Jawa adalah nama bagi banyak hal, di
antaranya pulau, bahasa, dan etnik. Tajuk catatan ini merujuk kepada dua hal
terakhir. Artinya, saya melakukan perjalanan ke sejumlah wilayah yang
masyarakatnya mayoritas berbahasa dan beretnik Jawa. Lebih terang lagi, saya
meninggalkan Jawa Barat menuju Jawa Tengah.
Perjalanan pertama dilakukan pada 2015.
Bersama empat orang kawan, dua hari setelah lebaran. Saya tak ingat bagaimana
awalnya usul perjalanan ini muncul. Bagi saya, ada keinginan mendesak untuk
melakukan perjalanan melampaui jarak yang biasa ditempuh hampir tiap bulan ke
sejumlah daerah di Priangan.
Mula-mula kami menuju Sumedang. Berhenti
sejenak di Cimalaka, sekadar jajan tahu. Lanjut ke Majalengka, udara menyengat
ketika berhenti melihat sebuah rumah tua sebelum singgah ke Taman Dirgantara.
Menjelang sore, mampir ke Museum Linggarjati, Kuningan. Sjahrir terpacak dalam
pelbagai benda dan ruang.
Petang dijemput malam,
Cirebon menjelang. Sekujur kota telah dilumuri cahaya lampu. Perbatasan
provinsi semakin dekat. Saat tiba di patung Diponegoro, Brebes, seorang kawan
melonjak girang.
“Kita telah di Jawa
Tengah!” ujarnya.
“Siga
nu kakara waƩ (Seperti yang baru pertama kali saja [datang ke Jawa
Tengah]),” timpal kawan yang lain sinis.
Kami istirahat di teras
sebuah mini market. Saya membuka pembicaraan dengan seorang kasir: perempuan,
orang Cirebon. Ia setiap hari pergi-pulang melintasi batas provinsi. Batas yang
telah membuat girang seorang kawan. Batas itu pula yang menguarkan kesinisan
dari kawan yang lain.
Bermalam di Brebes, Laut
Jawa terasa begitu dekat. Esoknya, ketika hendak meninggalkan kota itu, sebuah
patung telur asin menyambut. Saat itu buku puisi Pendidikan
Jasmani dan Kesunyian belum terbit. Sekarang, satu puisi mewakilinya:
“Di
pantura.
Air mata dan samudera
mesra berkawin.
Berbulan madu di cakrawala.
Menjadi sebutir telur asin.”
Pada sebuah jalan yang
tengah diperbaiki, debu menebal. Di situ kami rehat, menyantap es dawet ayu dan
pecel kangkung. Tepat di pinggir jalan, pada sebuah warung tenda, saat truk-truk
besar hilir mudik. Kepala saya dipenuhi kekhawatiran akan mobil-mobil besar
itu. Sementara seekor ular berenang di sungai tepi warung.
Masih di pinggir ruas
jalan yang sama, sejumlah pengrajin tambang kapal tengah bekerja. Mereka
memintal kain bekas.
“Kainnya dari pabrik
tekstil di Bandung,” ujar seorang pengrajin.
Seorang kawan cermat
mencatat obrolan dengan beberapa pengrajin. Kelak, catatannya tertinggal di
pesawat pada sebuah perjalanan yang lain, dan ia tentu saja menyesalinya.
Kira-kira pukul setengah
dua belas siang, kami tiba di sebuah pemandian air panas. Tentu bukan untuk
mandi, sebab cuaca terik. Kami hanya duduk-duduk. Kolam pemandian tampak butek,
sementara lagu dangdut mendayu dari sebuah warung, tempat para pemuda dan
bapak-bapak menikmati bir.
Di Bumiayu, dalam riuh
pasar dan terminal, samar-samar saya mendengar sopir bus bercakap-cakap dalam
bahasa Sunda. Baterai peranti elektronik mulai melemah. Kami mengisinya di
sebuah warung nasi. Sore sebelum Asar, perjalanan dilanjutkan.
Kami menuju Majenang lewat
Salem. Melewati Sungai Cipamali di batas Kecamatan Bantarkawung. Dulu, sungai
itu adalah batas kekuasaan Kerajaan Galuh di timur. Jalan mulus kian
menanjak, dan hutan menyambut. Sebuah kedai jauh dari permukiman, tempat kami rehat
menikmati kopi saset.
“Saya orang Jawa, tapi gak
bisa ngomong Jawa,” kata ibu penjual kopi dalam bahasa Sunda.
Beberapa orang remaja
berkumpul dekat warung. Semuanya laki-laki, barangkali tengah mencari
penghiburan.
Selepas Isya kami tiba di
alun-alun Majenang, dipenuhi anak-anak yang bersukaria dengan rupa-rupa benda
menyala yang diterbangkan, pedagang kaki lima, dan para pasangan muda.
Penginapan kami tak jauh dari alun-alun, cukup bersih tapi gerah.
Hari ketiga menuju
Cilacap. Singgah di stasiun, lalu ke Benteng Pendem, peninggalan Belanda.
Sambil melihat orang lalu-lalang, kami bersantap pecel entah, sejumlah sayuran
disiram saus kacang. Terdapat jaat alias kecipir, hal yang tak pernah kami
temukan dalam lotek di Jawa Barat.
Sembari istirahat, seorang
kawan menekuri gim pada ponselnya. Seolah gim itu hanya bisa dimainkan saat ia
berada di Cilacap. Ia tampak telah bosan dengan perjalanan ini. Kegirangannya
hanya bertahan sampai Brebes. Setelah itu kegembiraannya terus menurun.
Wajahnya telah kehilangan antusiasme.
Mengendarai motor ratusan
kilometer memang melelahkan, apalagi hampir sepanjang jalan hanya menyajikan
pemandangan yang sangat biasa. Memang bukan lanskap elok yang kami cari, tapi
perjalanan itu sendiri yang dinikmati. Dan kawan itu gagal memilahnya.
Ketika pengunjung lain
asyik mengayuh perahu angsa, kami berangkat ke Pangandaran. Menginap di sebuah
rumah milik ibu tua, dekat mini market. Para wisatawan menyewa mobil kayuh yang
dipenuhi lampu hias.
Sebelum pulang ke Bandung,
mampir dulu ke Citumang. Wisata air, menyusuri sungai jernih ratusan meter.
Pada sebuah jeram, seorang kawan minum air sungai, sementara saya kencing,
paduan yang sempurna.
Sepanjang menyusuri aliran
sungai, saya selalu cemas. Takut tiba-tiba seekor buaya melahap kaki, apalagi
di lintasan terakhir saat kedalaman sungai lima belas meter. Sesuatu yang
rasa-rasanya tak mungkin terjadi.
Wisata air Citumang
dikelola dengan cukup baik. Warga lewat karang taruna khidmat kepada para pengunjung.
Tak tampak pengelolaan gaya preman yang kerap menaikkan harga dan berebut.
Karena berada di sungai
selama empat jam dan dihajar angin sepanjang jalan, saya diserang demam dan
akhirnya tumbang. Di dekat alun-alun Cikatomas saya terkapar di teras sebuah
mini market.
Di Tasikmalaya saya makin
menggigil. Akhirnya perjalanan pulang ke Bandung kembali harus jeda, sebab saya
kian payah. Saya terlelap dalam kantong tidur. Bulir-bulir keringat sebesar
jagung membasahi tubuh. Esoknya pulih. Kami bergerak menuju Garut.
Kawan yang telah habis
kegembiraannya tak lagi bisa menginap. Sekitar pukul delapan malam, ia ditemani
seorang kawan yang lain mendahului kami pulang ke Bandung. Sementara saya dan
dua kawan yang tersisa menginap di Cipanas.
Hari kelima saya pulang
lewat Ciparay, mendengarkan khotbah Jumat di depan sebuah mini market. Ketika
tiba di Jalan Solontongan, Buahbatu, saya ingin melakukan perjalanan lagi. (irf)
No comments:
Post a Comment