Karena
dagangannya jadi laku keras, baik kopi maupun goreng ulen, Bi Isoh jadi salah
satu perempuan yang "tak membenci Sari", malah berharap janda itu tak segera
menikah agar warungnya terus ramai dikunjungi.
Percakapan-percakapan
di warung Bi Isoh selalu tentang Sari, dipadu dengan canda dan tawa yang riuh.
Pendeknya, para lelaki itu menjadikan Sari sebagai objek. Saat menggambarkan
dialog-dialog tersebut, Ahmad Bakri si pengarang begitu tapis.
Perceraian
Sari dengan suaminya mula-mula tak banyak yang menduga. Rumah tangga mereka
dianggap biasa. Hanya saja suaminya memang di luar kota untuk mencari nafkah.
Dan sebelum mendapatkan rumah yang layak, Sari dititipkan sementara di rumah
orang tuanya.
“Muhun
[salaki Nyi Sari téh] ti Bandung ngalih ka Batawi. Méméh kénging bumi sina di
dieu heula, ongkoh dibaeukeun ku sepuhna, bilih dibabawa métak (tinggal di
rumah petak) cenah. Pa Mandor téa atuh, uninga ieuh, teu paya pisan ningali
kirang sautik ge,” jawab Bi Isok kepada seorang pemuda.
Suatu
hari, Sari hilang saat mencuci baju di tampian. Darah segar berceceran di sekitar
tempat dia mencuci. Warga kampung heboh bukan kepalang. Mereka segera menyusuri
sungai untuk mencarinya. Beberapa orang yang melihatnya pada saat-saat
sebelum dia menghilang, dipanggil. Dari jawaban-jawaban para “tersangka”, seseorang
disuruh untuk menjemput orang yang para “tersangka” sebutkan.
Namun,
saat orang yang disuruh itu belum sampai ke tujuan, hal menggemparkan lainnya kembali
terjadi.
Berbulan-bulan kemudian, warga menemukan sesosok mayat yang tergantung di dahan pohon jengkol. Kampung yang semula telah reda, kembali geger. Peristiwa ini awalnya tak terbongkar, tersimpan rapi selama berbulan-bulan: antara bunuh diri atau rajapati.
Novel
ini kembali membuktikan kepiawaian Ahmad Bakri dalam membangun rasa penasaran
pembaca. Namun, setali tiga uang dengan novela “Dina Kalangkang Panjara” dan “Kacaangan
ku Panékér”, semuanya tak menggoreskan konflik kejiwaan yang kompleks. Atau tak
secanggih cerita Laleur Bodas karya Samsu yang menghadirkan sosok
misterius.
Namun
demikian, Mayit Dina Dahan Jengkol berhasil memotret keadaan sosial masyarakat
Sunda di perkampungan tempo dulu—atau mungkin masih terjadi sampai hari ini—yang memperlakukan
janda sebagai anggota masyarakat yang tak diinginkan dan sumber penyakit.
Sari dalam novel ini menjadi korban berlapis. Dia tak sanggup menggapai cita-citanya meraih hidup bahagia. Kecantikan dan statusnya sebagai janda menjadi kambing hitam. Di tengah sistem sosial yang rapuh bagi perempuan, dia tak berkutik. [irf]