuda yang baru menginjak 34, pada sebuah sore yang manis dia pergi memancing, menjelang maghrib seseorang menemukannya tengah mengambang di sungai, bajunya terkait akar. Entah apa penyebabnya. Sedangkan orang-orang yang usianya telah lanjut kebanyakan “dijemput” ketika terbaring di kamar tidur.
Kematian adalah pasti, sepasti 2+2=4, hanya saja dia diliputi misteri ihwal kapan datangnya. Dalam sebuah sajak yang berjudul “Pastoral” Acep Zamzam Noor menulis :
Maut bukanlah kabut yang mengendap-ngendap / Tapi salju / Yang berloncatan bagai waktu / Dan menyumbat pernapasanmuMaut bukanlah kata-kata / Tapi doa / Yang memancar bagai cahaya sorga / Dan membakarmu tiba-tiba
Tapi meskipun berloncatan dan memancar, namun salju dan cahaya sorga belum mau menyentuh seorang tua yang tempat tinggalnya sekira 20 meter dari rumah saya. Dia seorang mantan Wedana, dan usianya telah menginjak 96 tahun. Tapi seorang tua yang tersisa itu tak mampu membendung pergantian generasi. Dia tak lebih sebagai penanda bahwa sebuah angkatan telah mendahului angkatan berikutnya. Jelas, tak ada seorang pun yang tahu apakah dalam waktu dekat Pak tua itu tengah diintai maut atau tidak.
Sama seperti tak seorang pun yang tahu, termasuk yang mudik kemarin, bahwa angka kecelakaan lalu-lintas yang merenggut nyawa terus memenuhi catatan kepolisian. Dia “mengambil” siapa saja yang dihendaki-Nya, dan menangguhkan siapa yang dikehendaki-Nya.
Begitulah maut, meskipun datang membabat, menggerus pergantian generasi, namun tetap menyimpan aura misteri yang membuat gentar dan menggetarkan. Saya akhiri catatan ini sebelum menjadi khotbah. [irf]
No comments:
Post a Comment