12 May 2019

Komunis Pertama (2 Habis) - T. Iskandar A.S.

Lukisan karya Hendra Gunawan

Mulai hari itu suasana rumah sudah tidak enak lagi. Kepingin sekali aku cepat-cepat kembali ke Jakarta, selesai segala soal. Dengan paman aku bicara seperlunya saja. Sering kulihat ia termenung berpikir-pikir. Besoknya aku menjemput ibuku ke kampung. Pada mukanya aku melihat kecerahan dan kegembiraan. Sungguh mati aku tidak ingin mengganggu kegembiran yang dalam umurnya setua itu jarang diperolehnya.

Tapi andaikata ia tahu, barangkali dari paman, bahwa aku seorang komunis, alangkah kejamnya aku menyiksanya. Oleh karena itu, selalu aku mengelak diri dari pembicaraan tentang komunis. Untuk menyenangkan hati ibu, aku rajin sekali sembahyang, walau siapa pun dalam keluargaku tahu bahwa sembahyang selalu kuingkari sejakku kecil. Ibuku gembira sekali jadinya. Sebaliknya, paman Hasan cuma senyum-senyum sumbing. Benar-benar kepulanganku sekali ini sangat menyiksa.

Itulah makan malamku yang terakhir bersama paman Hasan. Kugenggam segenggam besar nasi putih dan kuletakkan di piring kosong. Ke atasnya kutuangkan kuah yang bermanik-manik karena lemak. Kujangkau sepotong paha ayam goreng, kugigit sedikit, kemudian kuletakkan dipiring. Aku mulai menyuap. Tapi sangkut. Segera kudorong dengan teh. Demikianlah, kusuap dan kudorong nasi itu dengan teh berkali-kali, sampai nasi dipiring terhabiskanku.

Ketika aku memasukkan tanganku ke basuhan, kediaman yang kaku dari tadi, tiba-tiba dipecahkan oleh suara paman Hasan yang parau dan dingin.

“Sedikit sekali kau makan.”

“Sudah kenyang.”

“Dengan nasi yang sesedikit itu?”

“Sudah kenyang.”

Sambil terus mengunyah, dikerlingnya piringku:

“Habiskan ayam itu.”

Kuangkat paha ayam goreng itu, kugigit sekali, kemudian kuletakkan kembali di piring.

“Tak ada selera,” kataku sambil menghembuskan napas.

“Karena hendak kembali ke Jakarta besok pagi?”

Pertanyaan itu tidak segera kujawab, karena aku sendiri tidak tahu mengapa aku gundah dan seleraku hilang.

“Barangkali juga,” kataku sekedar tidak diam saja.

Percakapan putus di situ. Paman terus mengunyah, lahap sekali. Memang ia tukang makan nomor satu. Ketika ia menjangkau ayam goreng yang terakhir dari yang tadinya menggunung di piring, ia mengiringinya dengan komentar:

“Hidup untuk makan.”

Aku hendak mengomentarinya, tapi tak jadi. Ada sebenarnya yang hendak kukatakan padanya, tapi aku masih takut. Dia membasuh tangannya, menglapnya kemudian, mengambil sebatang cerutu Havana, lalu menghembus-hembuskannya.

“Ada yang hendak saya katakan pada paman,” kataku tiba-tiba.

“Katakanlah,” jawabnya singkat.

Tapi aku diam dan ia pun tidak menantinya tampaknya.

“Apakah paman marah sama saya?”

“Apa hakku?”

“Saya menganggap paman sebagai pengganti ayah saya sendiri.”

Ada tersentuh hatinya oleh kalimatku itu.

“Saya berterimakasih pada paman. Paman telah mendorong saya maju. Tanpa paman saya telah menjadi seorang yang tak ada harga. Pengecut, rendah diri, tak berpengharapan.”

Dia macam tidak mendengarkan, tapi aku tahu pasti ia mendengarkan.

“Paman tahu, begitu ayah meninggal, Mak mendapat gangguan darah tinggi. Sejak waktu itu demi tak terganggunya sekolah saya, saya dititipkan pada kak Minah, kakak suami kak Ratna almarhum. Di sana saya tak mendapat perhatian sepenuhnya, saya dianggap anak tiri di antara anak-anaknya. Saya makan makin jelek dan paling sedikit, tapi saya harus mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang paling banyak. Hidup saya tertekan karena pembedaan-pembedaan ini. Masih paman ingat ketika saya melarikan diri dan tidak bersedia kembali lagi pada kak Minah?”

Paman masih diam, cerutunya berasap terus.

“Setelah itu, setelah paman pindah ke kota, saya tinggal bersama paman. Keadaan saya lebih baik, tetapi saya masih belum dapat melepaskan diri dari anggapan bhwa saya menumpang hidup pada orang lain, pada seseorang yang bukan ayah ibu saya sendiri. Saya hidup dari kasihan orang lain, walaupun orang itu seorang paman atau abang.”

