Lukisan karya Hendra Gunawan |
Mulai
hari itu suasana rumah sudah tidak enak lagi. Kepingin sekali aku cepat-cepat
kembali ke Jakarta, selesai segala soal. Dengan paman aku bicara seperlunya
saja. Sering kulihat ia termenung berpikir-pikir. Besoknya aku menjemput ibuku
ke kampung. Pada mukanya aku melihat kecerahan dan kegembiraan. Sungguh mati
aku tidak ingin mengganggu kegembiran yang dalam umurnya setua itu jarang
diperolehnya.
Tapi
andaikata ia tahu, barangkali dari paman, bahwa aku seorang komunis, alangkah
kejamnya aku menyiksanya. Oleh karena itu, selalu aku mengelak diri dari
pembicaraan tentang komunis. Untuk menyenangkan hati ibu, aku rajin sekali
sembahyang, walau siapa pun dalam keluargaku tahu bahwa sembahyang selalu
kuingkari sejakku kecil. Ibuku gembira sekali jadinya. Sebaliknya, paman Hasan
cuma senyum-senyum sumbing. Benar-benar kepulanganku sekali ini sangat
menyiksa.
Itulah
makan malamku yang terakhir bersama paman Hasan. Kugenggam segenggam besar nasi
putih dan kuletakkan di piring kosong. Ke atasnya kutuangkan kuah yang
bermanik-manik karena lemak. Kujangkau sepotong paha ayam goreng, kugigit
sedikit, kemudian kuletakkan dipiring. Aku mulai menyuap. Tapi sangkut. Segera
kudorong dengan teh. Demikianlah, kusuap dan kudorong nasi itu dengan teh
berkali-kali, sampai nasi dipiring terhabiskanku.
Ketika
aku memasukkan tanganku ke basuhan, kediaman yang kaku dari tadi, tiba-tiba
dipecahkan oleh suara paman Hasan yang parau dan dingin.
“Sedikit
sekali kau makan.”
“Sudah
kenyang.”
“Dengan
nasi yang sesedikit itu?”
“Sudah
kenyang.”
Sambil
terus mengunyah, dikerlingnya piringku:
“Habiskan
ayam itu.”
Kuangkat
paha ayam goreng itu, kugigit sekali, kemudian kuletakkan kembali di piring.
“Tak ada
selera,” kataku sambil menghembuskan napas.
“Karena
hendak kembali ke Jakarta besok pagi?”
Pertanyaan
itu tidak segera kujawab, karena aku sendiri tidak tahu mengapa aku gundah dan
seleraku hilang.
“Barangkali
juga,” kataku sekedar tidak diam saja.
Percakapan
putus di situ. Paman terus mengunyah, lahap sekali. Memang ia tukang makan
nomor satu. Ketika ia menjangkau ayam goreng yang terakhir dari yang tadinya
menggunung di piring, ia mengiringinya dengan komentar:
“Hidup
untuk makan.”
Aku
hendak mengomentarinya, tapi tak jadi. Ada sebenarnya yang hendak kukatakan
padanya, tapi aku masih takut. Dia membasuh tangannya, menglapnya kemudian,
mengambil sebatang cerutu Havana, lalu menghembus-hembuskannya.
“Ada
yang hendak saya katakan pada paman,” kataku tiba-tiba.
“Katakanlah,”
jawabnya singkat.
Tapi aku
diam dan ia pun tidak menantinya tampaknya.
“Apakah
paman marah sama saya?”
“Apa
hakku?”
“Saya
menganggap paman sebagai pengganti ayah saya sendiri.”
Ada
tersentuh hatinya oleh kalimatku itu.
“Saya
berterimakasih pada paman. Paman telah mendorong saya maju. Tanpa paman saya
telah menjadi seorang yang tak ada harga. Pengecut, rendah diri, tak
berpengharapan.”
Dia
macam tidak mendengarkan, tapi aku tahu pasti ia mendengarkan.
“Paman
tahu, begitu ayah meninggal, Mak mendapat gangguan darah tinggi. Sejak waktu
itu demi tak terganggunya sekolah saya, saya dititipkan pada kak Minah, kakak
suami kak Ratna almarhum. Di sana saya tak mendapat perhatian sepenuhnya, saya
dianggap anak tiri di antara anak-anaknya. Saya makan makin jelek dan paling
sedikit, tapi saya harus mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang paling banyak.
Hidup saya tertekan karena pembedaan-pembedaan ini. Masih paman ingat ketika
saya melarikan diri dan tidak bersedia kembali lagi pada kak Minah?”
Paman
masih diam, cerutunya berasap terus.
“Setelah
itu, setelah paman pindah ke kota, saya tinggal bersama paman. Keadaan saya
lebih baik, tetapi saya masih belum dapat melepaskan diri dari anggapan bhwa
saya menumpang hidup pada orang lain, pada seseorang yang bukan ayah ibu saya
sendiri. Saya hidup dari kasihan orang lain, walaupun orang itu seorang paman
atau abang.”
Aku
menatap paman ingin melihat reaksinya, tapi ia masih dalam sikap seakan-akan
acuh tak acuh.
“Paman
masih mau mendengarkan?”
“Teruskan.”
“Setelah
itu saya tinggal bersama paman Ali. Masih tetap saja tidak bisa melepaskan diri
dari masa lalu yang tertekan yang betul-betul memukul jiwa muda saya yang
rapuh. Saya tidak lama tinggal bersama beliau, saya kembali pada paman lagi, yang
saya anggap serasi. Tapi pemberontakan Darul Islam telah mengusir guru-guru
sekolah keluar daerah, sekolah saya terbengkalai. Saya pindah ke Jakarta dan
menetap bersama abang Ali yang baru saja kawin dengan kak Ati, oleh karena itu
saya mematuhi apa saja yang dikatakannya.”
Aku
menghela napas berat dan merasa sedih sendiri.
“Kemudian?”
paman Hasan untuk pertama kali menyela.
“Paman
tahu sendiri bukan? Saya mulai diperkudanya, saya dianggap babu dan jongosnya
sekaligus. Abang Ali, demi cintanya, diam saja. Saya sangat tertekan.
Penindasan jiwa dulu ditindih pula dengan penindasan jiwa baru. Masa remaja
saya tidak saya kecap sebaik-baiknya. Kegembiraan muda saya lenyap dan saya
tenggelam dalam kesedihan, kegelapan, hina diri, tanpa harga diri.”
Kuangkat
mukaku dan kupandang paman Hasan, kurasakan pandang kasih sayangnya yang pernah
selalu kuterima. Aku mencoba manahan air mataku.
“Hal ini
berakhir ketika abang Ali dan istrinya pindah kemari. Saya pun pindah ke Medan.
Di sanalah saya mulai kenal dengan komunisme, dengan PKI. Saya menumpang di
rumah seorang kader atas PKI. Suatu kali dia bertanya kepada saya, mengapa saya
selalu murung, penyendiri dan pemalu.
“Anak
muda harus banyak bergembira,” katanya.
“Belum
pernah saya menerima perhatian sedemikian baik di luar keluarga saya. Saya tak bisa
berbohong, bahkan tak ada seorang anggota keluarga kita yang bisa memahami saya
seperti dia. Paman sendiri tidak sebegitu memahami saya seperti dia.”
Kulihat
paman mengangguk.
“Sejak
itu saya sering diajaknya menghadiri pertemuan-pertemuan, melihatnya berpidato
di depan massa banyak, tidak seperti seorang bapak menggurui anak buahnya, tapi
seperti seorang sahabat karib yang lebih berpengetahuan. Saya melihat bagaimana
dia dikritik anak buahnya dan kemudian mengeritik dirinya sendiri atas
kesalahan-kesalahannya. Bukan hanya itu, ia malah memperbaikinya segera sesudah
hari itu. Saya melihat bagaimana mereka menghentikan merokok karena mau
membantu keluarga temannya yang dipenjara karena kaum tani yang dirampas
tanahnya.”
Paman
mematikan cerutunya, kemudian menukarnya dengan batang yang lain.
“Suatu
kali, karena saya manaruh perhatian pada soal-soal kesenian, mereka mengajak
saya turut dalam sebuah pementasan drama. Mereka minta saya memerankan seorang
tokoh. Pada sutradaranya saya katakan bahwa saya seorang penggugup dan melihat
orang ramai seperti melihat hantu. Saya menduga mereka mentertawakan saya, tapi
dugaan itu meleset.”
“Apa
jawab mereka? ‘Bung tidak boleh menyerah pada kelemahan-kelemahan bung, tapi
bung harus melawannya, harus!”
“Kemudian
ia, sang sutradara itu, mulai bercerita bagaimana ia dulu sebagai anak tani
miskin diejek-ejek oleh anak-anak borjuasi kota. Dia selalu disoraki dengan
‘kampungan’, pada mulanya ia merasa kecut juga, tetapi kemudian mulai
melawannya. Pertama-tama ia harus melawannya melalui dalam diri sendirinya
dulu. Kemudian dengan bantuan teman-teman, ia telah berhasil keluar dari
kegelapan yang tak berpengharapan itu.”
“Bung
lihat, saya penggembira sekali sekarang, walau pakaian saya tambalan dan
sering-sering harus tidak makan,” katanya.
Aku
menghela napas, seakan-akan telah melepaskan beban yang teramat berat.
“Sejak
itu saya tanpa terasa diseret mereka untuk mempunyai sikap, mempunyai
kepribadian, mempunyai pengharapan dan menganggap diri juga menusia berharga
yang berhak hidup dan berhak mempunyai hari depan. Paman lihat, saya sekarang
penggembira dan lincah, seakan-akan saya dilahirkan sebagai seorang
penggembira, seorang yang lincah.”
Aku
menghabiskan ceritaku disitu. Suasana menjadi hening. Paman tertunduk sebagai
arca. Tiba-tiba sesuatu perasaam ganjil menyerangku dan tiba-tiba dengan
meminta perhatian berkata:
“Apakah
salah saya, paman, jika saya menaruh simpati pada orang-orang komunis dan menaruh
simpati pada Karl Marx? Salahkah saya, paman, jika terlebih-lebih lagi saya
menjadi seorang Marxis sejati, menjadi komunis yang setia?”
Paman
tidak mengangkat kepalanya. Hening, hening sekali, sedang aku menanti sebuah
jawaban, atau sebuah ucapan darinya lama sekali. Ketika ucapan itu:
“Kau
tidak salah. Kamilah yang salah, karena kami tidak memahami penderitaanmu.
Terlebih-lebih karena tidak memahami perkembangan yang terus berjalan tanpa
stop. Kamilah yang salah, yang tertambat pada masa lampau yang kuno.”
Dia
berdiri dari korsi. Tanpa disengaja, tangannya mampir ke sudut mata kanannya,
kutaksir ia meraba air matanya.
“Seperti
kuharapkan kau sudah berubah, Ismet. Kau sekarang gunung karang. Kau akan
menjadi besar, karena kau menaruh pengharapan untuk menjadi orang besar,
terlebih-lebih karena kau berkeinginan menjadi orang besar. Aku gembira
sekali.”
Paman
hendak beranjak, tapi tak jadi:
“Dan
jika kau benar komunis, jadilah komunis yang sadar, tidak ikut-ikutan, Ismet.”
Ingin
aku mengucapkan, “Ya, paman,” tapi tak jadi karena ia telah lenyap dalam
kamarnya.
***
Pagi
besoknya, ibuku cuma melepaskanku di depan pintu rumah. Kulihat ia semakin tua,
tapi matanya tidak semenderita dulu. Betapa kasihnya aku padanya, betapa
inginnya aku menunjukkan kasihku itu, tapi betapa tak sanggupnya aku. Semoga ia
dapat merasakannya.
“Mak,
saya minta diri.”
Perempuan
tua ini masih keras seperti dulu, tak kulihat keharuan perpisahan. Tapi tangannya
yang kusalam dan matanya yang kutatap, kurasakan betapa beratnya ia
melepaskanku.
“Senang-senangkanlah
hati Mak, jangan dibawa bersusah,” kataku lagi.
“Kaupun
demikian. Senang-senangkanlah hatimu, maafkan aku jika aku kurang sempat
memperhatikanmu.”
“Ah.”
“Jangan
bantah,” sanggah ibu sambil menutup mulutku. Semua telah kudengar tadi malam
dalam percakapanmu dengan pamanmu. Ada kudengar kalian menyebut-nyebut
‘kominis’, apakah benar kau sudah jadi kominis, Ismet?”
Ibu
memandangku, aku memandang paman yang juga memandangku berisyarat. Berat aku
bersuara, lama aku terkaku-kaku. Akhirnya aku cuma menggeleng.
“Kau
bohongi aku, nak,” keluhnya kecewa.
“Tapi
itu kutahu karena kasihmu padaku.”
Ibu
memandangku dalam, pandang yang tidak kumengerti, dan alangkah tersiksanya aku
oleh ketidakmengertianku itu.
“Telah
kutimbang, telah kupikir-pikir tadi malam semalam suntuk. ‘Anakku seorang
kominis’. Aku menangis, kemudian menimbang-nimbang. Menangis lagi dan
meninmbang-nimbang lagi. Ketika fajar barulah pikiranku terbuka, barulah aku
bisa mengambil suatu keputusan. Kuserahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha
Tahu dan Maha Adil. Kuserahkan segalanya kepada Tuhan. Tuhan-lah yang berhak
mengadilimu, bukan aku, sekalipun aku ibumu.”
Tak
kutahu perasaan apa yang bergalau dalam dadaku. Entah gembira, entah sedih,
entah terharu, sehingga aku teroaku saja pada tanah yang kupijak, sedang sebenarnya
ada sesuatu yang hendak kulakukan. Akhirnya aku dan ibu cuma
berpandang-pandangan.
“Mak…”
itu saja yang keluar dari mulutku.
“Pergilah,
nak.”
Dipandanginya
aku seperti untuk penghabisan kalinya. Cepat kubalikkan basanku, tiba-tiba
terhenti oleh suara ibu yang berkata:
“Kominis
pun kau, Ismet, jangan tinggalkan sembahyangmu.”
Tak
kujawab, tapi kuanggukkan kepala lambat-lambat, kemudian segera meninggalkan
mereka tanpa menoleh sekalipun.
“Kuatkan hatimu, Ismet,” kataku pada diri sendiri. [ ]
No comments:
Post a Comment