Lukisan karya Hendra Gunawan |
Hari
masih pagi, jam sepuluh pagi, ketika aku sampai. Seperti dulu-dulunya, angin
bertiup santar dari sawah yang terhampar di punggung rumah. Rumah itu seperti
dulu-dulunya juga, doyong ke depan, karena setiap hari ditiup angin. Lain dari
dulu, rumah itu semakin lapuk juga, seperti juga penghuni-penghuninya, ibuku.
Kudorong daun pintu yang itu-itu juga, tetapi seperti dulu-dulu juga, kosong
melompong jika hari masih pagi begini.
Menjelang
lohor, baru ibuku pulang dari sawah. Kurus, tua, dan menderita batin.
Sebelumnya telah kubayangkan bahwa ia akan menunjukkan kegembiraannya. Tidak
kuharap ciuman atau pelukan, karena itu bukanlah suatu kebiasaan perempuan tua
keras ini, tetapi barangkali sebuah kata “oh” atau senyuman yang sejuk. Tapi
yang kuharap itu pun tidak kutemui.
“Kapan
kau datang,” katanya, tidak mengandung suatu keharuan perjumpaan. Kusalam
tangannya yang berkerut sambil menatap matanya yang tua dan menderita. Di
tangan dan di mata itulah kurasakan getaran hangat kasih sayang seorang ibu.
Kasih sayang yang tak dinampakkan, tapi toh terasa. Betapa tuanya ia sudah.
Betapa kasihku padanya dan itu juga tidak ingin kunampakkan, tetapi kuharap ia
merasakannya.
“Tadi
pagi.”
“Dengan
apa?”
“Plane…
kapal terbang.”
“Kupikir
kau sudah tidak akan pulang lagi. Pamanmu bilang bulan Januari yang lalu.”
“Tak
jadi.”
Sepi.
Sepi yang menekan perasaan. Seperti dulu-dulunya kami sama-sama pendiam.
Hampir-hampir tak pernah berseloro. Layakkah ibu dan anak yang lima tahun tak
berjumpa lebih banyak diam daripada bicara? Ada soal jika kubuka akan
menimbulkan banyak pembicaraan, tapi justru itu yang tidak kumaui. Sangat
memalukan untuk diperkatakan, dan oleh karena itu akan sangat mendera ibu
nanti.
“Abangmu
bagaimana. Baik-baik saja?”
Pertanyaan
itu seperti petir di siang bolong menyambar dadaku. Ini yang tidak kumaui,
justru ini yang datang. Lama aku terbimbang-bimbang, tak tahu jawaban apa yang
harus kuberikan.
“Ya,
baik-baik saja,” jawabku akhirnya, enteng, sangat hati-hati. Kuusahakan agar
jawabanku, walau tidak mungkin sebagai air dingin, setidak-tidaknya janganlah
seperti bensin.
“Memalukan!”
tiba-tiba ia meledak.
“Setiap
orang di sini, di mana saja, di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat-tempat
penguburan dan perhelatan, selalu bertanya pura-pura tidak tahu: ‘Cutnyak, ke
mana Ampon Ali?’ Kau tahu apa jawabku? Terus terang saja: ‘Dia sudah hambus
bersama uang lima juta yang dicurinya dari bang!’”
Suara
itu lantang, bisa didengar dari jarak seratus meter. Suara itu tiba-tiba halus
dan merendah, tapi penuh kegemasan, barangkali juga kepiluan.
“Setelah
itu anjing kurap itu pun pergi. Dan yang menanggung malu? Aku! Ibunya, dan
pamanmu!”
Dia
berhenti, kupikir akan lama, tetapi:
“Belum
keturunanku menanggung aib sebesar ini,” lambat dan gemas. Tiba-tiba agak keras
dan dengan kegeraman:
“Keluargaku
bukanlah keturunan kepengan! Tetapi keluarga yang dihormati turun-temurun,
tempat orang bertanya dan mencontoh…Sekarang? Hancur berantakan. Hancur!”
“Bajingan!!”
satu-satunya kata yang keluar dari mulutku.
“Kalaulah
rasa-rasanya ia bisa kutelan, akan kutelan kembali!”
Ibu
terdiam sekarang. Kulihat matanya yang tua itu mengandung hiba. Dia membalik
untuk mengelakkan pandangku. Kemudian pelan-pelan menuju ke tengga, duduk
berjuntai di sana.
Abang
Ali memang selalu merepotkan orangtuaku, terutama ibu. Bakatnya yang aneh
memang sudah ditunjukkannya sejak kecil, Mencuri uang ayah, ibu, dan
kakak-kakakku, untuk kemudian tak muncul-muncul sampai uang itu ludas. Jika
kembali selalu ia didera dengan rotan belah empat, atau dimasukkan ke kakus dan
kandang ayam, tapi tak pernah jera.
Masih
untung otaknya cerdas, sehingga setelah tamat SMA disekolahkan di fakultas
hukum di Yogya. Tapi di sana apa yang diperbuatnya? Kawin dengan seorang gadis
beragama Katolik. Ini hampir-hampir membuat ibu gila. Orangtua alim, tapi
anaknya kawin dengan gadis Katolik. Tapi belakangan ini pun dimaafkan ibu,
terlebih setelah mereka pulang dan menetap bersama ibu.
Tetapi
belum setahun suasana agak tenang, tiba-tiba ia lari dengan membawa serta uang
lima juta yang digelapkan dari bank di mana ia bekerja. Ini sama dengan
menempelkan kulit babi di muka Muslim yang fanatik, bagi ibuku.
Kuperhatikan
ibu masih berjuntai di tangga. Sembunyi-sembunyi, ia mengambil ujung kainnya
dan digosokkannya ke matanya: ia menangis. Belum pernah kulihat perempuan tua
yang keras ini menangis. Selalu saja ia menyembunyikan kesedihan hatinya,
apalagi untuk menceritakan kesedihan itu pada orang. Jika ia menangis, selalu
saja berusaha untuk tidak diketahui orang.
Sesuatu
yang ganjil mengganjal kerongkonganku, mendesak-desak dan macam hendak
meledakkan dadaku, tapi itu kutahan sekuat tenaga. Tak mau aku secengeng itu di
depan ibu. Hendak kupeluk ia, tapi aku malu pada diri sendiri, seorang
laki-laki dewasa selemah itu. Kulihat kemudian ia pelan-pelan turun dan pergi
entah ke mana.
Tiba-tiba
ia naik lagi, membawa seberkas kayu api. Tanpa bicara sepatah pun, ia menjerang
air. Diambilnya beras, ditanaknya. Dipanasinya ikan dan sayur. Setelah itu
pergi ke lemari, kemudian melemparkan sehelai sarung ke pundakku. Aku bersalin.
Kemudian ia turun lagi, mengambil air sembahyang, naik lagi, lalu mulai
sembahyang.
Aku
berdiri di bendul pintu, ketika setelah selesai sembahyang tiba-tiba ibu
berkata:
“Kau
tidak sembahyang?”
Dulu-dulu,
aku diam saja jika ia bertanya tentang sembahyang, dan ia tahu betul diamku
berarti “tidak”. Itu dulu. Tapi sekarang aku tidak hendak menyakiti hatinya.
Kehendaknya itu kulakukan, setidak-tidaknya selama aku berada bersamanya.
“Saya
tidak dapat bermalam di sini, Mak,” kataku sorenya.
“Ada
tugas di kota. Kak Raniah dan juga terutama saya sudah barang tentu, meminta
Mak datang ke kota dan berada di sana selama saya di sini,”
Kunantikan
jawabannya, yang baru datang lama.
“Pekerjaan
sawahku belum selesai dan rambutan di kebun sedang ranum-ranum. Penjaga kebun
kita si Amat baru kembali dari rumah orang tuanya besok. Dia juga pencuri, tapi
lebih jujur sedikit dari orang-orang seluruh kampung ini. Datanglah besok sore,
menjemputku.”
***
Sepanjang
perjalanan kembali ke kota, percakapan dengan ibu saya yang menguasai pikiran
dan perasaan. Terjadi pertentangan dalam diriku, yang sedikit banyak telah
menyeretku dalam kebimbangan. Tak dapat kubayangkan, apa yang akan terjadi,
andai kata ibuku tahu apa dan bagaimana sesungguhnya aku. Terlalu ngeri bahkan
untuk membayangkannya.
Lampu-lampu
sudah menyala di tiang-tiang dan di rumah-rumah ketika aku sampai di kota. Ada
sesekali menyerempet kenangan-kenangan manis masa kecilku di kota kelahiran
ini, tapi itu segera lenyap dalam masalah yang sedang bertarung dalam diriku.
Ketika aku memasuki halaman rumah, setengah lusin kemenakan menyongsongku dan
memperebutkan oleh-oleh yang kubawa dari kampung.
“Ayah
telah datang,” kata seseorang yang tertua memberitakan.
Aku
segera menuju ke runag tengah. Di sana kutemui paman Hasan, rambutnya sudah
mulai memutih. Kusalam ia dengan hormat. Kupandang ia seperti memandang ayahku
sendiri. Terlalu banyak kebaikan yang telah dilimpahkannya kepadaku dan
saudara-saudaraku yang lain.
Pertama-tama
yang diberikannya ialah dorongan untuk maju, kepercayaan kepada diri sendiri
yang pernah tidak kupunyai lagi. Ini semua ditanamkannya padaku tanpa
bosan-bosannya. Tak usah kusebut bantuan-bantuan kebendaan yang diberikannya
tanpa reserve, tanpa mengharap balas, kecuali harapan agar dengannya aku dan
saudara-saudaraku memperoleh kemajuan.
“Kami
pikir sudah tidak jadi pulang kali ini,” katanya.
“Anak-anak
setiap hari bertanya kapan kau datang.”
“Rencana
semula gagal. Ini pun tertahan di Medan hampir sebulan, sukar sekali dapat
tiket.”
Setelah
makan malam, sekali ini aku lancar sekali berbicara dengannya. Tentang
pekerjaanku, studiku, organisasi, tentang situasi politik nasional dan
internasional. Dia berbicara tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai PKI
dewasa ini. Dia mengagumi kegigihan PKI dalam menentang “Peraturan 26 Mei”
dengan segala resiko-resikonya.
Dikaguminya
juga kelihaian pemimpin-pemimpin dan kader-kadernya dalam bekerjasama dengan
Presiden Sukarno dan dalam memimpin perkembangan, tuntutan Kabinet poros
Nasakom, tentang perselisihan PKUS dan PKT, dan berbagai soal lainnya.
Sebagai
bekas pemimpin partai terlarang di daerahku, soska, dalam beberapa bagian ia
menganalisa semua itu dengan tepat. Bagian-bagian yang salah dan kurang tepat,
aku dengan hati-hati sekali membantahnya. Kadang-kadang dibantahnya kembali
pendapatku itu dan mengemukakan pula analisanya yang lain.
Jika
tidak hati-hati bisa saja kita terjebak dan diseretnya kita dalam perangkap
pendapatnya. Tetapi analisanya itu pun kubantah pula, menjelaskan lebih dalam
lagi, kadang-kadang mendetil disertai contoh-contoh yang kugali dari
pengalamanku sendiri.
Demikianlah
seterusnya, sampai demi mempertahankan pendapatku, aku telah menceritakan apa
yang seharusnya tidak dibolehkan bagi kalangan luar. Aku sadar, ketika dengan
bijaknya ia berkata:
“Rupa-rupanya
pengetahuanmu tentang PKI dalam sekali…”
Aku
terjebak sudah. Tabir yang selama ini kupasang sudah kebobolan. Jika aku tidak
hati-hati, bisa aku telanjang bulat dibuatnya. Tapai apakah masih perlu aku
main gelap terhadap paman Hasan, satu-satunya anggota keluargaku yang paling
memahamiku?
“Itu
karena kau banyak bergaul dengan orang-orang PKI,” kataku masih mau menaburkan
tabir asap. Dia malah tersenyum bijak.
“Aku
banyak menerima pengaduan dari orang-orang yang datang dari Jakarta. ‘Kemenakan
saudara telah jadi komunis’, kata mereka kepadaku. Aku benci pada
pengadu-pengadu, oleh karena itu kepada salah seorang di antaranya aku berkata:
‘Setiap orang mempunyai perkembangannya sendiri-sendiri, sesuai dengan latar
belakang sosial dan lingkungannya’. Sejak itu orang itu tidak pernah datang
mengadu lagi padaku. Tapi sebaliknya ia mulai menyebarkan fitnah bahwa aku juga
sudah jadi komunis.”
Aku
tertawa.
“Bukankah
itu lucu? Setiap orang yang menggunakan otak, sedikit-sedikitnya setiap orang
yang menggunakan lebih banyak rasio, mereka tuduhkan komunis. Betul-betul
bodoh. Atau malah aku yang bodoh? Oleh orang-orang Masyumi aku dituduh komunis
dan oleh orang komunis aku dituduh Marxis munafik…”
Aku
ketawa lagi dan ia pun turut ketawa. Kemudian ia diam dan aku pun turut diam.
Tiba-tiba ia berkata, sangat sungguh-sungguh nampaknya.
“Sebenarnya
aku sangat setuju pada komunisme. Segala-galanya. Sayangnya mereka sama sekali
tidak mengenal moral, tidak mengenal kemanusiaan. Ini yang menahanku untuk jadi
komunis.”
Dia diam
lagi. Dan diam-diam ia memperlihatkan aku. Tiba-tiba ia berkata, tiba-tiba
sekali.
“Apakah
kau anggota PKI? Seorang komunis?”
Sudah
kuduga sebelumnya, bahwa ia akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Dan aku pun
sudah bertekad tidak boleh tidak, suatu kali aku akan menjawab dengan “ya”.
Tapi aku masih diam. Melihatku diam, dia berkata lambat-lambat:
“Waktu
sahabat-sahabat karibmu orang-orang komunis, tapi karena watakmu teguh, aku
percaya kau tidak akan menjadi seorang komunis. Bukankah demikian?”
“Ya,
paman,” kataku lambat-lambat dan tenang.
“Memang
kau bukan tampang seorang komunis.”
Dia
merasa bangga sekali dengan “penemuan”-nya itu.
“Ya,
paman. Saya seorang komunis. Anggota Partai Komunis Indonesia.”
Paman
Hasan mengangkat mukanya, memandangku seperti sebuah arca yang mencengangi masa
kini. Tiba-tiba ia ketawa terbahak-bahak, tawa yang sumbang, maka itu aku tidak
membalsa tawanya itu.
“Bukankah
itu lucu? Seorang yang bukan komunis mengaku diri komunis sekedar untuk melucu.
Sama lucunya seperti aku yang bukan komunis dituduh mati-matian komunis oleh
orang-orang goblok itu.”
Dia
ketawa terus, tawa sumbangnya, yang tiba-tiba terhenti karena aku memandanginya
seperti anak kecil masa kini mencengangi arca.
“Saya
bersungguh-sungguh, paman. Saya seorang komunis dan saya sudah mengangkat
sumpah untuk mencintainya dan membelanya dengan napas dan darah.”
Hening.
Hening sekali. Lambat-lambat ia bangun dan korsinya, mendekatiku seperti
seorang penuntut umum. Air mukanya kaku dan aku belum pernah melihatnya sejelek
itu.
“Katakan!
Katakan bahwa kau bukan seorang komunis,” katanya lambat-lambat menahan
kegeramannya. Aku benar-benar salah duga tentang kepahamannya terhadapku.
“Ya,
paman. Saya seorang komunis.”
“Katakan,
bahwa kau bukan seorang komunis.”
“Benar,
paman. Saya salah seorang anggota Partai Komunis Indonesia yang jutaan.”
Tiba-tiba
ia menumbuk meja dan ini telah membuat seluruh isi rumah mencengangi kami, tapi
segera menyingkir dipandangi paman.
“Katakan.
Ismet. Aku tak mau tahu apakah kau komunis atau bukan, tapi yang aku mau kau
membantahnya. Sebuah bantahan yang kuinginkan. Hanya bantahan!”
“Saya
seorang komunis, paman. Kalaupun saya membantahnya, paman tidak akan percya,”
jawabku lambat-lambat.
“Aku
sudah menduga bahwa kau pasti seorang komunis. Tidak bisa lain. Tapi biarkanlah
aku menduga terus tanpa aku menemui buktinya dan terlebih-lebih tanoa aku
mendengar pengakuan dari mulutmu sendiri. Itu sudah cukup bagiku untuk
mengaburkan kenyataan yang sangat mengerikan ini. Cobalah kau bayangkan, di
tengah-tengah keluarga kita yang dikenal pembela-pembela Islam, sebagai
keluarga beragama, terdapat seorang komunis. Dan justru kau, harapan keluarga
satu-satunya, yang melopori, yang menjadi komunis yang pertama dalam keluarga.”
Dahinya
berkeringat.
“Seorang
komunis. Mengerikan!” sambungnya lambat-lambat sekali.
Belum
pernah aku melihatnya sepengecut ini, dia yang kukagumi. Di matanya terkaca
kengerian yang amat sangat.
“Andaikan
Mak-mu mengetahui hal ini, kalau tidak mati seketika itu pula, ia akan gila.
Betul-betul gila! Abangmu kawin sama Katolik saja sudah membikinnya lebih dari
setengah gila. Kau lihat sendiri, dia cuma tinggal tulang belulang. Kasihanilah
ia, Ismet,” paman mengucapkan kata-kata ini dengan nada sedih dan putus asa.
Dalam
hati kecilku timbul sesal. Hanya sebuah bantahan, apa salahnya? Sebuah bantahan
sudah cukup membikin senang pamanku. Tapi alangkah susahnya bagiku mengucapkan
bantahan itu, terlebih-lebih terhadap paman seorang yang kusangka paling
memahamiku.
Terhadap
paman aku tidak bisa berbohong. Dan ibuku bagaimana? Paman benar, sedikitnya
ibu akan gila jika mengetahui secara pasti bahwa aku seorang komunis. Alangkah
bimbangnya aku, dan alangkah inginnya aku melarikan diri dari masalah yang
paling ruwet ini.
“Bukan kebiasaan turunan kita, paman, untuk menelan air ludah yang sudah diludahkan,” aku berkata tanpa sedar dan ini membuat paman meninggalkanku.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment