14 January 2020

Soeria Kartalegawa, Menak Sunda di Pusaran Masa Peralihan


Kisah tentang Raden Adipati Aria Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa, mantan Bupati Garut (1929-1944) yang memproklamasikan Negara Pasundan. Ia sebagaimana beberapa orang leluhurnya, dikenal sebagai oportunis politik yang hidup di bawah lindungan ketiak Belanda. 

Pada 4 Mei 1947, bertempat di alun-alun Bandung, mantan Bupati Garut (1929-1944) Raden Adipati Aria Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa (selanjutnya ditulis Kartalegawa) memproklamasikan berdirinya Negara Pasundan. Ia didukung beberapa birokrat dan petinggi militer Belanda.

Keputusannya itu didorong salah satunya oleh sentimen kedaerahan atas dipilihnya gubernur Jawa Barat yang bukan orang Sunda secara berturut-turut, yakni Sutardjo Kertohadikusumo (Jawa) dan Datuk Djamin Sutan Maharaja (Minangkabau).

“Sampai-sampai Kartelagawa mempertanyakan apakah tidak ada satu pun orang Sunda yang pintar di Jawa Barat. Mengapa mesti orang Jawa?” tulis Agus Mulyana dalam Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (2018).

Sebelum proklamasi pendirian Negara Pasunda, Kartalegawa dan para koleganya terlebih dulu mendirikan Partai Rakyat Pasundan (PRP) pada November 1946. Kartalegawa tidak terpilih sebagai ketua partai, sebab di mata para petinggi Belanda yang menyokong gerakan tersebut, Kartalegawa adalah seorang pejabat yang tidak bisa dipercaya.

Hubertus Johannes Van Mook (Pemimpin NICA) dalam Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (1992) yang disusun oleh Helius Sjamsuddin dkk, menyebut Kartalegawa sebagai de corrupte figuur alias sosok yang korup.

Van Mook sebenarnya mempunyai gagasan untuk memecah posisi Republik dengan mendirikan negara-negara boneka yang bersatu di bawah sistem federal. Namun proklamasi Negara Pasundan yang dilakukan Kartalegawa dianggap terlalu buru-buru, sebab pihak Belanda masih ragu-ragu apakah ia bisa menjadi “wayang” yang andal atau sebaliknya.

Atas tindakannya tersebut, seperti dikutip Susanto Zuhdi dalam “Antara Sewaka dan Soeria Kartalegawa: Dinamika Politik Pemerintahan di Jawa Barat Pada Masa Revolusi Indonesia” (2017), Van Mook pun marah:

“Kamu bertindak seperti Hitler. Kamu telah membuat hal itu sangat menyulitkan saya berkenaan dengan Republik. Proklamasimu tidak mempunyai persiapan. Tanpa pembuktian bahwa orang Sunda mendukung PRP, kamu berbuat tidak baik dengan proklamasi itu. Kamu adalah lawan Republik dan telah membuat hal-hal sulit bagi kami.”

Negara Pasundan bikinan Kartalegawa memang minim dukungan. Sejumlah aristokrat Sunda menolak tegas negara tersebut. Wiranatakusumh V alias Dalem Haji yang mempunyai pamor besar di kalangan orang Sunda, menyebutkan bahwa Negara Pasundan yang diproklamasikan Kartalegawa tidak mempunyai dasar sejarah seperti perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bahkan seperti dikutip Agus Mulyana, atas nama keluarga Wiranatakusumah, sebanyak 12 orang yang saat itu menduduki jabatan penting, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno di Yogyakarta yang menyatakan bahwa keluarga tersebut menolak dengan keras Negara Pasundan, dan setia berdiri di bawah Pemerintahan Republik Indonesia.

Hal inilah yang kemudian membuat Sukarno tidak khawatir saat Wiranatakusumah V menjadi Wali Negara Pasundan jilid II yang didirikan berdasarkan Konferensi Jawa Barat. Justru yang ketir-ketir orang-orang Belanda sebab negara boneka mereka dipimpin oleh orang-orang yang pro-Republik.

“Orang Pasundan hanya mengenal satu negara yaitu Negara Republik Indonesia,” ucap R, Enoch, mantan pengurus Paguyuban Pasundan menanggapi kelakuan Kartalegawa.

Tokoh PSII Aruji Kartawinata menyakatan pendirian Negara Pasundan yang dilakukan Kartalegawa adalah nafsu setan belaka jika dilihat dari sudut keagamaan, sebab menurutnya Kartalegawa bertujuan untuk menegakkan kembali “Kedaulatan Orange” di Hindia Belanda.

Reaksi yang sama disampaikan juga oleh para tokoh Sunda yang lain seperti Ir. Djuanda, Otto Subrata, dan lain-lain. Bagi mereka, tindakan Kartalegawa tak lebih dari manuver seorang oportunis politik.

Sejumlah ejekan kemudian dilontarkan untuk mengutuk sikap Kartalegawa tersebut, seperti “NICA-Legawa”, “wayang yang dimainkan oleh Van Mook”, dan sebagainya.

Bahkan keluarganya sendiri pun menolak negara tersebut. Juhana Kartalegawa, anaknya yang tinggal di Tasikmalaya heran dengan sikap ayahnya yang berpihak kepada NICA, padahal sejak zaman kolonial ayahnya kerap berselisih paham dengan para pembesar Belanda.

Ibunya tak kalah berang. Sebagaimana dikutip oleh Helius Sjamsuddin dan kawan-kawan dalam Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (1992), ia pun melontarkan unek-unek dan kemarahannya:

“Uca (nama panggilan Soeria Kartalegawa), Ibu tidak mengerti kau berbuat yang bukan-bukan. Tak ingatkah kau kepada Ibu dan saudara-saudaramu sehingga kau memisahkan diri dari keluarga, Ibu dan saudara-saudaramu bahkan Mang Abas (bekas bupati Cianjur dan tinggal di Tasikmalaya) tidak menyetujui kau mendirikan Negara Pasundan.”


Hancur Lebur di Muka Umum

Selain penolakan dari keluarga dan sejumlah tokoh Sunda, mayoritas rakyat Pasundan pun tidak sejalan dengan Kartalegawa. Surat Kabar De Niewsgier seperti dikutip Agus Mulyana dalam Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (2018), melaporkan jalannya Proklamasi Negara Pasundan di Alun-alun Bandung.

Menurutnya suasana sepi. Masyarakat enggan menyambut. Proklamasi yang rencananya akan dilakukan pada pukul 08.00, terpaksa diundur karena kurangnya perhatian masyarakat. Pada pukul 08.30 yang hadir baru 1.500 orang yang dikerahkan dari daerah Kiaracondong dan Ujungberung. Banyak yang hadir adalah militer Belanda yang kemudian pergi meninggalkan lokasi.

“Saya meninggalkan lapangan itu, dan berjalan-jalan di tepi alun-alun, saya lihat banyak orang Sunda dengan tenang dekat tukang gunting rambut dekat pohon beringin, pada saat yang bersejarah bagi Pasundan itu,” tulis De Niewsgier.

Mereka seperti tak terganggu atau tak peduli sama sekali atas Proklamasi Negara Pasundan. Padahal saat itu sejumlah pengeras suara banyak ditaruh di sekitar alun-alun termasuk di beberapa restoran. Namun, rakyat tak peduli. Bahkan para pengguna jalan tak ada yang berhenti untuk sekadar menengok peristiwa tersebut.

Kejadian serupa terulang di Jakarta. Sepekan setelah proklamasi, Negara Pasundan mengadakan rapat umum yang bertempat di kebun binatang Cikini. Pramoedya Ananta Toer merekam peristiwa itu dengan cukup kocak dalam artikel bertajuk “Kalau Mang Karta di Jakarta” yang terdapat dalam buku Menggelinding 1 (2004).

Kedatangan Kartalegawa diiringi sejumlah propaganda heboh yang disebar di seluruh Jakarta. Namun, propaganda tersebut tak sehebat rapat umumnya yang berjalan mengecewakan.

“Yang hadir sebagian besar orang-orang perempuan udik yang didatangkan dari pinggiran kota Jakarta. Mereka lebih suka melihat binatang-binatang daripada pidato Mang Karta. Apalagi tempat hadirin yang disediakan di situ sangat becek,” tulis Pram.

Rakyat yang hadir kecewa. Mereka yang awalnya diiming-imingi akan ada pembagian beras justru dibagi semboyan dan bendera putih hijau (bendera Negara Pasundan) dan bendera merah putih biru milik Belanda. Tak hanya itu, mereka juga diberi teks proklamasi Negara Pasundan.

“Buset dah, katanya suruh lihat kebun binatang. Di sini membawa bendera. Mana bisa, Kranji bukan daerah Pasundan disuruh mengikuti Kartalegawa,” ucap seorang pemuda dari Kranji sebagaimana dikutip oleh Pram.

Kartalegawa dan orang-orang yang mendukung Negara Pasundan bahkan tak diacuhkan sama sekali oleh rakyat Bogor saat mereka melakukan kudeta di wilayah tersebut. Dengan dibantu seorang petinggi militer Belanda yaitu Kolonel Thompson, mereka menduduki sejumlah kantor pemerintahan dan berusaha menculik Residen Bogor, Mr. Supangkat.

“Kantor-kantor yang diduduki adalah kantor kabupaten, bank rakyat, kantor pos, kantor pembagian makanan, Kantor Sarekat Luas, Gaspi, Pajajaran, dan Stasiun Bogor. Kantor-kantor tersebut dikunci sehingga para pegawai tidak bisa masuk,” tulis Agus Mulyana.

Thompson menawarkan kepada Residen Bogor agar para pegawai kembali bekerja dengan syarat kantor-kantor tersebut diawasi oleh militer Belanda. Mr. Supangkat menolak, dan para pegawai pun enggan kembali bekerja sebelum tempat kerjanya dikembalikan kepada Republik.

Kondisi itu membuat Bogor sepi dan masyarakat setempat tidak suka dengan kudeta yang dilakukan Negara Pasundan dengan bantuan Thompson.

“Bahkan terdapat beberapa tukang andong menolak mengangkut orang Belanda atau penumpang yang menjadi anggota Partai Rakyat Pasunda,” imbuh Agus Mulyana.


Menak yang Kesiangan

Kartalegawa lahir di Garut pada 26 Oktober 1897. Ia menempuh pendidikannya ELS, HBS, dan Bestuur School. Pekerjaannya mula-mula menjadi kandidat amtenar Kabupaten Cianjur, Ajudan Jaksa, Asisten Residen Garut, Asisten Wedana Langkaplancar dan Ciamis, Asisten Wedana Kls. I Sukabumi, Asisten Wedana Soreang Bandung, Wedana Patih dan Wedana Bandung, dan Bupati Garut.

Sebagai seorang yang kenyang di dunia pangreh praja dan menak keturunan Kepala Penghulu Limbangan yang terkenal, yakni Haji Moehamad Moesa, Kartalegawa tak menghendaki revolusi yang akan mencerabut hak-hak istimewanya sebagai seorang menak.

Seperti terjadi di banyak tempat, misalnya dalam kisah yang diwedarkan R. Moech. A. Affandie dalam Bandung Baheula (1969) tentang seorang Patih yang semena-mena meminta harta benda kepada rakyat, para menak memang kerap menghamba kepada Belanda dan menindas kepada rakyatnya. Inilah alasan lain yang membuat Kartalegawa mendirikan Negara Pasundan. Ia menghendaki kembali ke zaman normal saat posisi menak begitu kuat.

Padahal revolusi telah banyak memakan tumbal. Rakyat yang selama masa penjajahan ditindas kaum priyayi, menak, bangsawan, dan sebagainya, melakukan pembalasan lewat sejumlah aksi kekerasan yang kemudian terkenal dengan revolusi sosial. Amir Hamzah contohnya, penyair yang sekaligus pengeran Kesultanan Langkat tersebut menjadi korban dalam revolusi sosial di Sumatra Timur.

Saat rakyat sudah muak dengan feodalisme dan melakukan sejumlah pembunuhan terhadap para bangsawan, Kartalegawa bangun kesiangan. Ia masih percaya diri dengan posisinya sebagai menak yang merasa dihormati rakyat dan dilayani sebagaimana zaman kolonial.

Padahal Jawa Barat yang tidak mempunyai penguasa bangsawan otonom yang kuat seperti misalnya di Yogyakarta dan di sejumlah wilayah di Sumatra, Belanda hanya memanfaatkan para oportunis politik seperti dirinya yang tak dihormati sama sekali oleh rakyat.


Rekam Jejak Para Pendahulu

Jika merunut ke belakang, sikapnya ini memang sejalan dengan para pendahulunya. Ayahnya, R.A.A. Soeria Kartalegawa adalah bupati yang membenci kaum pergerakan dan terlibat dalam penumpasan peristiwa Sarekat Islam Afdeling B di Cimareme, Garut.

Ia juga yang menyeret Muhammad Sanusi, seorang pengarang dan wartawan yang menulis tembang dangding dengan judul “Garoet Gendjong (Garut gempar)” yang isinya mengkritik keserakahannya sebagai Bupati Garut. Sanusi dipenjara dan dibuang ke Digul.

Leluhur mereka, yakni Moehammad Moesa yang penah menjadi Kepala Penghulu Limbangan, juga terkenal dekat dengan orang Belanda, yaitu Karel Frederik Holle yang sempat bekerja untuk pemerintah kolonial sebagai Penasihat Urusan Pribumi.

Jasa Moesa dan K.F. Holle amat besar bagi perkembangan kesusastraan Sunda. Holle mendorong Moesa dan anak-anaknya untuk menulis pelbagai karya sastra dan non-sastra dalam bahasa Sunda. Namun, sebagian kalangan menganggap Moesa seorang oportunis yang menghendaki semua keturunannya menjadi pejabat.

“Moesa dianggap oportunis dan ambisius. Fakta menunjukkan bahwa ia begitu sering tunduk kepada Belanda dan itu dilihat sebagai suatu aib. Beredar rumor bahwa pemerintah kolonial telah memberi ganjaran atas pelayannya yang setia dalam banyak hal, antara lain, sampai tujuh keturunannya kemudian menjadi bupati,” tulis M.A. Salmoen dalam buku Raden Hadji Muhammad Musa.

Sikap oportunis Moesa bahkan abadi dalam sebuah lagu anak-anak Sunda yang biasa dibawakan saat bermain yang bertajuk “Ayang-ayang Gung”. Lirik lagu ini sebetulnya adalah serangan Moesa terhadap Tanu, kompetitor salah seorang anaknya dalam perebutan posisi jabatan.

Dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013), Mikihiro Moriyama menyebutkan bahwa dalam lagu tersebut Moesa menyerang Tanu dengan mempertanyakan kemampuannya dan mengejek kelicikannya. Namun, karena ternyata dirinya yang terbukti oportunis, maka serangan itu berbalik kepada dirinya alias senjata makan tuan.

“Kebanyakan orang tidak lagi tahu nama Musa, tetapi segelintir orang tua Sunda bercerita kepada penulis bahwa sebetulnya lagu itu tentang Musa sendiri, yang menjadi teman Belanda, seorang lelaki pembohong dan lirik,” imbuh Moriyama.

Dalam lingkungan orang-orang seperti inilah Kartalegawa sang proklamator Negara Pasundan lahir dan tumbuh. Di satu sisi, ia dan para leluhurnya bisa saja disebut sebagai para menak yang lihai berpolitik. Namun, di hadapan amuk revolusi, ia tak berkutik. (irf)





Ket:

- Tayang pertama kali di Tirto.id pada 30 Oktober 2019

No comments: