Sepanjang
jalan Paman Martil tak bicara. Dengan sendirinya saja kaki mereka melangkah ke
pondoknya kembali. Beberapa menit lagi berjalan, dan mereka akan sampai.
Kedua
bocah itu melihat darah mencoklati kemeja dekil Paman Martil pada bahu sebelah
kiri.
“Paman
terluka.”
“Hmm.”
“Kita
ini kalah apa menang, Paman?”
“Menang.”
“Mengapa
kita lari?”
“Karena
ada yang lebih penting dari perang.”
“Apa
itu, Paman?”
“Hmm.”
Mereka
berjalan beberapa menit lagi, kemudian sampai di rumah. Semua tetangga ternyata
keluar belaka dari rumah masing-masing. Ketiga-tiga orang prajurit penggempur
itu dengan diam-diam tanpa membalas pandang mereka masuk ke dalam rumah.
Paman
Martil tanpa menengok memasuki dapurnya, membongkar salah satu bagian dari
dindingnya. Ditariknya dari situ selembar bendera merah palu arit, diciuminya.
Kemudian dimasukkannya kembali ke tempat persembunyiannya. Dengan mata melotot
ia pukul-pukul kepalanya dengan tangannya yang kanan.
“Mengapa
kita lari?” ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Mengapa?
Tidak, kita tidak lari. Kita menang.”
Tiba-tiba
ia menyedari bahwa kedua orang bocah itu telah ada di hadapannya. Dan berbisik
ia pada mereka:
“Kita
menang, anak-anak, anak-anak proletar! Kita menang.”
“Tapi
kita lari,” salah seorang bocah itu menengahi.
“Kita
menang, karena kita sudah berhasil melawan, sudah melawan, sudah menembak
mereka.”
“Tapi
kita lari,” bocah itu mendesak lagi.
“Aku
sudah bilang, bukan menang berkelahi yang penting.”
Dan
waktu bocah-bocah itu tidak menyelanya lagi, Paman Martil meneruskan setengah
mendongeng:
“Kalau
aku tak lupa bawa bendera itu—ah, kalau saja aku tak lupa—bendera kita akan
berkibar sepanjang malam, sepanjang hari, untuk selama-lamanya. Mestinya hari
ini sudah dikabarkan di seluruh dunia: kaum Komunis Indonesia tancapkan palu
arit di atas kator tilpun Batavia.
Mestinya
mereka sudah tahu, kaum Komunis mulai bangkit, lakukan perlawanan senjata… Kaum
Komunis di seluruh tanah jajahan mestinya akan juga bangkit… kekuatan
imperialis-kapitalis internasional akan terpecah-pecah dalam ratusan, ribuan
front. Perang setempat-setempat akan terjadi di mana-mana. Dunia dengan keras
akan menju sosialisme. tapi bender itu—bendera itu!
“Mengapa
kita kembali lagi kemari, Paman?”
“Aku
bilang, ada yang lebih penting dari perang.”
“Tapi
kita sudah menang perang. Mereka banyak mati. Kita mestinya sudah punyai kantor
tilpun itu.”
“Aku
bilang ada yang lebih penting: menang yang lebih baik, tidak untuk satu-dua
jam, tapi untuk selama-lamanya. Kalian mengerti tidak?” belum sampai ia habis
bicara, badannya mulai menggigil-gigil.
Segelumbang
demam telah menyerang tubuhnya. Sekujur tubuhnya dirasai kini panas membakar.
Matanya berkunang-kunang. Terhuyung-huyung ia menuju ke bale. Kedua bocah itu
mencoba mencuci luka dan melepas kemejanya.
“Mereka
banyak mati, Paman kita cuma luka,” salah seorang di antara mereka berbisik
setengah berdoa.
“Jangan kelihatan orang darah itu.”
“Orang-orang sudah lihat tadi, Paman.”
“Sayang, jaga pintu, jangan sampai ada yang masuk.”
Seorang di antara dua bocah itu pergi berjaga di depan pintu sambil bersiul-siul.
“Aku ingin baca koran.”
Tiba-tiba bocah jaga berhenti bersiul. Dengan mata liar ia kembali den berbisik pelan:
“Ada serdadu-serdadu menuju kemari, Paman.”
“Sini semua!” perintah Paman.
Waktu kepala bocah itu telah mendekat, diusap-usapnya kepala mereka dan berbisik laksana mengucapkan mantra:
“Kalian anak-anak miskin, anak-anak Proletar, setialah pada asalmu. Sekarang, sekarang, pergilah kalian, dari pintu belakang sana, lari, lari, jangan kembai lagi. Selamat jalan, nak, anak-anak Proletar. Jangan lupa baca koran. Lari, lari cepat!”
Langkah sepatu serdadu-serdadu itu terdengar mendekat.
“Mana rumah binatang Komunis itu?!” seseorang berteriak parau.
Tak ada yang menjawab.
Anak-anak itu lari dengan berat hati.
Petak para tetangga terdengar mulai digeledah. Sepatu berat terdengar menedangi kaleng dan peti-peti kayu.
Lambat-lambat Paman Martil menggerakkan tangan-tangannya. Dikeluarkannya Vickers dari kantongnya. Senjata itu basah. Tangannya terluka dan bersama dengan Vicker-nya jatuh ke ambin. Ia menyesal anak-anak itu sudah tak ada untuk disuruhnya mengambil minyak tanah.
Tiba-tiba
kekuatan telah mendorongnya melompat turun dari ambil. Ia ambil minyak tanah
dan disiramkannya pada dinding, dan kemudian dinding itu dibakarnya. Digenggamnya
cepat-cepat senjatanya. Diambilnya bendera merah berpalu arit dari
persembunyiannya, diselendangkannya pada dadanya.
“Paman Martil! Rumahmu terbakar!” ia dengar tetangga sebelah berteriak.
Paman Martil lari keluar dapur, melaui kamar mandi kolektif, melompati got-got kakus, dan sampai di bawah pohon durian. Beberapa butir peluru mendesing di samping kupingnya.
Waktu ia sampai di balik batang durian, ia menginsafi bahwa sebuah sudut peluru telah mengurungnya. Ia tak dapat keluar dari sudut itu. Hanya batang durian itu saja tinggal jadi pelindungnya. Petaknya telah terbakar. Api cepat menjalar ke samping menyampingnya.
“Martil! Menyerah lu!” seseorang berseru.
Ia tahu benar, itulah suara bini tetangga sebelah sana yang telah menjadi pincang untuk selama-lamanya. Ia tunjukkan Vickers-nya pada bini Sarekat Hijau itu sambil mendoa:
“moga-miga pelurunya sudah kering.”
Tetangga itu sedang berdiri bertunjangan tongkat di samping rumah petaknya yang sedang menyala.
“Menyerah lu!”
“Mana
ada Komunis menyerah?!”
Seorang serdadu menembaki dari samping-menyamping.
“Komunis sudah kalah. Lu tahu sendiri.”
“Kita cuma latihan perang semalam.”
“Bajingan! Tembak!”
Berondongan peluru berhamburan. Juga Paman Martil menembak, tapi Vickers itu untuk selama-lamanya takkan berbunyi dalam tangannya. Ia menekan dan menekan pelatuk senjatanya.
“Dengar kalian coro dan babi Belanda! Tak ada cara Komunis menyerah!”
“Keparat!”
“Kalau semalam kantor tilpun bisa kami gasak, lusa Nederland sendiri tahu? Lusanya—seluruh imperialisme dunia. Otak kambing!”
Sebutir peluru menggores pipinya. Ia meliuk. Vickers-nya jatuh tanpa daya. Tembakan makin gencar, tapi ia tak mendengar sesuatu apa pun. Tubuhnya makin banyak ditembusi peluru, tapi sedikit pun ia tiada merasa lagi.
Waktu sebuah durian jatuh di dekat kepalanya, ia pun tiada berbuat sesuatu apa pun. Di sebelah sana menggeletak Vickers-nya yang basah dalamnya. Di bawah tubuhnya menongol tangkai martilnya. Tapi seluruh tubuhnya berselimutkan bendera merah palu arit, dan darahnya sendiri.
Jam sembilan lebih lima menit, pagi tanggal 13 November 1926, orang pertama yang merebut kantor tilpun Kota selama 4 jam dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia itu, gugur sebagai kader Komunis.
Untuk waktu lebih dua bulan di daerah Kota setelah itu terdengar nyanyian rakyat yang mengenangkan Paman Martil:
Dirampasnya kantor tilpun Kota Betawi
Bendera mau dipasang tertinggal di dapur
Kompeni ditembaki pada mati
Residen didrel lari bercirit kapur
Malam habis Paman turun sebrangi kali
Kompeni menguber pelor Paman habis basah
Ke dapur lagi Paman larikan diri
Ambil bendera teriak: “pantang menyerah”
Paman Martil itu dia namanya
Bertahan sampai napas penghabisan
Di bawah pohon durian dia binasa
Bendera dan badan menutup badan.
Pada tanggal 5 Januari 1927 keluar maklumat pemerintah Hindia: PKI dan organisasi massanya dinyatakan terlarang. Nyanyian itu padam waktu ternyata penyanyinya juga ditangkap dan dibuang.
5
Januari 1927 sudah lewat, namun tiada seorang pun tahu siapa sesungguhnya Paman
Martil.
Dan tak
ada yang tahu siapa dia, terkecuali bahwa dia adalah putra Rakyat yang setia.
(Tamat)
(Ditulis berdasarkan berita-berita dari “Sin Po” 1926-27, dan
beberapa interviu, tanpa mengurangi jasa pimpinan penyerbuan, yang terdiri dari
Idris, Rais, dan Nur).
1 comment:
wow, it is great imagination
Post a Comment