Warga Kota Bandung pasti tidak asing dengan
Jalan PHH Mustapa, ruas jalan yang menyambungkan Jalan Surapati dengan Terminal
Cicaheum, atau biasa disebut Suci (Surapati-Cicaheum).
Penghulu Haji Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni
1852 di Cikajang, Garut. Ayahnya bernama Mas Sastramanggala, seorang Camat
kontrakan teh Cikajang. Ibunya bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), masih keturunan
Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut. Sebagian kecil masyarakat berspekulasi,
bahwa penamaan Suci di ruas Jalan PHH Mustapa dikaitkan dengan daerah Suci asal
Dalem Sunan Pagerjaya.
Hasan Mustapa adalah Hoofd Penghulu (Kepala
Penghulu) Bandung yang paling terkenal. Beliau dikenal sebagai ulama mahiwal (nyeleneh)
karena beberapa sikapnya dianggap tidak lazim oleh masyarakat umum. Ajip Rosidi
dalam buku Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana menulis
contoh sikap Hasan Mustapa yang nyeleneh tersebut.
Ketika jenazah Toha Firdaus, anaknya yang
meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Nagreg pada 1921 hendak dibawa ke
kuburan, Hasan Mustapa menyuruh grup keroncong Sangkuriang untuk memainkan
musik mengiringi rombongan pembawa jenazah. Sangkuriang adalah grup keroncong
pimpinan Toha Firdaus semasa hidupnya, almarhum memang terkenal sebagai “buaya
keroncong”.
Terang saja laku ini mengundang pertanyaan
banyak orang. Suasana duka, bahkan rombongan yang mengiringi jenazah,
malah diimbuhi dengan musik keroncong? Apa tidak aneh untuk cita rasa umum?
Sikap dan cara berdakwah Hasan Mustapa yang
dianggap aneh sekaligus lucu banyak dikumpulkan oleh para pengagumnya yang
tergabung dalam Galih Pakoean dalam bentuk anekdot. Ajip Rosidi menerangkan
bahwa anekdot-anekdot tersebut menggambarkan kebesaran pribadi Hasan Mustapa, tajam
melihat jiwa manusia, dan luasnya pengetahuan beliau tentang agama dan
kehidupan.
“Mempunyai bakat untuk cepat menjawab pertanyaan
orang lain, bisa mematahkan pendapat-pendapat orang lain secara mudah, dan
sebaliknya kalau beliau bertanya kepada orang lain, tidak pernah mudah mencari
jawabannya,” ujar Daeng Kanduruan Ardiwinata (Ketua Paguyuban Pasundan yang
pertama) seperti dikutip Ajip Rosidi.
Sekali waktu seseorang datang kepadanya
menanyakan rupa Allah dengan kalimat, “Allah itu seperti siapa?” Beliau
kemudian dengan cepat balik bertanya, “Kamu sudah pernah melihat Kanjeng?
(Dalem Bupati)”. Orang tersebut mengiyakan. Lalu beliau bertanya lagi, “Sudah
pernah melihat Kanjeng Tuan Besar?” orang tersebut kembali mengiyakan. “Nah,
(Allah) sedikit dari itu (Kanjeng Tuan Besar).”
Sekilas jawaban Hasan Mustapa seperti yang
merendahkan Allah dengan membandingkannya dengan manusia, bahkan ia menyebut
“sedikit dari itu”. Padahal beliau hanya menyesuaikan alam pikiran orang yang
bertanya, yang mempunyai anggapan bahwa Allah bisa diperkirakan wajahnya.
Di waktu lain, ketika magrib tiba Hasan Mustapa
didatangi oleh opas kabupaten yang disuruh oleh Kanjeng Dalem untuk menanyakan
jumlah setan. “Ada dua,” begitu jawab beliau. Opas kemudian pergi, namun tak
lama berselang ia datang lagi dengan pertanyaan baru. “Yang dua itu, mana?”
tanyanya. Hasan Mustapa langsung menjawab, “Pertama, setan Kanjeng Dalem.
Kedua, setan opas.”
Sangat jarang orang yang berani lancang dengan
mengatakan Kanjeng Dalem sebagai setan, namun bagi Hasan Mustapa bukanlah suatu
halangan untuk mengatakan demikian. Terlebih ia berkata seperti itu
karena opas yang bolak-balik bertanya tersebut datang ketika ia tengah salat.
Terkait sikapnya yang kerap nyeleneh dalam
berdakwah, setidaknya yang terhimpun dalam anekdot-anekdotnya, beliau berkata,
“Ari mapatahan téh kudu luyu jeung alamna jalma anu dipapatahan. Lamun alamna
budak, papatahan cara ka budak. Lamun alamna pidunya tuduhkeun jalan kauntungan
ceuk manéhna.”
(Kalau memberitahu orang harus sesuai dengan
alam pikiran orang yang diberitahu. Kalau alamnya anak-anak, kasih tahu dengan
jalan seperti kepada anak-anak. Kalau alamnya dunia, tunjukkan jalan keuntungan
untuk dirinya),” tulis Hasan Mustapa dalam Patakonan jeung Jawabna.
Sejak kecil Hasan Mustapa sudah giat belajar
mengaji Al-Quran yang dibimbing oleh kedua orang tuanya. Setelah berusia 7
tahun, ia mulai berguru kepada Kyai Hasan Basri dari Kiarakoneng, Garut.
Di usianya yang ke-8, Hasan Mustapa sempat dimasukkan ke sekolah kabupaten (konon)
oleh Karel Frederik Holle, namun ayahnya meminta agar Hasan Mustapa tidak
bersekolah di sana sebab akan dibawa pergi ke Mekah.
Pada kesempatan pertama ke Mekah, ia bermukim di
sana selama delapan tahun. Lalu pada kesempatan yang kedua ketika usianya
masuk 17 tahun, Hasan Mustapa bermukim selama 3 sampai 4 tahun di Tanah
Suci. Kemudian pada kesempatan yang ketiga ketika berusia 29 tahun, ia tinggal
di sana selama 5 tahun, dan baru pulang lagi ke tanah air pada 1882.
Dalam buku Aji Wiwitan Istilah,
Hasan Mustapa mengemukakan bahwa ia memperdalam ilmunya ketika di Mekah kepada
Syeh Muhamad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Sayid Abdullah
Janawi, dll.
Sekembalinya dari Tanah Suci pada kali pertama,
Hasan Mustapa berganti-ganti guru dan tempat ngaji. Mula-mula ia mempelajari
dasar-dasar nahwu dan shorof kepada Rd.
H. Yahya, seorang pengiunan penghulu di Garut. Lalu pindah ke Tanjungsari,
Sumedang, berguru kepada Kyai Abdul Hasan dan memperoleh pelajaran nahwu,
shorof, fikih, dan tasripan. Setelah itu ia kembali lagi ke Garut dan
berguru kepada Kyai Muhamad dan Muhamad Ijrai.
Menurut Tini Kartini, dkk., dalam Biografi
dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa yang mengutip dari M.
Wangsaatmadja, kepulangan Hasan Mustapa ke tanah air pada 1882 karena dipanggil
oleh Muhamad Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu. Hasan Mustapa diberi
tugas untuk meredakan ketegangan di antara para ulama di Garut yang tengah
bertentangan paham di antara mereka.
Menjadi Hoofd Penghulu Aceh
Pergaulan Hasan Mustapa sangat luas, ia kenal
dengan para orientalis Belanda seperti KF. Holle, Rinkes, Brandes, dan
dedengkotnya yang paling masyhur: Snouck Hurgronje. Pada 1889, Hasan
Mustapa diminta oleh Snouck Hurgronje untuk mendampinginya keliling Jawa dan
Madura melakukan penelitian tentang folklore dan kehidupan agama Islam di
Jawa. Snouck Hurgronje sebetulnya telah mengenal Hasan Mustapa sejak ia masih
bermukim di Mekah sebagai konsul Belanda. Bahkan ia pernah ditolong oleh Hasan
Mustapa ketika hendak dibunuh oleh orang-orang Arab.
Tahun 1893, atas usul dari Snouck Hurgronje,
pemerintah kolonial Belanda mengangkat Hasan Mustapa untuk menjadi Hoofd
Penghulu di Aceh. Berdasarkan informasi dari orang-orang Galih Pakoean yang
dikutip oleh Tini Kartini, dkk., pada waktu itu tidak mudah menjadi Hoofd
Penghulu di Aceh. Sebab si pejabat sering dalam posisi terancam karena
karena dianggap tidak adil dalam menyelesaikan suatu masalah atau persengketaan
di masyarakat.
Tugas seorang Hoofd Penghulu pada masa itu
selain menjadi pemuka agama, juga ikut memberikan keputusan dalam masalah
hukum. Kadang kala mereka biasa disebut Kadi. Di Aceh pada waktu itu,
apabila seseorang kalah dalam suatu perkara, maka orang tersebut akan
memberondong Kadi dengan berbagai pertanyaan, seperti: Ia kalah berdasarkan
hukum apa? Ayat berapa? Mengapa ia dianggap salah?
Jika Kadi tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan, maka ia akan dianggap berat sebelah, dan tak jarang Sang Kadi bisa
terancam. Sikap keras orang Aceh, termasuk dalam berbicara dan berargumen,
menjadi tantangan tersendiri bagi para Kadi.
Snouck Hurgronje, dengan melihat beberapa syarat
dari pemerintah kolonial Belanda yang mengisyaratkan bahwa Hoofd Penghulu Aceh
harus seorang yang cerdas, pandai dalam ilmu hukum di samping juga menguasai
ilmu agama secara mendalam, menilai Hasan Mustapa adalah orang yang tepat untuk
mengisi jabatan tersebut.
Hasan Mustapa bersedia menjalankan tugas
tersebut dengan mengajukan dua syarat, yaitu: (1) Ia harus dipercayai
sepenuhnya: segala perkataan, perbuatan, dan tulisan-tulisannya janganlah
diganggu. Kesanggupan pemerintah kolonial Belanda memenuhi syarat pertama ini
harus dinyatakan secara tertulis. (2) Apabila ia telah berhasil dengan tugasnya
di Aceh, dan apabila nanti ada lowongan jabatan Hoofd Penghulu di Bandung,
Hasan Mustapa minta agar ia dapat ditempatkan di Bandung (Biografi dan Karya
Pujangga Haji Hasan Mustafa).
Selama dua tahun (1893-1895) Hasan Mustapa
menjalankan tugasnya sebagai Hoofd Penghulu Aceh dengan baik, sehingga masyarakat
Aceh merasa puas dengan kinerja dan segala keputusannya. Sebagai ungkapan
terima kasih, rakyat Aceh memberinya sebidang tanah yang oleh Hasan Mustapa
dipakai untuk mendirikan sebuah masjid.
Setelah itu beliau kembali ke tanah
Priangan dan menjabat sebagai Hoofd Penghulu Bandung selama 23 tahun. Pada
1918, atas permintaan sendiri, Hasan Mustapa diberhentikan secara terhormat dan
memperoleh hak pensiun. Hasan Mustapa wafat pada 1930 di Bandung, dan
dimakamkan di komplek permakaman Para Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar.
Para Pengagum di Galih Pakoean
Ryzki Wiryawan
dalam Okultisme di Bandoeng Doeloe menerangkan bahwa Hasan
Mustapa memiliki seorang sekretaris pribadi bernama M. Haroen Wangsaatmadja
yang mendampinginya selama kurang lebih tujuh tahun sejak 1923. Menurut
pengakuan salah seorang putra Wangsaatmadja, tugas ayahnya yaitu mencatat
masalah yang diucapkan oleh Hasan Mustapa.
“Setelah ditulis dengan rapi, biasanya harus
diperlihatkan terlebih dahulu kepada Haji Hasan Mustapa untuk diteliti kembali.
Apabila naskah itu dianggap telah memenuhi keinginannya, maka Haji Hasan
Mustapa membubuhkan tanda tangan dan naskah itu dianggap sah,” tulis Ryzki
mengutip Tjitji Hamzam Wangsaatmadja.
Selain sebagai sekretaris pribadi Hasan Mustapa,
M. Haroen Wangsaatmadja adalah juga seorang seorang tokoh teosofi asal Sunda
yang tercatat sebagai sekretaris Loji Galih Pakoean. Ia sering diundang ke
pertemuan-pertemuan loji lainnya untuk memberikan ceramah dengan topik yang
sering dibahas dalam karya-karya Hasan Mustapa, yaitu tentang Islam dan
kesundaan.
Ryzki menambahkan bahwa tanggung jawab M. Haroen
Wangsaatmadja terus berlanjut setelah Hasan Mustapa wafat. Ia dan
rekan-rekannya sesama anggota Loji Galih Pakoean terus memelihara beberapa
naskah karya Hasan Mustapa dan mengusahakan penerbitannya.
Upaya Galih Pakoean dalam menerbitkan naskah
karya Hasan Mustapa didukung oleh Bupati Bandung, R.A.A. Wiranatakusumah, yang
ikut membuat sebuah buku kecil berjudul Galih Pakoean yang
terbit pada 1940. Sementara dalam catatan Ajip Rosidi, beberapa karya Hasan
Mustapa yang diterbitkan oleh Galih Pakoen di antaranya yaitu Petikan
Qur’an katut Adab Padikana dan Gelaran Sasaka di KaIslaman.
Karya-karya Hasan Mustapa
Selain beberapa
karya yang dipelihara dan penerbitannya diusahakan oleh Galih Pakoen, karya
Hasan Mustapa yang lain masih banyak seperti: Martabat Tujuh, Balé Bandung,
Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta, Qur’anul Adhimi, Mayar
Kontan Sakalian Ngabekem Gelap Saleser, Tanya Jawab Aceh, Guguritan dina Basa
Jawa, dll.
Dalam bentuk dangding, Puyuh Ngungkung
dina Kurung (kinanti), Hariring nu Hudang Gering(asmarandana), Dumuk
Suluk Tilas Tepus (kinanti), Sinom Pamaké Nonoman (sinom),
dan Amis Tiis Pentil Majapait (dangdanggula), dll. Tak
mengherankan jika kemudian Hasan Mustapa oleh sebagian kalangan dianggap
sebagai pujangga Sunda yang paling besar.
Asep Salahudin menulis di Tribun Jabar edisi
Sabtu, 30 Januari 2010, bahwa menurutnya yang lebih penting bukan sekadar
mengkaji produk pemikiran filsuf besar Sunda itu, tapi bagaimana mewarisi
dialektika berpikirnya.
“Terus berpikir tanpa mengenal batas. Tidak
berhenti memosisikan kebudayaan sebagai proses yang harus dilakoni dengan
ikhlas dan sepenuh hati untuk mencari kebenaran yang dalam religiositas itu
dapat bernama iman yang murni, inklusif, moderat dan dalam aras sosial dapat
dimaknai sebagai sikap yang toleran dan santun.”
Di alam masyarakat Sunda kiwari, ada satu
kutipan dari Hasan Mustapa yang sangat terkenal dan kerap tampilkan di berbagai
artikel, t-shirt, dll, yang kiranya sejalan dengan pendapat Asep Salahudin di
atas. Kutipan itu diambil dari dangding Puyuh Ngungkung dina Kurung:
"Sapanjang néangan kidul, kalér deui kalér
deui
Sapanjang néangan wétan, kulon deui kulon deui
Sapanjang néangan aya, euweuh deui euweuh deui
Sapanjang néangan tungtung, kawit deui kawit
deui
Sapanjang néangan tengah, sisi deui sisi deui.”
"Sepanjang mencari selatan, utara lagi
utara lagi
Sepanjang mencari timur, barat lagi barat lagi
Sepanjang mencari ada, tidak ada lagi tidak ada
lagi
Sepanjang mencari ujung, awal lagi awal lagi
Sepanjang mencari tengah, pinggir lagi pinggir
lagi." (tirto.id - irf/zen)
Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 02 Juli 2017
No comments:
Post a Comment