06 August 2025

Mayit Dina Dahan Jengkol: Janda sebagai Objek

Ini kisah tentang Sari, biasa dipanggil Nok Sari: janda muda dan cantik yang dianggap sebagai penyakit oleh ibu-ibu warga kampung. Sebabnya, para suami mereka, apalagi kaum bujangan, berebut mencari dan mencuri perhatiannya. Mereka, para lelaki itu, biasa berkumpul di warung Bi Isoh yang letaknya tiga rumah dengan kediaman sang janda.

Karena dagangannya jadi laku keras, baik kopi maupun goreng ulen, Bi Isoh jadi salah satu perempuan yang "tak membenci Sari", malah berharap janda itu tak segera menikah agar warungnya terus ramai dikunjungi.

Percakapan-percakapan di warung Bi Isoh selalu tentang Sari, dipadu dengan canda dan tawa yang riuh. Pendeknya, para lelaki itu menjadikan Sari sebagai objek. Saat menggambarkan dialog-dialog tersebut, Ahmad Bakri si pengarang begitu tapis.

Perceraian Sari dengan suaminya mula-mula tak banyak yang menduga. Rumah tangga mereka dianggap biasa. Hanya saja suaminya memang di luar kota untuk mencari nafkah. Dan sebelum mendapatkan rumah yang layak, Sari dititipkan sementara di rumah orang tuanya.

“Muhun [salaki Nyi Sari téh] ti Bandung ngalih ka Batawi. Méméh kénging bumi sina di dieu heula, ongkoh dibaeukeun ku sepuhna, bilih dibabawa métak (tinggal di rumah petak) cenah. Pa Mandor téa atuh, uninga ieuh, teu paya pisan ningali kirang sautik ge,” jawab Bi Isok kepada seorang pemuda.   

Suatu hari, Sari hilang saat mencuci baju di tampian. Darah segar berceceran di sekitar tempat dia mencuci. Warga kampung heboh bukan kepalang. Mereka segera menyusuri sungai untuk mencarinya. Beberapa orang yang melihatnya pada saat-saat sebelum dia menghilang, dipanggil. Dari jawaban-jawaban para “tersangka”, seseorang disuruh untuk menjemput orang yang para “tersangka” sebutkan.

Namun, saat orang yang disuruh itu belum sampai ke tujuan, hal menggemparkan lainnya kembali terjadi.

Berbulan-bulan kemudian, warga menemukan sesosok mayat yang tergantung di dahan pohon jengkol. Kampung yang semula telah reda, kembali geger. Peristiwa ini awalnya tak terbongkar, tersimpan rapi selama berbulan-bulan: antara bunuh diri atau rajapati. 

Novel ini kembali membuktikan kepiawaian Ahmad Bakri dalam membangun rasa penasaran pembaca. Namun, setali tiga uang dengan novela “Dina Kalangkang Panjara” dan “Kacaangan ku Panékér”, semuanya tak menggoreskan konflik kejiwaan yang kompleks. Atau tak secanggih cerita Laleur Bodas karya Samsu yang menghadirkan sosok misterius.

Namun demikian, Mayit Dina Dahan Jengkol berhasil memotret keadaan sosial masyarakat Sunda di perkampungan tempo dulu—atau mungkin masih terjadi sampai hari ini—yang memperlakukan janda sebagai anggota masyarakat yang tak diinginkan dan sumber penyakit.     

Sari dalam novel ini menjadi korban berlapis. Dia tak sanggup menggapai cita-citanya meraih hidup bahagia. Kecantikan dan statusnya sebagai janda menjadi kambing hitam. Di tengah sistem sosial yang rapuh bagi perempuan, dia tak berkutik. [irf]