Pagi jahanam. Saat kamu terlelap tidur sehabis dihajar lelah yang berparade, dan udara dingin mengepung, bunyi alarm meraung-raung dari sebuah ponsel milik kawanmu, berulang-ulang. Alarm yang nirmanfaat, sebab kawan pemilik ponsel itu amat jarang terbangun, atau jika terbangun hanya membunuh bunyinya sebentar untuk kemudian meraung lagi. Bunyi-bunyi yang menyerupai panggilan niaga tukang es krim, atau lagu asing yang menyebalkan. Kamu naik pitam dan selalu terlintas di pikiran untuk melemparkan ponsel itu ke jalan agar digilas ban mobil sampai remuk, atau menggetok batok kepala kawanmu dengan ponselnya. Tapi kamu sadar, bahwa yang namanya kawan harus selalu mempunyai cadangan kesabaran, persis seperti orang-orang yang mengantri di BPJS kesehatan, atau calon pembeli kopi yang mengular di jalan Banceuy. Lalu kamu memilih mencuci muka, minum air putih, menyeduh kopi dan merokok, sambil perlahan melepaskan keruh hati yang biasanya akan hilang ketika siang mulai datang, dan keruh lagi saat malam dijemput pagi. Harapanmu hanya satu, setidaknya sebelum kiamat tiba, kawanmu itu diberi hidayah, menginsyafi satu hal bahwa kupingmu bukan sebatas daging tumbuh, bukan pula semacam kikil sapi, namun sebenar-benar indera pendengar yang masih berfungsi.
Kamu tidak memonopoli kesal, sebab kawanmu yang lain merasakan hal yang sama, kadarnya saja yang mungkin berbeda. Sering kamu dapati seorang kawan yang lain telah duduk menghadapai kopi, rambutnya terurai, dan diselubungi asap rokok produksi Djarum: Agus namanya. Pada perjumpaan yang mula-mula, kamu bergumam dengan lirih, bahwa kawanmu ini masuk kafilah muklas (muka klasik), sebuah kelompok perwajahan yang bersahaja berkawan, rendah hati, dipenuhi narasi menunggu, dan bisa didefinisikan oleh sebuah lagu aduhai berjudul Di Ambang Sore. Ia pendiam pada awalnya, penyimak yang baik, dan pelaku blunder umum seperti: salah kamar chatting, berkomentar keluar konteks, dll.
Di perkemahan Capolaga yang digenggam angin lembah, saat kesibukan berderet-deret, kamu mendapati Agus membereskan banyak hal, tak menunggu komando, tak banyak cakap, sendirian. Ia kemudian menambah perbendaharaan kawan yang masuk kategori: bisa diandalkan. Keringat berleleran dari anak rambutnya yang digulung tanpa tusuk konde. Sesekali pertanyaan keluar dari mulutnya, ihwal pekerjaan apalagi yang mesti ia selesaikan. Saat itu kamu berniat menawarkannya segelas kopi jagung dan sebatang rokok, namun karena tiba-tiba perutmu mulas, kamu akhirnya bergegas pergi ke sebuah sudut perkemahan.
Dalam acara diskusi buku, Agus beberapakali membahas novel tak populer dengan karakter tokoh yang klise: pencinta alam, murung, pembaca buku, setia, namun kisah cintanya pahit. Novel-novel itu selalu mengingatkanmu pada buku Catatan Seorang Demonstran. Kamu lalu bersuudzon, bahwa kawanmu ini tengah berjuang mencari identitas, bongkar pasang idola, dan ho-hokgie-eun. Tapi kamu kemudian meyakinkan diri bahwa itu adalah soal interpretasi saja, sebuah rumusan yang diambil dari pergaulan sehari-hari, namun tak menjamin mampu menyelami pedalaman yang sebenarnya.
Belakangan, dalam lautan percakapan di sebuah grup komunitas, Agus kerap diserang oleh banyak kawan terkait dengan pasang surut kisah kasihnya: serangan-serangan guyon namun terkadang tajam. Sebut saja Aip (nama panggilan sebenarnya), kawanmu yang satu ini kerap mencecar Agus serupa para kombatan Perang Teluk menghantam musuh dengan rudal Scud B buatan Uni Soviet. Kamu sadar, kawanmu yang membaca tulisan ini ingin tahu contoh serangan Aip tersebut, maka kamu pun menyalinnya di sini:
- Agus: “Makanan yang mengandung vitamin B apa aja ya?”
Aip: “Searching di Google sateh tonk manja!”
- Agus: “Beneran pan urang time traveler”
Aip: “Punya privilese keliling ruang waktu, tapi tak belajar apa pun darinya, buat apa?”
- Di twitter:
Agus: “Setia kadang membuat luka, dan waktulah yang akan menjadi penawarnya”
Aip: “Halah kontol”
Sebagian kawanmu pasti ada yang tidak paham dengan beberapa contoh percakapan di atas, demikianlah adanya, sebab percakapan-percakapan tersebut tidak terlepas dari konteks yang tidak semua kawanmu mengetahuinya. Agus rupanya cukup tertekan dengan kondisi tersebut, sampai akhirnya terlontar sebuah kalimat, “Mun aing ngetik si Aip pasti kaluar.” Kamu tertawa berderai-derai mendengar kalimat tersebut. Tak lama setelah itu, beberapakali kamu mendapati Agus tengah mendengarkan lagu-lagu dengan lirik menyayat, diulang-ulang, lalu menyanyikannya secara lirih dengan bantuan suara gitar. Ketika melihat Agus di titik seperti itu, kamu teringat pohon kapuk: saat buahnya merekah suasana di jalanan menyerupai hujan salju karena seratnya yang putih beterbangan di udara, namun saat kemarau ia meranggas.
Hujan salju seorang Agus sering kamu lihat di keseharian: ia sigap dalam perjalanan kelompok, gesit mengantarkan dan mengawal kawan perempuan yang pulang larut malam, ulet mengerjakan tugas-tugas desain, rokoknya serupa brosur iklan kredit motor (boleh diambil siapa saja), dan beberapa hal lainnya. Dan sebelum tulisan ini jatuh menjadi sehimpun puji-pujian, kamu hendak menutup hujan salju interpretasimu tentang Agus dengan sebait puisi dari Jokpin: “Bahwa sumber segala kisah adalah kasih / bahwa ingin berawal dari angan / bahwa segala yang baik akan berbiak / bahwa orang ramah tidak mudah marah.” [irf]
Hujan salju seorang Agus sering kamu lihat di keseharian: ia sigap dalam perjalanan kelompok, gesit mengantarkan dan mengawal kawan perempuan yang pulang larut malam, ulet mengerjakan tugas-tugas desain, rokoknya serupa brosur iklan kredit motor (boleh diambil siapa saja), dan beberapa hal lainnya. Dan sebelum tulisan ini jatuh menjadi sehimpun puji-pujian, kamu hendak menutup hujan salju interpretasimu tentang Agus dengan sebait puisi dari Jokpin: “Bahwa sumber segala kisah adalah kasih / bahwa ingin berawal dari angan / bahwa segala yang baik akan berbiak / bahwa orang ramah tidak mudah marah.” [irf]
Disalin dari Pustaka Preanger
No comments:
Post a Comment