Aku menatap paman ingin melihat reaksinya, tapi ia masih dalam sikap seakan-akan acuh tak acuh.

“Paman masih mau mendengarkan?”

“Teruskan.”

“Setelah itu saya tinggal bersama paman Ali. Masih tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu yang tertekan yang betul-betul memukul jiwa muda saya yang rapuh. Saya tidak lama tinggal bersama beliau, saya kembali pada paman lagi, yang saya anggap serasi. Tapi pemberontakan Darul Islam telah mengusir guru-guru sekolah keluar daerah, sekolah saya terbengkalai. Saya pindah ke Jakarta dan menetap bersama abang Ali yang baru saja kawin dengan kak Ati, oleh karena itu saya mematuhi apa saja yang dikatakannya.”

Aku menghela napas berat dan merasa sedih sendiri.

“Kemudian?” paman Hasan untuk pertama kali menyela.

“Paman tahu sendiri bukan? Saya mulai diperkudanya, saya dianggap babu dan jongosnya sekaligus. Abang Ali, demi cintanya, diam saja. Saya sangat tertekan. Penindasan jiwa dulu ditindih pula dengan penindasan jiwa baru. Masa remaja saya tidak saya kecap sebaik-baiknya. Kegembiraan muda saya lenyap dan saya tenggelam dalam kesedihan, kegelapan, hina diri, tanpa harga diri.”

Kuangkat mukaku dan kupandang paman Hasan, kurasakan pandang kasih sayangnya yang pernah selalu kuterima. Aku mencoba manahan air mataku.

“Hal ini berakhir ketika abang Ali dan istrinya pindah kemari. Saya pun pindah ke Medan. Di sanalah saya mulai kenal dengan komunisme, dengan PKI. Saya menumpang di rumah seorang kader atas PKI. Suatu kali dia bertanya kepada saya, mengapa saya selalu murung, penyendiri dan pemalu.

“Anak muda harus banyak bergembira,” katanya.

“Belum pernah saya menerima perhatian sedemikian baik di luar keluarga saya. Saya tak bisa berbohong, bahkan tak ada seorang anggota keluarga kita yang bisa memahami saya seperti dia. Paman sendiri tidak sebegitu memahami saya seperti dia.”

Kulihat paman mengangguk.

“Sejak itu saya sering diajaknya menghadiri pertemuan-pertemuan, melihatnya berpidato di depan massa banyak, tidak seperti seorang bapak menggurui anak buahnya, tapi seperti seorang sahabat karib yang lebih berpengetahuan. Saya melihat bagaimana dia dikritik anak buahnya dan kemudian mengeritik dirinya sendiri atas kesalahan-kesalahannya. Bukan hanya itu, ia malah memperbaikinya segera sesudah hari itu. Saya melihat bagaimana mereka menghentikan merokok karena mau membantu keluarga temannya yang dipenjara karena kaum tani yang dirampas tanahnya.”

Paman mematikan cerutunya, kemudian menukarnya dengan batang yang lain.

“Suatu kali, karena saya manaruh perhatian pada soal-soal kesenian, mereka mengajak saya turut dalam sebuah pementasan drama. Mereka minta saya memerankan seorang tokoh. Pada sutradaranya saya katakan bahwa saya seorang penggugup dan melihat orang ramai seperti melihat hantu. Saya menduga mereka mentertawakan saya, tapi dugaan itu meleset.”

“Apa jawab mereka? ‘Bung tidak boleh menyerah pada kelemahan-kelemahan bung, tapi bung harus melawannya, harus!”

“Kemudian ia, sang sutradara itu, mulai bercerita bagaimana ia dulu sebagai anak tani miskin diejek-ejek oleh anak-anak borjuasi kota. Dia selalu disoraki dengan ‘kampungan’, pada mulanya ia merasa kecut juga, tetapi kemudian mulai melawannya. Pertama-tama ia harus melawannya melalui dalam diri sendirinya dulu. Kemudian dengan bantuan teman-teman, ia telah berhasil keluar dari kegelapan yang tak berpengharapan itu.”

“Bung lihat, saya penggembira sekali sekarang, walau pakaian saya tambalan dan sering-sering harus tidak makan,” katanya.

Aku menghela napas, seakan-akan telah melepaskan beban yang teramat berat.

“Sejak itu saya tanpa terasa diseret mereka untuk mempunyai sikap, mempunyai kepribadian, mempunyai pengharapan dan menganggap diri juga menusia berharga yang berhak hidup dan berhak mempunyai hari depan. Paman lihat, saya sekarang penggembira dan lincah, seakan-akan saya dilahirkan sebagai seorang penggembira, seorang yang lincah.”

Aku menghabiskan ceritaku disitu. Suasana menjadi hening. Paman tertunduk sebagai arca. Tiba-tiba sesuatu perasaam ganjil menyerangku dan tiba-tiba dengan meminta perhatian berkata:

“Apakah salah saya, paman, jika saya menaruh simpati pada orang-orang komunis dan menaruh simpati pada Karl Marx? Salahkah saya, paman, jika terlebih-lebih lagi saya menjadi seorang Marxis sejati, menjadi komunis yang setia?”

Paman tidak mengangkat kepalanya. Hening, hening sekali, sedang aku menanti sebuah jawaban, atau sebuah ucapan darinya lama sekali. Ketika ucapan itu:

“Kau tidak salah. Kamilah yang salah, karena kami tidak memahami penderitaanmu. Terlebih-lebih karena tidak memahami perkembangan yang terus berjalan tanpa stop. Kamilah yang salah, yang tertambat pada masa lampau yang kuno.”

Dia berdiri dari korsi. Tanpa disengaja, tangannya mampir ke sudut mata kanannya, kutaksir ia meraba air matanya.

“Seperti kuharapkan kau sudah berubah, Ismet. Kau sekarang gunung karang. Kau akan menjadi besar, karena kau menaruh pengharapan untuk menjadi orang besar, terlebih-lebih karena kau berkeinginan menjadi orang besar. Aku gembira sekali.”

Paman hendak beranjak, tapi tak jadi:

“Dan jika kau benar komunis, jadilah komunis yang sadar, tidak ikut-ikutan, Ismet.”

Ingin aku mengucapkan, “Ya, paman,” tapi tak jadi karena ia telah lenyap dalam kamarnya.

***

Pagi besoknya, ibuku cuma melepaskanku di depan pintu rumah. Kulihat ia semakin tua, tapi matanya tidak semenderita dulu. Betapa kasihnya aku padanya, betapa inginnya aku menunjukkan kasihku itu, tapi betapa tak sanggupnya aku. Semoga ia dapat merasakannya.

“Mak, saya minta diri.”

Perempuan tua ini masih keras seperti dulu, tak kulihat keharuan perpisahan. Tapi tangannya yang kusalam dan matanya yang kutatap, kurasakan betapa beratnya ia melepaskanku.

“Senang-senangkanlah hati Mak, jangan dibawa bersusah,” kataku lagi.

“Kaupun demikian. Senang-senangkanlah hatimu, maafkan aku jika aku kurang sempat memperhatikanmu.”

“Ah.”

“Jangan bantah,” sanggah ibu sambil menutup mulutku. Semua telah kudengar tadi malam dalam percakapanmu dengan pamanmu. Ada kudengar kalian menyebut-nyebut ‘kominis’, apakah benar kau sudah jadi kominis, Ismet?”

Ibu memandangku, aku memandang paman yang juga memandangku berisyarat. Berat aku bersuara, lama aku terkaku-kaku. Akhirnya aku cuma menggeleng.

“Kau bohongi aku, nak,” keluhnya kecewa.

“Tapi itu kutahu karena kasihmu padaku.”

Ibu memandangku dalam, pandang yang tidak kumengerti, dan alangkah tersiksanya aku oleh ketidakmengertianku itu.

“Telah kutimbang, telah kupikir-pikir tadi malam semalam suntuk. ‘Anakku seorang kominis’. Aku menangis, kemudian menimbang-nimbang. Menangis lagi dan meninmbang-nimbang lagi. Ketika fajar barulah pikiranku terbuka, barulah aku bisa mengambil suatu keputusan. Kuserahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Adil. Kuserahkan segalanya kepada Tuhan. Tuhan-lah yang berhak mengadilimu, bukan aku, sekalipun aku ibumu.”

Tak kutahu perasaan apa yang bergalau dalam dadaku. Entah gembira, entah sedih, entah terharu, sehingga aku teroaku saja pada tanah yang kupijak, sedang sebenarnya ada sesuatu yang hendak kulakukan. Akhirnya aku dan ibu cuma berpandang-pandangan.

“Mak…” itu saja yang keluar dari mulutku.

“Pergilah, nak.”

Dipandanginya aku seperti untuk penghabisan kalinya. Cepat kubalikkan basanku, tiba-tiba terhenti oleh suara ibu yang berkata:

“Kominis pun kau, Ismet, jangan tinggalkan sembahyangmu.”

Tak kujawab, tapi kuanggukkan kepala lambat-lambat, kemudian segera meninggalkan mereka tanpa menoleh sekalipun.

“Kuatkan hatimu, Ismet,” kataku pada diri sendiri. [ ]

No comments: