Subuh
hari jam tiga itu “Mariana Proletar” datang, setelah membangunkannya dengan
galah bambu panjang yang dicobloskan melalui lobang pintu.
“Tetanggamu
sebelah sana itu sedang duduk mengintip di bawah pohon di depan gang sana.”
Paman Martil
meluap mendengar berita itu.
“Hus,
jangan pergunakan senjata api. Bagianmu cuma sekitar 100 pelor.”
“Dia
akan intip kita.”
“Dia
sedang intip kita.”
“Biar
aku keluar dari pintu belakang. Biar aku kemplang otak-coronya itu.”
“Ya,
kemplang dia, asal jangan sampai mati.”
Paman Martil melompat, meninggalkan rumah dari
kamar belakang. “Mariana Proletar” menyanyi memanggil tetangga sebelah sana
untuk mendekati pintu dan mengintip. Dan perhitungan itu memang tidak meleset.
Sebentar kemudian terdengar batang bambu mendapat landasan batok kepala, dan
satu sosok tubuh rubuh sambil melenguh. Barulah “Mariana Proletar” menengok ke
belakang sambil tersenyum. Kemudian menghampiri pintu, dan bersama Paman Martil
menyeret tubuhnya masuk ke dalam rumah.
“Begini
tampangnya coro Belanda,” Paman Martil berbisik.
“Sayang
sekali tampang sebagus ini.”
Setelah
berunding didapatkan kata sepakat untuk mengantarkan orang pingsan itu ke depan
pintu rumahnya sendiri, setelah mengalunginya dengan kardus yang telah ditulisi
dengan “Nasib Sarekat Hijau, coro Belanda”. Tubuh itu mereka buat demikian rupa
sehingga berdiri tegak bersandar pada pintunya sendiri sambil menghisap rokok
kretek. Kalau nanti istrinya menjerit, itulah tanda pintu dibuka, dan tubuh
yang belum tentu akan hidup itu akan menjatuhinya.
Kedua-duanya
telah mandi keringat.
“Hari
hampir siang.”
“Itulah
hari kita.”
“Makin
banyak orang kita tertangkap.”
“Kita
sudah akan bergerak.”
“Kapan?”
“Hati-hati.
Kita sudah kebocoran. Pos kita di Gambir telah digulung semuanya. Dua puluh
satu orang ditangkap hari kemarin.”
“Misnan
tertangkap?”
“Ya,
sudah mati tadi sore.”
“Mati?”
“Siapapun
akan mati diinjak-injak polisi satu seksi.”
“Kopral
Masdi, bagaimana bantuannya?”
“Celaka,
Til, seminggu yang lalu dia sudah dipindah ke Malang.”
“Iblis.
Bagaimana pimpinan tertinggi kita?”
“Komando
sudah diberikan. Jangan tidur malam-malam dalam seminggu ini, Til. Jangan
sampai tertangkap. Kau tak usah pergi. Dia akan pingsan dalam seminggu ini,
tetanggamu itu.”
“Paman
‘Mariana Proletar!’” salah seorang di antara kedua bocah itu menegur dengan
suara masih mengantuk.
“Paman
Proletar” melompat, keluar cepat-cepat dari pintu, kemudian menerobosi embun
pagi.
Tak
lebih dari 17 jam kemudian “Mariana Proletar” mengetuk pintu dan dengan mata
terbelalak menyeret Paman Martil yang sedang melamun di atas ambinnya.
“Cepat,
ayo.”
Paman
Martil melompat, kemudian menyumbat mulut “Mariana Proletar” dan berbisik:
“Ada
tiga orang Sarekat Hijau menjaga rumah tetangga sana. Coro itu sudah diangkut
ke rumah sakit sepagi.”
“Goblok!
Apa kau tak tahu empat rumah sudah terbakar di empat penjuru kota?”
“Ha?”
Cepat-cepat
diambilnya Viskers itu dari atas penglari dan dan dimasukkan di dalam kantong
celananya.
“Bagaimana
anak-anak itu? tanya “Mariana Proletar”.
Tapi
sebelum matanya sampai kepada kedua orang bocah itu, mereka telah bangun dan
bersiap-siap.
“Barangkali
kita takkan kembali kemari, mari berangkat.”
Mereka
berangkat memasuki malam, memasuki awalnya hari esok.
“Apa?
Anak-anak juga dibawa?”
“Mengapa?
Mereka harus juga belajar membenci.”
“Begitu
kecil.”
“Mereka
telah menanggungkan apa yang kita selama ini tanggungkan.”
“He,
anak-anak, kalian mau ikut ke mana?”
Tapi
Paman Martil telah lari mendahului mereka.
Kebakaran
di empat penjuru malam itu memucatkan langit. Orang-orang kampung keluar belaka
dari rumahnya dan menuju tempat kebakaran. Jalan-jalan menjadi ramai. Lonceng
pemadam kebakaran antara sebentar membikin udara menjadi kering.
Di satu
dua tempat terdengar tembakan pestol.
Rombongan
“Mariana Proletar” dan Paman Martil makin lama makin menjadi besar. Beberapa
orang yang berjongkok di bawah-bawah pohon jalanan berdiri waktu ia lewat
dengan selendang merah terkalung pada lehernya. Mereka mengikuti di belakangnya
dengan diam-diam. Ternyata “Mariana Proletar” seorang pemimpin penyerangan di
daerah Kota.
“Martilnya
kau bawa?” ia tanya pada Paman Martil.
“Milikku
cuma dua, kan? Kau tahu sendiri: impian hancurkan Belanda dan martil.”
“Sudah
seribu kali aku dengar.”
“Untuk
apa kau tanyakan?”
“Lebih
baik kau ikut dengan rombongan lain. Kita harus bareng menyerang. Hancurkan
kantor tilpun Kota.”
“Berapa
orang bersama aku?”
“Empat
puluh.”
“Mariana
Proletar” memberikan kepada Paman Martil tiga buah mercun celurut. Kemudian
berbisik:
“Kau
bawa geretan?”
Paman
Martil berdehem sebagai jawaban.
“Bakar
semuanya kalau kau telah hancurkan pesawatnya. Nah, berangkatlah dulu.”
Bondongan
orang menuju ke jurusan-jurusan kebakaran yang belum juga reda. Dan bondongan
Paman Martil bergegas menuju ke arah kantor tilpun Kota. Dua bocah, yang tak
ketahuan siapa rahim yang melahirkannya itu, menguntit di belakangnya.
Rombongan
itu memasuki pekarangan kantor tilpun. Tidak dijaga. Seorang opas duduk
menghadapi cangkir kopi pada meja jaga. Melihat orang banyak datang ia tertawa
girang dan berseru:
“Wah di
sini nggak ada kebakaran, Mang. Sana, sana,” ia menunjuk sekena-kenanya. Tapi
waktu ia melihat wajah orang-orang yang mendatangi itu begitu
bersungguh-sungguh ia terdiam.
Seseorang
mengambil cangkir kopi dan melemparkannya pada mukanya.
“Tuan lu
ada?” seseorang meraung.
Opas itu
menggigil:
“Kagak
ada,” jawabnya.
“Siapa
yang ada?”
“Cuma
tuan-tuan telefonis dan mandor kantor,” dengan suara terus menggigil.
“Ayo,
maju di depan, antarkan kami padanya.”
Dengan
kaki goyah opas itu berjalan di depan, menaiki jenjang dan memasuki ruangan
wisselbord. Paman Martil berteriak:
“Semua
yang di sini berdiri!”
Melihat
orang begitu banyak masuk dengan sikap mengancam, beberapa orang telefonis
berdiri menggigil. Seorang pensiunan serdadu, berkumis bapang terpilin ke atas,
memaki dari sebuah pojokan:
“Apa
ini? Bandit-bandit? Ayo pergi, sebelum aku panggilkan polisi.”
“Anjing
Belanda!” Paman Martil meraung.
“Lu mau
apa?” sambil menghampiri mandor kantor di pojokannya.
Tapi
sebentar kemudian Paman Martil meliuk dan menjelempah di lantai geladak loteng.
Sebuah tinju telah mengemplangnya tanpa diduga-duga. Waktu ia bangun mandor itu
telah menjelampah di geladak yang sama—kena keroyokan 40 orang.
“Babi
Belanda!” Paman Martil memaki.
“Stop.
Biarkan babi anjing itu. Dengan satu orang masih hidup udara toh takkan habis.
Hancurkan semua pesawat!”
Dengan
kursi, dengan segala benda yang bisa dipergunakan alat-alat kantor tilpun itu
pun dirusakkan. kabel-kabel dibetot. Di sana-sini nampak percikan api listrik.
Dan gedebak-gedebuk 40 orang di atas geladak loteng itu nampak begitu mawut di
bawah listrik laksana kemidi putar.
“Ada
polisi datang!!” si bocah berteriak.
Gedebak-gedebuk
tiba-tiba berhenti. Mantor kantor yang tak dapat berdiri lagi karena patah
sebelah kakinya itu melirik ke kiri dan ke kanan sambil mengerang. Semua orang
menuju ke jendela, dan dengan mata curiga menembusi jarak di depan kantor yang
remang-remang diterangi lampu jalanan.
Benar.
Seorang polisi sedang lewat mengayuh sepedanya. Dengan sendirinya saja dari
setiap jendela yang menghadap jalan dimuntahkan peluru. Waktu polisi itu meliuk
kemudian jatuh dari sepedanya, semua orang sorak. Tapi polisi itu tidak mati.
Ia merangkak-rangkak, terlindung oleh pepohonan dan kaki lima, kemudian hilang
dari pemandangan.
Segera orang
meninggalkan jendela waktu terdengar mandor itu mengejek keras di antara
keluhannya:
“Kalian
mau berontak rupanya. Perang macam apa begitu itu?”
Seseorang
menginjakkan sandalnya pada mulut bekas serdadu itu, dan untuk waktu yang lama
orang itu tak bersuara lagi.
“Pasang
mercun!”
“Pasang
bendera.”
Mercun
pun dipasang, dan sebentar kemudian melesit ke udara meruntun-runtun.
“Mana
benderanya?”
“Siapa
bawa bendera kita?”
“Mardi.
Dia ikut rombongan lain.”
Paman
Martil terkejut. Ia ingat bendera belum dibawanya.
“Sialan.
Kita menang, bendera tak naik.”
Sekarang
mereka melepaskan lelah sambil menyanyi “Saya Mariana Proletar”. Mereka menari
dan berjingkrak. Tuan-tuan telefonis duduk di pojokan mengawasi.
“Ada
serdadu dataaang!” sekali lagi si bocah berteriak.
Nyanyian berhenti. Jingkrak dan tari padam.
“Pecahkan
kepala anjing-anjing Belanda itu kalau mereka melawan.”
Dari
bawah terdengar peluit serdadu ditiup.
“Itu dia
serdadu tangsi Kota. Ha, komendan Diemont sendiri yang datang. Biar kita hajar
mereka. Jam kantor memukul lagi. Jam 02.30 tepat.”
“Mereka
mulai mengepung,” seseorang memberitakan.
“Biar
saja. Kita juga punya senjata api. Sama-sama punya. Biar saja.”
“Matikan
listrik!” Paman Martil memberi perintah.
Dalam
sekejap mata itu juga listrik padam.
“Dua puluh
orang turun ke bawah. Bunuh semua yang mencoba masuk. Hemat-hemat dengan pelor
kalian,” sekali lagi Paman Martil memberi perintah.
Dengan
sendirinya separoh dari pasukan itu pun turun ke bawah.
“Siapa
yang pakai pakaian putih-putih di depan Diemont itu? Ha? Residen Betawi
sendiri? Terhormat betul kita nih!”
Residen
J. Ch. de Bergh itu maju ke depan. Dengan kedua belah tangan dicorongkan ia
berteriak-teriak parau:
“Turun!
Turun semua kowe! Serahkan golok kowe orang!”
Paman
Martil sengaja tertawa terbahak-bahak. Semua pun mengikuti tertawa
terbahak-bahak.
“Ikut
prentah tidak? Tidak ikut, serdadu tembak, ya? Turun lekas!”
“Tembak
saja, tembak saja,” orang-orang berseru-seru.
Para
serdadu dari tangsi Kota telah mulai mengepung dengan senapan tertuju ke kantor
tilpun. Komandan Diemont terdengar memberikan perintah: “Vuuur!”
Senapan
dari bawah berjederon, dan peluru berhamburan menghantami tembok kantor tilpun.
Pasukan Paman Martil bersorak dan membalas tembakan itu dengan tembakan pestol,
revolver, dan parabellum.
Dalam
rembang caya lampu jalanan nampak beberapa orang serdadu sempoyongan, dan
kepungan itu pun pecah berantakan. Berkali-kali peluit ditiup di bawah sana.
Beberapa orang serdadu digotong, dan akhirnya semua serdadu ditarik ke gedung
Chartered Bank, tepat di seberang kantor tilpun Kota.
“Mestinya
bank itu juga kita serbu.”
Tembak-menembak
telah berhenti. Tetapi dari suatu jarak—pastilah itu dari sekitar penjara
Glodok—tembak-menembak terdengar riuh. Caya merah yang dipancarkan oleh api
kebakaran telah lama padam.
Seorang
kepala panas—nampaknya seorang agen polisi yang kepingin dapat bintang tanjung
dari Belanda—seorang diri menyerbu ke halaman kantor tilpun.
“Babi
itu minta dibikin tertib rupanya,” seseorang menggerutu.
Paman
Martil mengeluarkan martil dari balik kemejanya. tapi martil itu kemudian
dimasukkannya kembali.
“Biar
dia sampai di depan pintu. Sediakan kursi. Jatuhi dia dengan kursi!”
Dan waktu polisi yang nampaknya tak tahan
hidup tanpa bintang tanjung itu sampai di depan pintu kantor, sebuah kursi jati
berat tepat mengenai bahunya, dan meliuk ia tak bangun lagi. Seseorang nampak
keluar dari kantor dan menghantamkan batu pada kepalanya. Mungkin ia tidak akan
bangun untuk selama-lamanya.
Satu jam
telah lewat. Serdadu-serdadu di seberang sana, di gedung Chartered Bank,
berkelap-kelip mengawasi kantor tilpun.
“Ayo
maju!!” pasukan pendudukan kantor tilpun itu berseru-seru menantang.
Nampaknya
serdadu-serdadu di sana itu tak tahan terkena provokasi, kemudian menyerbu
kembali. Mereka mendekat dan kian mendekat. Waktu sudah dekat benar orang pun
mulai menembak. Ternyata lebih separoh dari senjata pasukan pendudukan sudah
kehabisan pelor. Mereka yang ada di bawah mulai menembaki para serdadu. Yang
kehabisan pelor melempar-lemparkan barang apa saja. Beberapa orang serdadu
menjelampah lagi, dan mereka mundur lagi.
Waktu
sejam lagi keadaan tenang, langit telah mulai memucat. Paman Martil mulai menjadi
bimbang, apa akan jadinya 3 jam kemudian kalau hari menjadi siang? Ia
memerintahkan untuk siap-siap turun dari sebelah belakang melalui tali. Ia
memberi perintah mencari tali di gudang. Dan tali untuk turun dari jendela
belakang itu pun disediakan.
“Tantang
lagi mereka,” Paman Martil memberi perintah.
“Serdadu
apa itu!” seseorang memulai.
“Serdadu?
Uh, beraninya cuma sama ayam orang kampung. Ayo maju!”
Terkena
kembali oleh provokasi, serdadu-serdadu itu maju lagi. Tembakan yang
menyambutnya semakin berkurang. Lebih banyak barang-barang yang beterbangan.
Dan waktu barang-barang untuk dilemparkan habis, seseorang terdengar mengeluh:
“Tidak
punya peluru lagi kita.”
“Lemparkan
botol penghabisan.”
“Sudah
habis.”
“Lemparkan
mandor kantor tilpun itu.”
Dan
mandor yang sudah tak bisa bicara itu pun diangkat beramai-ramai dengan
aba-aba. Sebentar kemudian orang celaka itu telah melompati jendela loteng
tanpa semaunya sendiri, melayang sebentar di udara, dan dan jatuh menindih kaki
seorang serdsan.
“Turun cepat!”
Semua
orang memerosotkan diri dengan tambang, lari berantakan menyeberangi kali yang
dingin dan hitam. Juga dua bocah pengikut Paman Martil. Juga Paman Martil
sendiri. Mereka lari dan lari. Mereka lari tak tahu ke mana harus pergi.
Akhirnya pasukan itu bubar sendiri. Yang tertinggal adalah Paman Martil dan
kedua orang bocahnya.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment